Selasa, 30 Desember 2008

Tiras (Buku) Pas Saat Krisis


Tulisan ini masih lanjutan dari artikel "Tiras Buku Ibarat T-Shirt". Setelah posting tulisan di milist, saya baru saja terima SMS dari seorang rekan yang menanyakan bagaimana ia bisa menetapkan bonus prestasi untuk seorang editor. Lalu, saya jawab bahwa penetapan reward ditentukan dari pencapaian target, baik pas maupun melampaui. Tentu target perlu ditetapkan terlebih dahulu berikut indikator pencapaian target. Nah, apakah sebuah buku yang menembus angka penjualan best seller bisa berimbas bagi ditetapkannya reward untuk seorang editor? Semestinya bisa atau memang harus.

Lalu, pertanyaan berlanjut berapa standar penetapan best seller itu? Saya menjawab bahwa buku bisa masuk standar best seller apabila bisa menembus 5 hingga 10 x dari tiras normal atau tiras standar cetakan pertama misalnya 3.000 eksemplar. Berarti kita bisa menetapkan angka 15.000 hingga 30.000 adalah masuk kategori best seller untuk penjualan satu tahun.

Dari mana ketetapan standar ini, maksudnya sumbernya? Ditetapkan berdasarkan skala penerbitan saja sesuai dengan pengalaman bisnis. Penerbit terbagi tiga: 1) small publisher (dengan terbitan 1 judul per bulan atau bahkan hanya 6 judul per tahun); 2) medium niche publisher (dengan terbitan 2-3 judul per bulan); 3) big publisher (punya banyak imprint dan bisa mencapai angka terbitan 30-50 judul per bulan). Ketiganya tentu berbeda menetapkan tiras standar, termasuk kategori best seller. Karena itu, jangan heran jika timbul berbagai macam klaim best seller. Penerbit kecil yang tiba-tiba bukunya laku di atas 5.000 eksemplar bisa berteriak girang dan mengatakan bukunya best seller--pertama terjadi setelah tiga tahun berdiri. Namun, secara nasional kita ketahui bahwa klaim best seller bisa disematkan pada buku-buku yang sudah menembus angka penjualan hingga lebih dari 50.000 eksemplar. Karena orang Indonesia termasuk tinggi sense of humor-nya, terbit juga buku dengan embel-embel 'insya Allah best seller' atau 'masak sih gak best seller'. :-)

Bagaimana sebuah tiras pas bisa ditetapkan? Saya hendak berbagi pemikiran saja mengingat aspek ini kerapkali ditetapkan secara konservatif (hati-hati) dan ada juga yang optimis. Bahkan, ada yang begitu sangat berhati-hati karena trauma oleh badai retur buku-buku back list (back list = judul lama, bukan black list). Tiras besar berhubungan dengan harga pokok produksi (hpp) yang menjadi murah. Adapun tiras sedikit tentu sebaliknya menjadikan hpp melonjak naik dan berujung pada tingginya harga buku.

Coba kita telisik pertimbangan memutuskan sebuah tiras yang pas.

Krisis yang diperkirakan memuncak pada 2009 harus menjadi pertimbangan. Selain itu, juga perlu riset perilaku konsumen (pembaca) buku di Indonesia dalam mengambil keputusan membeli buku. Prediksi dan hasil riset diramu juga dengan as is condition (kondisi nyata) praktik marketing penerbit. Dari pangsa pasar buku umum yang ada di seluruh Indonesia, berapa persen yang sudah tercover (covered area)? Adakah tim marketing ataupun distributor yang kita tunjuk sudah optimal menggarap pasar? Nah, pertimbangan tiras yang pas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tadi selain juga faktor kekuatan buku itu sendiri (content, context, community, dan penulis). Berarti apa yang kita perlukan? Hasil riset dan data yang valid, bukan sekadar persepsi dan perkiraan-perkiraan tanpa bukti.

Saya kerap menemukan personel marketing yang membuat asumsi-asumsi marketing berdasarkan satu dua kasus dengan konsumen, lalu diangkat menjadi isu nasional. Apa yang penting kasus tersebut semestinya dianalisis dulu sebelum dilempar ke forum karena boleh jadi satu kasus itu terangkat secara situasional, misalnya ada konsumen mengatakan bahwa judul buku Anda kurang tepat. Pendapat ini harus didukung lagi oleh pendapat-pendapat lain sehingga menjadi sebuah pendapat umum untuk didiskusikan. Saya kira demikian. Seperti halnya seorang marketer mengangkat isu bahwa saat ini yang lagi tren adalah buku-buku tentang orang-orang cacat yang sukses. Tren yang dia lihat harus didukung juga oleh data life time buku-buku tersebut dan mengapa orang tertarik membeli buku itu, sekaligus data judul dari sekian buku itu yang masuk kategori best seller. Sangat naif kalau soal ini dibawa ke forum rapat hanya dengan omongan, lalu marketer meminta tim redaksi membuat buku sejenis itu dan yakin ia mampu menjual dengan tiras hingga 10.000 eksemplar.

Kembali ke soal penentuan tiras yang pas mari kita berkaca dari kemampuan marketing. Pertanyaan pertama spesifik untuk Indonesia: apakah pasar Jakarta sudah tercover secara optimal? Penting karena paling tidak market share Jakarta mencapai 45% dari market share pasar buku nasional. Daerah kuat pasar buku lainnya secara nasional berturut-turut adalah Sumut (terutama Medan), Jateng, Jatim, Jabar, Pekanbaru, Makassar, dan sebagainya. Tentu setiap penerbit pasti punya data rangking penjualan di tiap daerah. Dari data rangking dan kekuatan daya beli masyarakat daerah dapatlah ditentukan spreading tiras per daerah/wilayah. Misalnya, dari tiras 3.000 maka jatah untuk wilayah Jakarta adalah 1.200, Sumut 300, Jateng 500, Jatim 500, Pekanbaru 200, Jabar 300. Hal ini dilakukan dengan asumsi strategi spreading melebar. Artinya, sebuah buku front list langsung disebar serentak secara nasional.

Ada juga penerbit yang menerapkan strategi spreading lokal. Artinya, cetakan pertama terbitan hanya di pasarkan di wilayah basah sebagai tes pasar. Tentulah banyak yang menjadikan wilayah basah itu adalah Jakarta. Dengan demikian, tiras buku ditetapkan tiras mini 1.000-2.000 dan langsung ditebar ke seluruh pelosok Jabodetabek. Apabila kemudian sambutan masyarakat pembaca bagus, barulah penerbit berani mencetak tiras dengan standar normal untuk persebaran nasional.

Saya prediksi pada masa-masa krisis serta pengalaman adanya beberapa penerbit yang menghadapi badai retur buku-buku umum, pada 2009 akan terlihat sikap konservatif dalam menentukan tiras front list (judul baru), termasuk juga pengurangan judul terbitan per bulan. Dan dapat dipastikan buku-buku baru dari penerbit-penerbit yang terkonsentrasi di Jakarta-Bandung-Jogja banyak beredar di tiga kota itu saja. Alhasil, masyarakat pembaca di daerah lain harus bersabar menunggu sampai buku tersebut benar-benar meyakinkan atau juga harus puas masih mendapatkan buku-buku lama terbitan satu-dua tahun yang lalu. Adapun penerbit-penerbit yang punya armada penjualan kuat dan juga dana yang kuat tentu menjadi kesempatan melaju tanpa terbendung, apalagi jika berjaya pula mengakuisisi naskah-naskah hebat.

Tiras yang pas dengan pertimbangan telah stabilnya pasar untuk wilayah Jawa (DKI, Jabar, Jateng, Jatim) dalam asumsi optimis (menurut saya) adalah 3.000-3.500. Dalam asumsi konservatif untuk 2009 tentulah di angka 2.000 eksemplar per judul. Dalam asumsi superoptimis tentulah menaikkan buku langsung pada tiras 10.000 sehingga harga buku pun menjadi bersaing dan buku bisa memenangi display karena dipajang di floor display dengan jumlah stock 100-200 per toko buku.

Kesimpulannya sebuah tiras yang pas untuk tetap survive ataupun mengalami growth pada musim penjualan buku 2009 adalah hal-hal berikut: 1) content atau isi buku yang memang memenuhi kebutuhan, rasa ingin tahu, serta kecenderungan minat masyarakat (tren dapat diciptakan); 2) context atau kemasan buku yang memiliki daya pikat dan daya tawar tinggi sehingga menimbulkan rasa percaya diri menjualnya; 3) penulis yang bereputasi; 4) community yang telah ada maupun dibangun sendiri networknya sehingga memantapkan target penjualan (misalnya penerbit Anda punya jaringan emosional dan profesional dengan salah satu MLM syariah maka Anda punya kans menjual buku-buku tentang ekonomsi syariah di kalangan mereka dengan angka tiras tertentu); 5) penulis yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas positif; 6) stabilitas ataupun kekuatan spreading-distribusi-sales yang sudah mantap (kalau belum mantap, lebih baik mengambil langkah superhati-hati dengan tiras mini).
Semoga berguna, tetap optimis dan mau berubah.

Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Nasional
http://groups.yahoo.com/group/editorindonesiaforum/message/1202

Selasa, 18 November 2008

BOOK COACHING: MENJADI PENDAMPING PENULIS


Dua bulan saya nyaris absen total dari dunia maya. Dua hingga tiga bulan belakangan, saya memang sedang digempur habis oleh kesibukan atau aktivitas penulisan karya terbaru saya sekaligus pendampingan-pendampingan penulisan buku para klien. Dan, seperti kasus-kasus yang selama ini saya tangani, selalu saja ada hal menarik yang bisa dibagikan dan diambil pelajarannya.

Saya akan coba ceritakan kasus pendampingan saya dalam penulisan buku berjudul Rahasia Mendapatkan Nilai 100 (Sinotif, 2008) karya Hindra Gunawan. Kasus terakhir yang saya tangani ini terbilang sangat menarik, mengingat dalam waktu kurang dari tiga bulan, Hindra berhasil menuntaskan dan menerbitkan bukunya, sekaligus mendirikan sebuah penerbitan mandiri bernama Sinotif Publishing.

Tambah menarik lagi, mengingat si penulis adalah seorang pengajar sekaligus eksekutif lima perusahaan, yang sehari-hari benar-benar disibukkan oleh urusan bisnisnya, tetapi masih sanggup bagi waktu demi menyelesaikan penulisan buku setebal 200 halaman lebih itu. Dan, menampingi penulis-penulis “gila” semacam ini memang salah satu kegemaran saya he he he….

Baik, ketika menerima tawaran sebagai coach atau pendamping dalam proses penulisan buku ini, saya sempat membayangkan bahwa ini adalah sebuah proyek yang terbilang mudah dikerjakan. Klien atau penulis yang saya dampingi ini adalah seorang pengajar, trainer, hipnoterapis, sekaligus businessman yang sangat menguasai bidang yang hendak dia tulis.

Tetapi, asumsi itu langsung saya koreksi begitu si klien menetapkan target bahwa buku harus bisa diterbitkan dalam kurun dua hingga tiga bulan. Alasannya, ada serentetan acara konfensi atau ekspo yang bisa dimasuki oleh buku tersebut. Celakanya, buku benar-benar digagas, dirancang, dan harus ditulis dari nol sama sekali!

Begitu kontrak pendampingan kami tandatangani, saya langsung ancang-ancang strategi, dan saya komunikasikan dengan sejelas-jelasnya kepada klien ini. Pertama, saya tegaskan bahwa antara coach dan coache (klien) harus sama-sama berkomitmen untuk bekerja keras, tahan banting, bila perlu ‘setengah memaksakan diri’ dalam beberapa langkah nantinya.

Kedua, saya tekankan bahwa sebagai coach atau pendamping, fungsi saya adalah memaksimalkan dan mengaktualkan potensi si klien melalui proses pembelajaran penulisan buku. Wujudnya adalah sebuah karya tulis yang harus benar-benar dirasakan sebagai karya orisinal si penulis, berkualitas, serta memuaskan diri sendiri atau target pembaca.

Ketiga, saya juga tegaskan bahwa dalam beberapa tahapan nantinya, terkadang saya harus bersikap “keras” demi mempertahankan kefokusan klien. Mengapa? Sebab, dari berbagai kasus yang pernah saya tangani, sangat sering muncul sindrom “masterpiece” dalam diri penulis-penulis pemula. Maksudnya, muncul hasrat untuk membuat karya selengkap dan sehebat mungkin pada kesempatan pertama menulis buku, sementara realitasnya mereka dihadang oleh konstrain waktu yang sulit diajak kompromi.

Keempat, saya jelaskan berbagai risiko penulisan dan penerbitan buku dalam tenggat waktu yang sedemikian sempit. Kalau dalam waktu normal saja kita butuh ketelitian yang maksimal agar kita bisa menghasilkan naskah yang berkualitas, rapi, lengkap, dan minim kesalahan. Terlebih kalau konstrain waktunya “abnormal”, pastilah butuh ketelitian dan ketekunan yang hitungannya ekstra maksimal he he he…

Kelima, saya “peringatkan” di awal, bahwa saya akan mendera klien dengan anjuran dan ajakan yang terus-menerus supaya yang bersangkutan lebih percaya diri untuk menggali bahan-bahan penulisan dari pengalaman sendiri. Selebihnya, bolehlah ditambahkan dari berbagai literatur atau teori-teori dari pakar lainnya. Langkah ini, selain mempercepat proses penulisan, ternyata juga ampuh untuk menghadirkan banyak hal atau temuan baru ke dalam naskah buku kita.
Nah, ancang-ancang strategi beserta asumsi atau dugaan-dugaan saya ternyata sungguh-sungguh mewarnai proses pendampingan buku Hindra Gunawan ini. Dari sisi kerja keras, memang ada totalitas, yang mana jadwal pertemuan pendampingan pun bisa bertambah dua kali lipat. Sementara, klien harus menambah alokasi waktu pendampingan, riset, dan penulisan lebih dari yang diduga semula. Hasilnya, proses penulisan bisa sangat cepat, tetapi risikonya sampai membuat gusi si penulis yang vegetarian ini pecah dan berdarah-darah. Untuk semangat yang beginian, tanpa ragu-ragu saya beri nilai 100 he he he….

Dari segi kefokusan penulis, dugaan saya terbukti, bahwa sindrom “masterpiece” akhirnya muncul. Tanda-tandanya? Klien menuntut diri untuk bisa menghasilkan karya yang jauh lebih hebat ketimbang pesaingnya, lebih lengkap, dan itu dilakukan dengan terus-menerus menambah jumlah literatur yang hendak dijadikan referensi. Bahkan, sampai pada detik-detik terakhir, penambahan-penambahan bab masih terus berlangsung, lengkap dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Ini idealisme yang harus dihargai, tetapi saya terus berpegang pada sikap pragmatis-realistis, karena yang dihadapi adalah limit waktu. Pada tahapan inilah, selain memfungsikan diri sebagai motivator kepenulisan, saya juga berubah wujud menjadi mitra pembelajaran yang sangat kritis, bahkan terbilang “keras” kepada klien. Tanpa sikap seperti ini, klien tidak akan fokus dan disiplin dalam mengejar target penyelesaian penulisan seperti yang sudah disepakati bersama. Dan, posisi yang saya pilih itu ternyata memberikan hasil sangat positif.

Dari sisi kebaruan karya, akhirnya tercapailah tujuan kami semula, bahwa buku yang dihasilkan sungguh-sungguh menyajikan banyak hal baru kepada pembaca. Klaim ini dibuktikan dengan banyaknya bab, contoh-contoh, kasus-kasus, kiat-kiat, dan argumentasi-argumentasi yang relatif baru karena digali dan diolah dari hasil riset, observasi langsung, atau dari pengalaman penulis serta orang-orang di sekitarnya.

Pada titik ini, saya dapatkan pernyataan kepuasan dari si penulisnya sendiri. Yang mana, proses pembelajaran tersebut telah mendorong dirinya untuk lebih fokus pada penyajian hal-hal baru dalam bukunya, ketimbang mengulang-ulang isi buku-buku yang pernah dia baca atau yang menjadi referensi penulisan.

Akhirnya, buku Rahasia Mendapatkan Nilai 100 berhasil diterbitkan tepat sesuai jadwal. Lepas dari sisi kekurangansempurnaan produk akibat konstrain waktu, baik saya sebagai pendamping/konsultan maupun si penulis merasakan suatu kepuasan atas hasil sebuah kerja keras bersama. Kepuasan itu bertambah lagi dengan munculnya kebanggaan dan rasa syukur, manakala kami melihat banyak orang tertarik membeli buku itu saat di-display di sejumlah ajang ekspo, pelatihan, dan seminar. Selanjutnya, kita tunggu saja, apakah kombinasi penjualan langsung serta penjualan melalui jaringan toko-toko buku mampu menghantarkan buku tersebut ke tangga buku bestseller.

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.

Jumat, 24 Oktober 2008

Peluang di Balik, Program Pendidikan Anak usia Dini (PAUD)


Latar Belakang
Tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemuanya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.
Sedangkan Depdiknas dalam buku Pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2007 menggambarkan bahwa Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya pada tahun 2004 adalah 39,09% maka pada tahun 2006 sudah mencapai 45,63% dengan target capaian pada tahun 2007 sebesar 48,07%, sudah barang tentu ini merupakan sebuah hal yang menggembirakan bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Kemudian disebutkan bahwa agenda-agenda yang akan dicapai pada tahun 2009 seperti pencapaian APK PAUD usia 2 – 6 tahun sebesar 53,90%. Akan tetapi perlu dikritisi untuk pencapaian 53,90% atau sekitar 10,05 juta orang kualitas dari layanan yang diberikan, bukan kepada kuantitas. Ini menjadi amat penting karena begitu dasarnya PAUD itu bagi seorang manusia dalam kehidupannya yang akan datang.
Pemerintah pada tahun 2001 telah mendirikan Direktorat khusus bagi PAUD yaitu Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (sekarang disebut Ditjen PNFI), Direktorat yang bertugas untuk melayani PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Ini disebabkan karena sebelumnya untuk layanan yang diberikan kepada anak usia dini baru pada usia 4 – 6 tahun melalui pendidikan formal yaitu TK, sedangkan melalui jalur pendidikan nonformal dan informal msih belum ada. Pendidikan formal pada tahun 2000 hanya mampu menyerap 12,65% dari total usia tersebut dengan Guru TK hanya sebanyak 95.000 orang untuk memberikan pelayanan 1,6 juta anak usia dini. Sedangkan untuk sisa 0 – 4 tahun masih belum terlayani, oleh karena itu maka Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan Direktorat PADU (saat ini disebut Dit. PAUD) yang bertugas untuk melayani anak usia dini yang berumur 0 – 4 tahun.
Perlu diingat, setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapat membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa ini .

Bentuk Pendidikan anak
Bentuk dari pendidikan PAUD ini adalah, seperti Play Group untuk anak usia 0 – 6 tahun. Ada yang formal didirikan oleh pemerintah, dan ada juga didasarkan pada swadaya masyarakat. Diharapkan pada setiap kampung di seluruh Indonesia ada PAUD nya.

Realisasi Program
Menurut data direktur PAUD Diknas, pada tahun 2007 Layanan PAUD secara formal dan nonformal, telah menjangkau 13 juta lebih dari 28 juta anak usia dini di seluruh wilayah Indonesia. Untuk anak usia 0-4 tahun berjumlah 20,5 juta. Anggaran PAUD juga terus ditingkatkan dari Rp 221 miliar pada tahun lalu, tahun 2008 naik dua kali lipat. Tahun 2015 layanan PAUD diusahakan bisa mencapai 75 persen semua anak usia dini .

Potensi anggaran
Anggaran untuk pelaksanaan PAUD berasal dari APBN, APBD dan swadaya masyarakat, berikut ini contoh anggaran PAUD dibeberapa daerah:

Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau pada tahun 2007, terdapat 100-an desa yang telah ada PAUDnya, anggaran per masing-masing desa sebesar Rp. 160 juta pertahun .

Tahun 2007, dana PAUD Propinsi Riau sebesar Rp. 2.373 juta (2,3 M), tahun 2008 menjadi Rp. 2.486 juta (2,4 M), meningkat 4,56%

Tahun 2008, di Kabupaten Lamongan mendapat alokasi dana cukup besar dari APBD, yakni mencapai Rp 4,187 miliar. Alokasi dana tersebut untuk pendidikan anak usia dini (PAUD)/play group dan taman kanak-kanak (TK)/raudlatul Athfal (RA) .

Alokasi anggaran untuk PAUD dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, terus meningkat dari tahun ketahun, tahun 2003 total sebesar Rp. 475 juta, tahun 2007, melonjak sekitar 15 miliar. Ini diluar anggaran pemerintah propinsi yang besarnya 1,14 miliar.

Melihat manfaat yang begitu besar program pendidikan anak usia dini (PAUD), pemerintah akan memperluas cakupan program PAUD hingga meliputi 3.000 desa miskin di seluruh Indonesia. Program dengan alokasi dana 127,74 juta dolar AS dana berasal dari pinjaman lunak bank dunia, hibah kerajaan belanda, dan APBN, diperuntukkan bagi 783 ribu anak usia 0-6 tahun .

Pada 2006, PAUD memperoleh anggaran Rp 135 miliar ditambah Rp 9 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Menurut Direktur PAUD, Gutama, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan meningkatkan akses PAUD secara maksimal. Pada 2007, sudah dipastikan PAUD akan memperoleh anggaran Rp 199 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, akan dipergunakan untuk sosialisasi serta peningkatan dana rintisan dan kelembagaan

Anggaran yang digelontorkan untuk PAUD nonformal juga terus meningkat. Pada tahun 2007 misalnya total anggaran untuk PAUD mencapai Rp221 miliar, dan meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp430 miliar.

Alokasi anggaran Untuk pembelian Buku
Tentunya dana sekitar 430 miliar tersebut, sebagiannya akan di belanjakan untuk alat bantu pendidikan seperti alat peraga dan buku-buku, walaupun belum diketahui dengan pasti berapa besarnya dana yang dialokasikan untuk pembelian buku, namun ini merupakan potensi yang besar sekali untuk dimasuki para penerbit buku.

Peluang
Program pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas SDM tersebut, disertai dengan anggaran yang sangat besar sekali, dalam proses pendidikannya, sehingga paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan program ini seharusnya dioptimalkan pemamfaatan peluangnya oleh penerbit, yaitu:
1. Total anggaran untuk PAUD tahun 2008, sebesar Rp.430M
2. Pemerintah SBY mempunyai komitment yang kuat bahwa tahun 2009 nanti dana anggaran untuk pendidikan nasional harus 20%, ini berarti besaran anggaran yang akan diaalokasikan untuk PAUD, akan terus meningkat
3. saat yang sama pasar buku non anak sedang tertekan, akibat dampak dari kenaikan BBM dan Krisis financial, namun kebutuhan anak-anak tetap akan meningkat dan menjadi prioritas pengeluaran keluarga.

Pemain Pengadaan Buku untuk PAUD
1. Penerbit Dar Mizan
2. Penerbit As Syamil
3. Penerbit Zikrul Hakim
4. Penerbit Bumi Aksara Kids
5. Penrbit Erlangga
6. Indiva, Surakarta
7. dll

Trik Penerbit yang sekarang ikut menawarkan produk
Saya mendapatkan informasi, bahwa ada penerbit yang hanya membikin Dummy, dummy tersebut, ditawarkan kepada bagian pengadaan pemda, setelah mendapat kejelasan buku tersebut masuk dalam proyek pengadaan, baru di cetak secara massal.

Apa yang harus dilakukan Penerbit
1. Buat kesepakatan apakah penerbit mau juga berburu potensi dana tersebut
2. bentuk tim pembentukan imprint anak
3. cari 1 orang SDM yang berpengalaman untuk membuat produk-produk buku-buku PAUD
4. SDM tersebut langsung bertanggung jawab ke Direktur
5. Pemasaran memamfaatkan jalur yang sudah ada, ditambah tim proyek

Jalur Distribusi
Saluran distribusi yang bisa digunakan adalah jalur distribusi konvensional, seperti toko-toko retail, toko-toko buku lainnya, namun perlu juga di cari informasi tentang tim yang biasa memasukkan proyek ke pemerintah.

Penutup
Demikianlah, peluang yang mungkin bisa diambil oleh perusahaan penerbit, ikut berkontribusi dalam mensukseskan PAUD ini. Semoga bermamfaat.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran buku Islam

Senin, 20 Oktober 2008

Ketika Penerbit menanti Ajal


Dunia Buku:
Akibat krisis moneter sebagian besar penerbit buku merasa kewalahan,
bahkan ada yang berhenti berproduksi. Tanda-tanda akhir zaman bagi
dunia perbukuan di Indonesia?

Krisis ekonomi yang tengah melanda bangsa Indonesia dalam beberapa
bulan terakhir ini benar-benar sudah merasuk ke segala sektor
kehidupan. Tidak terkecuali juga dunia perbukuan. Banyak penerbit buku
nasional sekarang ini kelimpungan dibuatnya. Omzet penjualan buku
mereka turun secara drastis. Bahkan tidak sedikit penerbit buku yang
terpaksa gulung tikar dan berhenti berproduksi.

Omzet Turun.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rozali Usman
mengungkapkan, industri perbukuan di Indonesia kini menghadapi tiga
dampak utama akibat krisis moneter. Pertama, hanya 200 dari 400
anggota Ikapi yang masih aktif. Dari jumlah itu, kini 50% sudah tak
berproduksi lagi. Akibatnya, tentu saja rasionalisasi karyawan tidak
terhindarkan lagi. Kini sebagian besar editor lapangan sudah
"dirumahkan", di samping karyawan lainnya. Dan dampak susulannya,
penerbit yang memutuskan mencetak ulang buku terbitannya, terpaksa
menaikkan harga sekitar 30%. "Ini jelas tidak kondusif. Dan secara
keseluruhan dampak krisis ekonomi ini sudah menurunkan omzet industri
perbukuan nasional sekitar 50%-75%," kata Rozali.

Kondisi tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh penerbit-penerbit
buku kecil saja, tapi juga dirasakan penerbit yang sudah besar dan
terkenal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, misalnya, merasakan
betul adanya penurunan omzet penjualan buku-buku produknya. "Secara
kuantitas penurunannya mencapai sekitar 10%," kata M. Boedi
Yogipranata, manajer Toko Buku Gramedia Matraman kepada Panji. Namun
dalam situasi krisis ini, untuk selama tiga bulan (Februari, Maret,
sampai April ini), Gramedia masih tetap menerbitkan buku-bukunya meski
dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dalam situasi normal.

Hal yang sama juga dirasakan oleh PT Pustaka Sinar Harapan. Menurut
direktur utamanya, Aristides Katoppo, sebelum krisis moneter
berlangsung, penerbit buku yang cukup besar ini bisa memproduksi satu
buku dalam satu minggu. Tapi dalam kondisi sekarang ini, mereka hanya
memproduksi satu buku dalam satu bulan. Itu pun dilakukan karena
komitmen masa lalu agar tetap survive menghadapi gejolak ekonomi.
"Kami harus terus berupaya bertahan dengan melakukan berbagai jurus
untuk menghadapi krisis yang berat ini," katanya.

Penerbit Mizan, Bandung, mengalami problem serupa. Tingkat penjualan
buku yang dihasilkan oleh penerbit ini sekarang sangat merosot
mencapai 75%. Menurut Hernowo, salah seorang direktur di penerbit itu,
kalau dulu dalam sebulan Mizan bisa menerbitkan 4-5 buku, maka
sekarang hanya satu judul buku saja. "Jadi sekarang ini kami mesti
mengerem juga. Misalnya, seharusnya bisa terbit enam buku dalam
Januari-Februari ini, kita mungkin hanya dua buku yang terbit. Dua
buku per bulan, itu sudah bagus betul," katanya kepada Panji.

Kalau penerbit-penerbit seperti Gramedia, Sinar Harapan, Mizan, atau
penerbit buku lain yang sudah besar dan terkenal saja seperti itu,
apalagi yang masih berskala kecil. Kondisinya tentu lebih parah dan
mengenaskan. Menurut Sekjen Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid,
berdasarkan laporan, sejumlah penerbit di daerah sudah tidak melakukan
lagi aktivitasnya. Di Jawa Timur, misalnya, 90% penerbit di sana sudah
berhenti berproduksi, sedangkan di Jawa Tengah 50% penerbitnya sudah
kolaps. Sementara di Jawa Barat kondisinya tidak jauh berbeda.
"Beberapa penerbit untuk sementara terpaksa menghentikan produksinya
hingga keadaan stabil kembali," kata ketua Ikapi Jabar Aan Soenandar.

Nah, yang menjadi biang keladi atau penyebab utama munculnya semua itu
apalagi kalau bukan naiknya harga kertas yang makin menggila: mencapai
300%. Dan itu kemudian berpengaruh juga pada naiknya harga
barang-barang komponen produksi buku lainnya, seperti tinta, pelat,
film, dan sebagainya. Kenaikan harga kertas ini terasa ironis karena
faktanya kita memiliki 74 pabrik kertas dengan kapasitas produksi 7,2
juta ton per tahun. Kita juga punya 17 pabrik pulp (bubur kertas) yang
merupakan bahan baku utama kertas dengan kapasitas produksi sebesar
4,3 juta ton per tahun. Lantas di mana masalahnya sehingga harga
kertas demikian terguncang akibat krisis moneter ini (lihat, Menanti
Panen HTI).

Komponen biaya untuk kertas memang menempati porsi yang sangat besar
pada keseluruhan biaya produksi buku. "Angkanya bisa mencapai
40%-60%," kata Hernowo dari Mizan. Jadi wajar bila perubahan harga
pada kertas yang mencapai 300% itu mempunyai pengaruh signifikan pada
harga buku. "Perubahan harga kertas sekarang ini membuat kami terpaksa
menaikkan harga buku sampai 30%," ungkap Rozali Usman, ketua umum DPP
Ikapi.

Berbagai Kiat.
Memang, untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, banyak
cara yang diambil oleh tiap-tiap penerbit buku. Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, misalnya, selain mengurangi jumlah produksi bukunya, terpaksa
harus menyetop alias tidak memperpanjang lagi kontrak tenaga kerja.
"Mulai bulan ini, kami terpaksa melakukan rasionalisasi terhadap 30%
tenaga kerja yang masih terikat kontrak. Perusahaan hanya mampu
membayar gaji karyawan paling hingga bulan April atau Mei mendatang,"
kata Aristides Katoppo.

Mengurangi jumlah produksi buku dan penghematan kemasannya juga
dilakukan oleh Sinar Harapan, Gramedia, dan Mizan. Menurut Adi Hendro,
salah seorang staf produksi buku di Gramedia, selain mengurangi jumlah
produknya, penerbitnya itu juga agak selektif dalam mengemas buku.
"Kalau dulu dengan format yang lebar kini lebih kecil. Warna cover
buku yang dulu dengan hot bann, kini dengan hot print," katanya.

Pemilihan tema buku secara selektif, juga dilakukan Mizan. Menurut
Hernowo, selain mengurangi jumlah produksi buku, kami juga harus
memilih secara selektif buku-buku yang akan diterbitkan. "Kalau
kira-kira buku itu akan diminati pasar, akan kami terbitkan. Kalau
tidak, meski naskah sudah siap, akan kami tunda penerbitannya,"
katanya. Dan menurutnya, di antara buku yang sudah siap namun terpaksa
ditunda penerbitannya adalah karya Dr. Jalaluddin Rahmat berjudul
Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer.

Jalan paling lumrah yang dipilih oleh berbagai penerbit buku adalah
dengan menaikkan harga. "Ini merupakan cara yang paling masuk akal dan
tak bisa dielakkan, sejalan dengan naiknya harga-harga barang lain
termasuk sembilan bahan pokok (sembako)," kata Abbas al-Jauhari, staf
editor penerbit Rajawali Pers kepada Panji. Memang, jalan itu tidak
dapat dielakkan. Toh, hampir semua penerbit buku sekarang ini sudah
melakukan hal itu.

Bersaing dengan Sembako.
Namun jalan itu bukan tanpa persoalan, terutama jika dikaitkan dengan
minat dan kemampuan daya beli masyarakat akan buku dalam situasi
krisis sekarang ini. "Jangankan untuk beli buku, untuk beli sembako
pun sulitnya bukan main," kata Ibu Aminah Suhaemi kepada Panji. Dengar
juga pendapat Dimas, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Kepada Panji,
dia mengeluh soal mahalnya harga buku-buku kedokteran yang wajib dia
gunakan dalam kuliah. "Sebelum krisis harganya hanya Rp200.000, tapi
sekarang sudah naik empat kali lipat: Rp800.000! Mau dikopi, selain
hasilnya jelek, harganya pun jauh lebih mahal," keluhnya miris.

Memang, tingginya harga buku di Indonesia sudah menjadi keluhan klasik
di kalangan masyarakat pembaca, apalagi dalam masa krisis seperti
sekarang ini. Karenanya, tak heran jika toko-toko buku besar seperti
Gramedia dan Gunung Agung di Jakarta terlihat sepi dan lengang.
Menurut pantauan Panji di Gramedia Mal Pondok Indah, Sabtu pekan lalu,
misalnya, tampak hanya 10 pengunjung yang datang. Itu pun hanya untuk
melihat-lihat dan membaca-baca buku di tempat. Ada yang membeli,
memang, tapi yang dibeli itu bukan buku melainkan kartu ulang tahun!

Sungguh memprihatinkan kondisi dunia perbukuan di Indonesia sekarang
ini. Ibaratnya, sudah jatuh (karena krisis moneter dan naiknya harga
kertas) tertimpa tangga pula (siapa yang mau beli?). Lagi pula,
bukankah masyarakat Indonesia sudah lama terkenal rendah minat
bacanya? Lalu, jika persoalan ini dikaitkan dengan proses pendidikan
dan pencerdasan kehidupan bangsa, bagaimana masa depan generasi muda
Indonesia selanjutnya?

Menurut pengamat pendidikan Prof. Dr. Bun Yamin Ramto, kita memang
tengah menghadapi masa-masa yang teramat sulit. Dalam soal kualitas
perbukuan, secara umum harus diakui bahwa bangsa kita makin merosot.
Jika kondisi perbukuan yang tengah dilanda krisis ini terus berlanjut,
itu akan berpengaruh pada persoalan pendidikan dan proses pencerdasan
bangsa (lihat, Generasi Tanpa Jendela). "Bacaan atau buku adalah alat
kebutuhan pokok masyarakat. Kita harus camkan betul-betul: kalau kita
mau maju, tidak bisa tanpa bahan bacaan. Jepang maju karena bacaan,
Cina maju karena bacaan, Amerika maju karena bacaan," kata Rektor ISTN
itu kepada Panji.

Untuk itu, Bun Yamin Ramto mengajak semua pihak, termasuk pemerintah,
untuk ikut memecahkan persoalan harga kertas ini demi memajukan dunia
perbukuan nasional, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. "Semua
pihak, termasuk pemerintah, berusaha bahwa buku itu harus diadakan
secara lebih banyak dan berkualitas. Dan agar masyarakat bisa membeli
dan memiliki buku, sebetulnya buku itu tidak harus dikemas secara
luks, biasa saja. Saya juga anjurkan supaya pajak-pajak yang
menyangkut buku dihilangkan," katanya.

Usul tersebut juga didukung Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Dr. Ki
Supriyoko. Menurutnya, dalam situasi krisis sekarang ini, pemerintah
diharapkan ikut turun tangan membantu kondisi dilematis perbukuan
kita. "Misalnya dengan mengurangi biaya pajak yang harus dibayar oleh
setiap penerbit. Saya kira pemerintah dapat melakukan itu, seiring
dengan niatan pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan
masyarakat," tegasnya.

Sebetulnya, untuk menyelesaikan masalah perbukuan ini, kalangan
penerbit yang tergabung dalam Ikapi tidak hanya tinggal diam. Pada Mei
1997 lalu, misalnya, sebelum krisis moneter terjadi, mereka sudah
membuat rekomendasi berisi enam butir permohonan usulan kepada
pemerintah agar: (1) mendorong industri yang khusus memproduksi kertas
untuk buku; (2) mengontrol secara berkala dan berkelanjutan soal harga
kertas; (3) memberikan keringanan PPn; (4) memberikan keringanan PPN
terhadap penjualan buku, sehingga harganya dapat lebih terjangkau; (5)
mengimbau PT Pos Indonesia untuk menerapkan tarif khusus terhadap
pengiriman buku; dan (6) menurunkan PPH pengarang buku (sekitar
0%-2,5%). Sayangnya, menurut Rozali Usman, rekomendasi itu hingga kini
belum ditanggapi.

Mudah-mudahan dalam hearing Ikapi dengan Komisi VII DPR, yang tidak
lama lagi akan dilaksanakan, usulan itu bisa lebih cepat menuai hasil.
Dan mudah-mudahan pula, dilema yang dihadapi kalangan perbukuan
nasional ini cepat berakhir.

NASRULLAH ALIEF, DUDI RAHMAN, RIFWAN HENDRI, HASBUNAL M. ARIEF, DAN M. RIDWAN PANGKAPI
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/06/0195.html

Selasa, 14 Oktober 2008

Picu Minat Baca, Buku 'Dikawinkan' dengan Game


New York - Sebagian anak zaman sekarang kemungkinan bakal lebih memilih main game ketimbang membaca buku. Sebagai jalan tengah, program yang 'mengawinkan' buku dengan video game pun dikembangkan.

Penulis Amerika Serikat bernama PJ Haarsma misalnya, menulis novel untuk anak-anak yang dikombinasikan dengan video game. Anak-anak pun bisa asyik bermain game tanpa melupakan manfaat membaca buku.

Pasalnya, seperti dilansir New York Times dan dikutip detikINET, Rabu (14/10/2008), untuk memenangkan permainan game yang menampilkan setting cerita dari dalam buku, anak-anak harus mencari informasi tertentu dengan membaca novel tersebut.

Di lain pihak, penerbit buku kenamaan Random House juga sedang mengerjakan proyek serupa. Mereka mengandalkan buku karya Christopher Paolini berjudul 'Brisingr' yang dikombinasikan dengan game online. Sejauh ini, sudah ribuan orang berminat memainkan game tersebut di situs mereka.

Demikian juga dengan penerbit ternama lainnya, Scholastic, yang terkenal karena mempublikasikan fiksi populer Harry Potter di Amerika Serikat. Mereka menerbitkan seri kisah fiksi bernama 'The Maze of Bones' yang juga dilengkapi dengan game berbasis web.
http://www.detikinet.com/read/2008/10/15/102054/1020250/398/picu-minat-baca-buku-dikawinkan-dengan-game

Senin, 06 Oktober 2008

Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM)


Bulan Januari yang lalu saya diberi kesempatan oleh kantor saya untuk belanja naskah dan berkunjung ke pameran buku Internasional di Kairo, pameran ini merupakan salah satu pameran buku terbesar di dunia setelah pameran buku Internasional di Frankfurt, Jerman, yang biasanya di adakan bulan oktober setiap tahunnya. saya bertemu dengan teman lama yang sekarang ternyata juga membuat penerbitan buku Islam. Saat bincang-bincang tentang penerbitan, salah satunya kami terlibat diskusi seputar pemasaran buku. Sejak tahun 2002 Sehari-hari saya mengeluti dunia pemasaran buku Islam, akhirnya saya menawarkan diri untuk membantu memsupervisi jika penerbitan beliau punya masalah dalam tim pemasarannya.

Bincang-bincang tersebut, awalnya menguap seiring dengan sesampainya di tanah air saya juga disibukkan dengan pekerjaan dipenerbitan dan teman saya tersebut, juga sibuk, karena saat mendirikan penerbitan beliau juga sedang mengambil program doctoral di Libya. Nah hari ini 6 oktober 2008, saya dikontak lagi oleh teman tersebut menagih janji yang dulu sempat kita bincangkan di Kairo. Apa yang harus dilakukan untuk memperkuat tim marketing penerbitan buku Islam.

Terinspirasi dari hal tersebut, saya menuliskan pengamatan saya tentang suatu penerbit buku Islam, cukup besar di Jakarta, dengan omset penjualan 10 – 20 M per tahun, untuk menjaga etika terhadap penerbit tersebut ,selanjutnya penerbit ini kita sebut sebagai penerbit A.

Ada satu teori sederhana yang banyak digunakan dalam membuat suatu produk, yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM), dengan berbekal teori sederhana ini, saya mencoba memaparkan hasil pegamatan saya terhadap penerbit A dengan sistematika SWOT, dengan harapan untuk diambil pelajaran bagi penerbit A tersebut, bagi teman saya dan bagi banyak orang yang berminat mendirikan penerbitan atau orang-orang yang sekarang sedang bekerja di dunia penerbitan buku Islam.

Strenght (Kekuatan)
1. Terdapat lebih kurang 20-an buku best seller yang temanya dibutuhkan sepanjang waktu (long live cycle)
2. Jumlah produk yang aktif di cetak + 250 judul
3. Jaringan distribusi langsung yang di tangani dari pusat ada sekitar 350 toko (yang terdiri dari toko-toko buku Islam konvensional, TB Gramedia/Tri Media, TB Gunung Agung, TB Karisma, TB Utama/Book City, TB Tiga serangkai, TB Kurnia Agung, TB Semesta, dll).
4. Terdapat 5 – 8 judul buku baru perbulan
5. Karakter yang kuat sebagai penerbit yang terdepan memerangi faham liberal dan aliran sesat.
6. Back up financial yang memadai
7. Suasana kerja, mengedepankan kultur kekeluargaan

Weakness (Kelemahan)
1. Lambat merespon keinginan pasar, contoh sudah 4 tahun diusulkan agar penerbit A ini membuat Al Qur’an, dan baru disetujui oleh direktur , tahun 2008 ini, itupun tidak ada kejelasan kapan akan diterbitkan, begitu juga lini, anak-anak, sudah diusulkan lama sekali, namun lambat direspon oleh direktur, begitu juga lini fiksi, sudah diusulkan lama, yang paling mengecewakan adalah tidak jelas, apa hambatan dalam membuat lini tersebut
2. Tidak mampu mempertahankan karyawan potensial
3. Design cover dan packaging yang kuno
4. Kualitas cetak dan lay out yang tidak berkembang, tetap seperti dulu (kuno)
5. Belum ada kesungguhan dari mulai direktur sampai ke manager untuk
membuat sistim yang kuat, seperti Standar waktu ideal dari semenjak naskah diterima penerbit sampai buku tersebut siap dipasarkan, Standar operating Proyek (SOP), petunjuk pelaksana yang tertulis, dll
6. terpisahnya departemen produksi dan departemen redaksi, yang berakibat
pada tidak jelasnya kapan buku bisa diterbitkan, karena masing-masing mempunyai otoritas sendiri, dan direktur tidak mampu memaksa kedua departemen ini untuk bisa bekerjasama.
7. promosi yang belum terarah


Opportunity (Peluang)
1. Terbuka lebar kesempatan untuk mengembangkan penjualan, karena jaringan distribusi sudah siap
2. pasar potensial buku Islam semakin besar karena jumlah dan kesadaran religi masyarakat semakin baik
3. Masyarakat masih sangat membutuhkan buku-buku dengan tema ibadah, buku-buku bacaan anak-anak, dan al qur’an dengan berbagai jenisnya

Treath (Ancaman)
1. Bermunculannya penerbit baru yang bisa cepat merespon kebutuhan pasar dan mampu cepat membuat produk yang siap dipasarkan.
2. sampai saat ini penerbit A ini masih berbadan hukum CV (perusahaan pribadi), dalam pelaksanaanya direktur Sangat dominant, sampai-sampai pesanan tidak akan bisa terkirim ke relasi jika uang di keuangan tidak ditambah oleh direktur dengan cara mengambilnya terlebih dahulu di ATM, artinya jika terjadi “apa-apa” dengan direktur, maka tidak jelas nasib penerbit A ini, apakah bisa berlanjut atau langsung bubar

Nah, dari SWOT diatas terhadap penerbit A, maka diharapkan bagi siapa saja mampu memilah-milah , mana faktor yang siknifikan mempengaruhi penerbitan buku Islam, selanjutnya jika faktor tersebut anda anggap penting, maka tirulah dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan perusahaan anda, selamat mencoba.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran Buku Islam

Senin, 15 September 2008

Ramadan, penjualan buku Islami naik 30%

Solo (Espos)--Pada sepekan awal memasuki Ramadan tahun 2008, penjualan buku bernafaskan Islami di kompleks kios buku belakang Stadion Sriwedari Solo meningkat hingga 30% di banding hari biasa. Kebanyakan buku-buku yang diburu masyarakat berisi muatan materi-materi seputar Ramadan.

Salah satu penjaga kios buku Aziz Agency, Taqwin, mengatakan sejak hari pertama puasa, masyarakat mulai memadati kios-kios buku di belakang Stadion Sriwedari. Sedang jumlah konsumen yang datang ke kiosnya saat ini rata-rata mencapai 30 orang.

"Buku-buku yang banyak dibeli seputar amalan-amalan Ramadan. Juga ramai juga Alquran dan tafsirnya," jelasnya kepada Espos, Selasa (9/9) di kiosnya.

Penjaga kios buku lain, Jumanto, menyampaikan agar pembeli meningkat, pihaknya memberikan diskon buku mencapai hingga 40%. Jumlah buku yang dibeli konsumen beragam dari satu eksemplar buku hingga berjilid-jilid buku, terutama konsumen dari kalangan sesama penjual buku. Diprediksi, peningkatan penjualan tetap mengalami peningkatan sampai hari H Lebaran serta sepekan setelah Lebaran.

"Selain buku Islami, peningkatan penjualan juga terjadi pada produk madu. Di banding hari-hari biasa, penjualan madu saat bulan puasa ini bisa hingga 2 kg per hari atau berkwintal-kwintal bagi konsumen besar," ujarnya.

Senada, penjual buku di Kios Buku Putera Indonesia, Farel, menyampaikan selama sepekan Ramadan ini, omset yang diraih rata-rata Rp 200.000/hari atau meningkat sekitar 15% dari hari biasa.
http://www.solopos.com/berita.php?ct=12644&d1=ekonomi%20bisnis

Kamis, 11 September 2008

Editor adalah Idetor


Beberapa hari yang lalu, saya mendapat cerita dari teman yang ikut pelatihan pemasaran buku di IKAPI Jaya, dari cerita teman tersebut ada beberapa hal yang bisa saya sharing, Semua penerbit tentunya mengharapkan mampu menerbitkan buku yang berkwalitas sekaligus buku yang laku (best seller) di pasar. Namun keinginan ini belum tentu selaras dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh penerbit sendiri untuk menjadikan produknya (bukunya) yang berkwalitas dan best seller. Jika buku menjadi buku yang best seller banyak pihak akan menjadi senang, baik penulis, penerbit termasuk juga toko buku.

Salah satu faktor penting dalam terbitnya buku berkwalitas dan best seller adalah , editor bukan hanya sebagai pengedit naskah yang masuk ke redaksi, namun editor juga mempunyai ide (idetor) yang kreatif, sehingga naskah yang biasa-biasa saja akhirnya bisa menjadi luar biasa di tangan idetor. Salah satu contoh misalnya ketika naskah yang diterima fontnya monoton, dan kurang kreatif, maka sang idetor seharusnya mampu mencarikan font yang baik, enak dimata dan bisa jadi menambahkan diagram, flow chart, dan lain sebagainya. Wal hasil jadilah buku yang kreatif, inovatif dan best seller.

Mungkin ada yang berfikir, lo…kalau begitu bisa jadi seorang idetor akhirnya seperti penulis?, bisa jadi ya, karena editor yang baik, sekaligus juga bisa sebagai penulis yang handal. Satu hal lain lagi yang perlu dikembangkan di editor dan staff keredaksian adalah semangat menerima kritikan dan mau memberikan kritikan yang pedas sekalipun untuk pengembangan produk, karena adakalanya tidak semua orang siap menerima kritikan, apalagi menyangkut kerja yang telah dilakukan seseorang, nah untuk menumbuh suburkan “semangat bisa menerima” ini, suasananya harus dibuat sekondusif mungkin sehingga orang bsia menerima, termasuk setter, designer, dll yang terkait. Harus dilibatkan dan diajak untuk bisa saling menerima.

Dalam konteks pemasaran buku, kualitas produk sangat menentukan keberhasilan buku di pasaran, sebagai misal buku yang isinya sangat berkwalitas tapi tidak di “packaging” dengan baik, berdampak pada tidak terjualnya buku tersebut kepasaran, begitu juga naskah (bahasa arab atau dari bahasa Ingris) yang kualitasnya bagus namun diterjemahkan dengan asal-asalan, akan berdampak juga pada penjualan, jadi kombinasi pada naskah yang bagus dan penampilan yang menarik merupakan salah satu faktor penting best sellernya produk.

Untuk menjaga semangat editor yang idetor, dapat ditempuh dengan kunjungan ke toko buku, kunjungan ke pameran, mengadakan diskusi terbuka tentang ide baru, melakukan kajian mendalam kenapa buku “A” menjadi best seller. seperti laskar pelangi, paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan buku tersebut menjadi best seller, seperti :
1. buku yang baik itu ada tokoh disana
2. bahasanya bahasa obrolan
3. mengikuti trend yang ada
4. sehingga orang ketika membaca, orang kembali membicarakannya, promosi mouth to mouth
5. kertasnya enak dibaca, dll

Trade off antara target dan kualitas buku

Adakalanya seorang editor sering mengeluhkan antara target yang dibebankan dengan membuat buku yang berkwalitas, “bagaimana mau membuat buku yang berkwalitas saat yang sama juga ditargetkan harus mampu membuat sekian judul buku dalam sebulan”. Seharusnya ini tidak perlu dipertentangkan, karena selayaknya editor (Idetor) yang professional mampu mengawinkan antara kualitas yang tinggi dengan kecepatan yang terukur dalam menghasilkan produk. Jadi tetap target tercapai dengan cepat namun kualitas dan proses kreatif juga selalu menjadi hal yang utama.
Jaharuddin
Praktisi pemasaran buku Islam

Kamis, 04 September 2008

Ciri-ciri Naskah Buku yang Berkualitas


Naskah buku adalah tulang punggung penerbit. Tanpa sebuah naskah, tidak akan ada penerbitan. Naskah buku bisa didapatkan dengan berbagai cara, di antaranya kreativitas penerbit dengan menyusun langsung buku-buku tertentu, kiriman penulis, hasil kajian ilmiah pakar tertentu, atau jika mungkin penerbit mengadakan sayembara mengarang/menulis buku, yang terbaik nanti diterbitkan.

Walau demikian tidak sembarang naskah akan diterbitkan, semuanya harus memenuhi persyaratan. Hal ini baik menyangkut bisnis maupun idealisme. Sebuah penerbitan akan rugi besar jika buku yang diterbitkan ternyata tidak laku di pasaran. Begitu pula seorang penerbit harus mempunyai tanggung jawab moral untuk mencerdaskan masyarakat, tidak melulu bisnis.


Menurut Sofia Mansoor dan Niksolim (1993), untuk menerbitkan sebuah buku sebuah penerbitan harus bisa memenuhi kriteria berikut ini:

1. Keperluan
Apakah buku ini memang diperlukan masyarakat? Mengapa?

2. Sasaran pembaca
Siapakah pembaca buku ini: umum, dewasa, anak-anak, kaum ibu, orang tua, mahasiswa (jurusan apa, tingkat berapa).

3. Jumlah Pembaca
Berapa kira-kira ukuran pasar? Hal ini tidak mudah dijawab, tetapi untuk buku tertentu jawabannya mudah. Misalnya, buku pelajaran mudah diperkirakan jumlah pembacanya karena yang menggunakannya pelajar pada jenjang pendidikan tertentu.

4. Isi Naskah
Apakah isi naskah tidak menyinggung SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan/adat istiadat), tidak menentang ideologi negara, sesuai dengan tingkat pembaca?

5. Saingan
Apakah ada buku lain yang menjadi saingan buku tersebut? Sebutkan judulnya. Apa kelemahan dan kelebihan naskah buku ini dibanding saingannya?

6. Penyajian
Apakah isi ditulis dengan susunan tertib, apakah bahasa pengarang mudah dipahami, apakah ilustrasi mendukung uraian?

7. Kemutakhiran
Apakah isi buku ini tidak ketinggalan zaman? Jawabannya dapat diperolah dengan mengamati daftar pustaka yang diacu pengarang.

8. Hak cipta
Apakah penelaah mengenali ada bagian yang dikutip dari buku lain? Penerbit harus waspada agar jangan sampai penerbit dituntut karena menerbitkan buku jiplakan.

9. Kelayakan terbit
Apakah buku tersebut layak diterbitkan oleh penerbit yang bersangkutan? Sejumlah penerbit hanya menerbitkan buku-buku tertentu, buku agama, sekolah, universitas misalnya.

Seorang penulis yang mampu menyelami nurani massa, akan mampu menulis buku yang bukan hanya berkwalitas, tapi juga disukai khalayak pembaca. Buku yang laku, akan menguntungkan dari segi dakwah, semakin banyak pembaca berarti dakwah semakin tersebar luas. Dari sudut ekonomi, baik penerbit maupun penulis, jelas akan diuntungkan dengan buku best seller (laris di pasaran).

By Abu Al-Ghifari
http://penulissukses.com/penulis9.php

Mengenal Sejarah Buku

Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari, kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga akhirnya mereka kuwalahan alias tidak mampu menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.

Buku kuno ketika itu, belum berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.

Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.

Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk membuat tulisan. Panjang gulungan papyrus itu kadang-kadang mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.

Kesulitan menggunakan gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah manusia yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya, manusia terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban kehidupannya. Maka, pada awal abad pertengahan, gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex.

Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah menggunakan kulit domba yang disamak dan dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih kuat dan lebih mudah dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih mudah digunakan. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.

Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti lipatan-lipatan kain korden.

Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.

Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu dijilid hingga membentuk sebuah buku.

Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.

Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.

Sebagai tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman bernama Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.

Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20.

Buku di Era Modern
Di era modern sekarang ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).

Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.

Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, sebab tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.

Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis.

Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.

Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bagi seorang muslim da’i yang memiliki komitmen dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah adalah pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar menjelma fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.

By Badiatul Muchlisin Astii
http://penulissukses.com/penulis12.php

Sejarah Buku

Sebelum kemunculan buku, manusia telahpun memiliki cara untuk menurunkan tulisan. Pada awal tamadun, manusia pada lazimnya menurunkan tulisan mereka di atas batu, papan, dan juga di atas daun (misalnya daun lontar yang menjadi lambang DBP). Sehubungan itu, medium tulisan awal ini adalah bentuk proto bagi buku.

Buku dikatakan muncul dalam sejarah umat manusia, apabila orang Mesir mencipta kertas papirus pada tahun sekitar 2400 SM. Adapun kertas papirus yang diturunkan tulisan ini digulungkan untuk menjadi "skrol" (scroll), dan ia diyakini adalah bentuk buku yang paling awal.

Selain itu, buku juga muncul di tamadun yang lain dengan bentuk yang lain. Contohnya, di Kemboja, Sami Budha di situ membaca "buku" yang dibuat daripada daun dan amalan ini masih dikekalkan sehingga hari ini dan perkara pernah dilaporkan oleh Nasional Geografi. Manakala di negeri Cina, sebelum terciptanya kertas, para cendekiawan di situ menurunkan tulisan mereka di atas lidi buluh dan mengikat lidi ini menjadi buku. Amalan menulis di atas lidi telah mempengaruhi sistem tulisan Cina sehinggakan orang Cina mengamalkan tulisan menegak sehingga pada awal moden

Buku memasuki satu era yang baru apabila industri kertas menjadi mantap. Kertas dipercayai muncul di negeri Cina seawal-awalnya pada 200 SM, selepas itu teknologi ini dibawa oleh pedagang muslim ke Eropah sebelum abad ke-11. Dengan adanya kertas, penulisan menjadi lebih mudah kerana kertas mempunyai ciri-ciri mudah disimpan dan juga bertahan lama.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Buku#Sejarah_buku

Rabu, 03 September 2008

ACEH BOOK FAIR & VISUAL ARCHIVES 2008


Keinginan dan kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan makin terasa dan masyarakat semakin sadar terhadap kebutuhan sumber ilmu pengetahuan ataupun pendukung proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan. Namun ketersediaan buku di Aceh selama ini masih timpang dengan kebutuhan, hal ini disebabkan segannya penerbit untuk masuk ke Aceh.

Pasca tsunami kebutuhan terhadap buku semakin bertambah, didukung adanya program pihak donor internasional khususnya yang bergerak di dunia pendidikan melakukan rehabilitasi sistem dengan membantu para siswa dan mahasiswa, juga bagi lembaga perpustakaan, sampai saat ini mereka terkendala sulitnya mencari buku.

Sedikitnya judul buku yang beredar, berimbas pada sukarnya mendapatkan informasi perkembangan buku, kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mendorong dilaksanakannya ACEH BOOK FAIR dan VISUAL ARCHIVES 2008 tanggal 22 s/d 26 Agustus 2008 bertempat di AULA BADAN ARSIP PERPUSTAKAAN WILAYAH NAD. Dimulai pukul 09:00 s/d 18:00 WIB.yang di beri tema ‘aceh membaca aceh berjaya’ menjadi salah satu kegiatan yang diharapkan dapat memacu minat baca masyarakat Aceh serta menjadi pertemuan para penerbit dengan masyarakat dan pemerintah.

Dalam pelaksanaannya ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki dimasa mendatang seperti : Promosi yang sangat kurang, panitia sangat sedikit menempelkan spanduk, hanya 44 spanduk, Promosi dimedia cetak yang hanya sekali dan di kolom yang kurang strategis, Panitia baru menempelkan pamlet & spanduk pada hari “H”di UNSIAH Aceh, Tempat Yang kurang representative, dari 18 stand yang ada hanya 6 stand yang terisi, Panitia yang baru pertama kali melakukan event pameran buku, Pengunjung yang sangat sedikit, Waktu yang hanya 5 hari, dan pada akhir bulan.

Namun demikian kita selayaknya memberikan apresiasi yang positif atas kerja keras panitia dalam mengelar acara, hal yang positif perlu dipertahankan seperti panita yang sangat bersahabat dengan peserta, panitia dapat menerima masukan dari peserta, semoga dimasa yang akan datang pameran bisa lebih baik karena didukung minat baca dan minat beli yang tinggi di Aceh, Aceh merupakan pasar potensial untuk buku-buku Islam.
Sukma Duriat, A.Md (Penanggung Jawab pameran Aceh 2008)

Balik Papan dan Samarinda Book Fair 2008


Pameran ini berlangsung di dua kota di wilayah Kalimantan Timur dengan penyelenggara ADIL ORGANIZER, yaitu di Balikpapan dan Samarinda. Di Balikpapan berlangsung dari tanggal 12 – 21 Agustus 2008 bertempat di Gedung Nasional Jl. Jend. Sudirman. Sedangkan pameran di kota Samarinda bertempat di Gedung Auditorium Universitas 17 Agustus 45 Jl. Juanda dari tanggal 25 – 31 Agustus 2008.

Pameran di hari ke 1- 4 berlangsung sepi pengunjung, penjualan tidak sesuai dengan harapan. Baru pada hari ke 5 sampai penutupan mulai terjadi kenaikan penjualan. Padahal daya beli masyarakat di daerah ini sangat tinggi dan mayoritas penduduknya muslim. Masyarakat Kaltim juga relatif memiliki minat baca yang cukup tinggi terhadap buku-buku keIslaman.

Seandainya kegiatan promosi dapat dilakukan jauh hari sebelum pelaksanaan diyakini pameran ini akan mampu mendatangkan pengunjung yang lebih banyak , diharapkan panitia lebih memperhatikan sikap profesionalisme yang tinggi dalam merencanakan dan mengelola pameran, sehingga target pengunjung dan panjualan bisa tercapai.

Ke depan jika diadakan kembali pameran di daerah ini, maka perlu diperhatikan siapa penyelenggaranya, dimana tempatnya, waktu penyelenggaraan, dan kegiatan promosinya. Penyelenggara haruslah profesional, penyelenggara haruslah mengetahui secara benar karakter daerah tersebut sehingga kegiatan promosi, pemilihan tempat dan waktu penyelenggaraan tepat sasaran. Salah satu tempat yang bisa dijadikan alternatif dan representatif adalah Islamic Center yang berada tepat di tengah kota Samarinda.
Anhar Muslim, S.Pi (PJ Pameran KalTim 2008)

Gramedia Cirebon Order ulang Aritmatika jari metode AHA sebanyak 500 eksemplar


Metode Asma’ul Husna Arithmetic (AHA),adalah konsep yang menyenangkan dan digunakan oleh lebih dari 5000 siswa di lembaga pendidikan Arya Group sejak tahun 2001, untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan mengunakan keseluruhan otak.

Aritmatika Jari Metode AHA, ditujukan untuk segala umur, lebih khusus bagi mereka yang berusia 5 tahun ke atas. AHA dapat membantu meningkatkan ketrampilan kita dalam berhitung tanpa kalkulator. AHA merupakan produk yang diimplementasikan dari hasanah dunia Islam, memiliki landasan ilmiah dan trasendental serta kajian literatur yang bisa dipertangung jawabkan.

Melalui Aritmatika Jari Metode AHA ini, setiap muslim bukan hanya diajarkan untuk mengerti, memahami dan pintar dalam berhitung yang itu merupakan “tools” untuk sukses dalam kehidupan , namun kita juga dituntun untuk memperdalam keimanan kepada sang Khalik.

Sampai bulan Agustus telah terjual + 5.000 eksemplar, dan pada bulan September ini akan dicetak kembali sebanyak 7.000 eksemplar, melihat permintaan toko yang begitu baik, seperti TB Gramedia Cirebon order ulang sebanyak 500 eksemplar, dan penulisnya sedang giat-giatnya melakukan seminar di berbagai kota , mulai dari Batam, Tanjung Pinang, Jakarta Utara, Bekasi dan Bandung . kemudian pada setiap seminar yang diadakan selalu animo peserta sangat antusias, seperti yang pernah diadakan pada Islamic Center Jakarta Utara tanggal 12 agustus 2008, panitia harus menambah bangku peserta karena peserta membludak, melihat kesunguhan promosi dari penulis dan animo peserta maka diyakini akan mendorong terjadinya peningkatan penjualan terhadap buku ini.

Agenda seminar terdekat:
1. Tanggal 7 September 2008, di Bekasi, cp bapak wisnu 08568970008
2. Untuk kesekian kalinya akan diadakan kembali seminar di Batam, tanggal 13 – 14 september 2008, cp Ade Verid 08192676972
3. Tanggal 21 september 2008, di Bandung, cp Deden 02292839401
4. dan agenda lainnya menyusul.

Bogor Book Fair 2008


Selasa 2 september 2008,saya sempat mengunjungi Bogor Book Fair 2008, yang diadakan di PPIB Bogor, di samping Masjid Raya Bogor, ada sekitar 50 - 70 stand dibuka di sana. dari pengamatan seentara saya beberapa jam di lokasi pameran, pameran bisa dikategorikan sebagai pameran yang sepi pengunjung, bahkan beberapa stand yang sempat saya ajak dialog mengeluhkan sepinya pengunjung, bahkan ada yang berkomentar lebih sepi dari pameran Garut.

Mengapa demikian? ada beberapa faktor yang mungkin bisa menjadi penyebab, seperti masih minimnya promosi panitia, tidak berhasilnya panitia mendatangkan penerbit-penerbit besar dari Jakarta seperti GIP, Mizan, dll, bisa jadi juga dipengaruhi oleh culture pengunjung yag sedang melakukan ibadah shaum ramadhan, sehingga cendrung malas untuk berkunjung ke pameran, dll.

padahal sejauh pengamatan saya dari penjualan di toko-toko buku di Bogor seperti Gramedia, TB Al Amin, Toko Gunung Agung, penjualan di toko-toko tersebut bisa dikategorikan sebagai toko-toko yang mempunyai penjualan yang baik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya potensi pasar buku terutama buku Islam di wilayah Bogor, berketegori baik dan sangat menjanjikan.

nah, kenapa pameran belum berhasil menarik pengunjung dan menghasilkan penjualan maksimal? ini tugas kita bersama dan panitia untuk mencari solusi terbaik mengenai pameran di Bogor.
salah satunya mungkin adalah tempat yang lebih representatif di kota bogor, namun tetap di dalam ruangan, karena bogor merupakan kota hujan.
wallahu' alam....

Rabu, 13 Agustus 2008

Trend Buku 2008


Apa yang akan menjadi trend dalam penerbitan buku tahun 2008 di Indonesia ? Jawaban singkatnya adalah fiksi dan referensi. Novel karya manusia Indonesia masih akan merajai. Mereka kini menjadi selebriti baru yang dielu-elukan pembacanya. Laskar Pelangi, misalnya, menjadi pusat perhatian banyak orang.

Kang Abik alias Habiburahman El Sirazy juga banyak diminati orang karena karyanya Ayat-Ayat Cinta. Demikian juga penulis-penulis muda lainnya menjadi idola banyak orang.

Jika Anda mencari inspirasi untuk meledak tahun 2008, tulislah novel. Namun untuk novel ini ada catatannya. Tidak hanya khayalan semata-mata di entah berantah, tapi bisa menyerempet setengah riwayat hidup Anda. Jika Anda pernah ke Perancis, Inggris atau Mesir, maka setting tempat itu yang pernah dikunjungi dan ditempati bisa jadi daya tarik tersendiri.

Selain itu, buku referensi lengkap baik agama maupun umum menjadi incaran berbagai rumah tangga di Indonesia. Referensi ini tidak hanya untuk pamer tetapi juga memang fungsional. Tahun 2008, buku-buku referensi tetang berbagai masalah akan menjadi incaran banyak orang. Formatnya tebal harganya selangit, tetapi konon masih ditunggu orang.
http://www.asepsetiawan.com/?s=sirazy

Kamis, 07 Agustus 2008

Industri Perbukuan Terhambat Kertas


Selasa, 01 Januari 2008
SURABAYA—Meski masih tetap bisa survive pada 2007, industri perbukuan mengeluhkan mahalnya kertas.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jatim Abdul Muiz Nahari menyatakan, harga kertas cenderung naik.
‘’Apalagi jika mendekati akhir tahun dan ganti tahun ajaran baru,’’ ujarnya.
Karena itu, kata Abdul Muiz, para pelaku industri perbukuan berharap ada diskon khusus dalam hal pengadaan kertas.
Selama ini, jelas dia, kertas menjadi komponen biaya yang sangat tinggi dibandingkan komponen lain, seperti tinta, plat,
dan biaya cetak. ‘’Dari total cost produksi, 30 persen di antaranya untuk kertas,’’ jelasnya.
Abdul Muiz berharap, ada perhatian khusus untuk para pelaku industri perbukuan. Sebab, bisnis perbukuan tidak melulu
terkait persoalan laba seperti halnya sektor bisnis lainnya. ‘’Tapi, juga terkait fungsi sosial untuk
mencerdaskan masyarakat,’’ ujarnya.
Meski terkendala kertas, kata dia, sepanjang 2007 industri perbukuan relatif stabil. ‘’Pertumbuhan
kapasitas produksi sebesar 20 persen,’’ katanya. Itu ditunjang oleh sejumlah proyek pengadaan buku
yang dilakukan lewat dana APBD.
Di samping itu, capaian kapasitas produksi itu juga ditunjang sales dari kota pinggiran. Abdul Muiz menjelaskan jika
daerah-daerah pinggiran memiliki kontribusi sales yang lebih besar daripada kota besar. ‘’Penjualan di
Jember, Pacitan, dan Ponorogo, misalnya, sangat tinggi,’’ katanya.
Sales industri perbukuan juga ditunjang oleh pengadaan buku penunjang pelajaran dan buku-buku umum. Sementara
buku jenis lain masih belum berkontribusi banyak. Soal prospek pada tahun mendatang, para pelaku bisnis perbukuan
berharap, hajatan politik pada 2008 (Pilgub Jatim) bisa memberi imbas positif. Begitu juga untuk pemilu dan pilpres
2009.
Sebab, biasanya, pesanan untuk buku-buku berbau kampanye akan datang. ‘’Dari hajatan politik itu,
mungkin bisa ada kenaikan kapasitas produksi sebesar 10 persen,’’ ujarnya. Abdul Muiz juga
menjelaskan, sales buku-buku agama cukup tinggi jika dibandingkan buku-buku umum. (eri/jpnn)

Industri Perbukuan Meningkat

BANDUNG, (karir-up) – Gairah industri perbukuan tahun ini meningkat. Terlihat dari animo penerbit yang ingin mengikuti pameran. Bahkan untuk pameran berikutnya, sudah 30 persen yang ikut Pesta Buku Bandung menyatakan keikutsertaan pada pameran Mei mendatang. Demikian disampaikan Erwan Juhara, Penanggung Jawab Bidang Promosi dan Publikasi Pesta Buku Bandung 2008, Sabtu (2/2).

“Selalu ada yang waiting list ketika pameran mendekati waktu pelaksanaan. Ini menandakan minat yang besar, namun harus menunggu kepastian dari yang sudah mendaftar duluan,” jelas Erwan.

Panitia pameran Pesta Buku Bandung 2008 sendiri merasa optimistis bisa meraup Rp 2 miliar. Angka ini bisa tercapai karena pameran serupa tahun lalu berhasil membukukan transaksi sebesar Rp 1,87 miliar.

“Pesta Buku Bandung 2008 digelar IKAPI Jabar dan berlangsung pada 29 Januari hingga 4 Februari 2008 di Gedung Landmark. Transaksi itu kemungkinan bisa tercapai lantaran jumlah pengunjung terus bertambah. Rata-rata pengunjung mencapai 10 ribu orang per hari,”papar Erwan
.
Ditambahkan Erwan, Pesta Buku Bandung 2008 ini ada 80 penerbit yang ikut dan menyewa 130 stand yang disediakan. Banyaknya buku baru menjadikannya optimistis target transaksi Rp 2 miliar bisa tercapai. Selaian itu para penerbit juga bervariasi, tak hanya dari Jabar tapi juga dari DKI, Jateng, Jatim dan Yogyakarta.

“Transaksi tampaknya makin tinggi. Pasalnya semua peserta menawarkan variasi buku dengan berbagai tema menarik. Serta diskon yang besar hingga 70 persen. Beberapa peserta juga menyiapkan hadiah yang diundi untuk setiap pembelian buku,”jelas Erwan

Disinggung mengenai buku yang disukai saat ini, Erwan menyebutkan buku jenis spiritual yang lebih diminati. Buku tersebut diantaranya yang memiliki tema keteladanan dan motivasi baik dalam kemasan keagamaan maupun masalah sosial.

“IKAPI Jabar biasanya mengadakan tiga kali pameran dalam setahun yang berlangsung di Bandung. Serta satu kali pameran diadakan di luar Bandung. Tiga pameran di Bandung yakni Pesta Buku Bandung (Januari-Februari), Islamic Book Fair, tahun ini akan dilaksanakan pada 29 April-5 Mei 2008 dan Pameran Buku Bandung yang tahun ini akan digelar pada 30 Juli-6 Agustus 2008,”pungkas Erwan (RAS/tj)
http://www.karir-up.com/2008/02/industri-perbukuan-meningkat/

4 Pilar Industri Penerbitan


Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei
Empat Pilar Industri Perbukuan
Dibangunnya sebuah taman baca di Jl. Pramuka Gang Kencana 5A Samarinda yang sejak dioperasikan 12 Januari lalu, taman baca ini sudah ramai dikunjungi pelajar SD yang ada di lingkungan sekitar. Sementara koleksi buku sudah mencapai 1,200 buku yang didominasi buku-buku komik dan buku pelajaran SD (Kaltimpos, Januari 2008). Endah, pengelola taman baca menyatakan bahwa taman baca tidak hanya untuk kalangan SD tapi juga untuk kalangan mahasiswa. Minat baca lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman atau lesson learn yang telah diperoleh dari lingkungannya, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah masyarakat. Dari ketiga lngkungan pendidikan tersebut, lingkungan yang dipandang lebih potensial untuk menumbuhkankembangkan minat baca anak dalah lingkungan pendidikan, terutama yang dikelola melalui jalur sekolah.

Namun persoalannya adalah bagaimana lingkungan pendidikan sekolah dapat menumbuhkembangkan minat baca anak? Tentunya sekolah yang di dalamnya tercipta situasi pembelajaran yang menyenangkan, menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, mengaktifkan siswa, memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir kritis dan logis serta untuk mengembangkan kreativitasnya, dan yang memungkinkan mereka belajar secara efektif yang pada gilirannya menumbuhkan minat membaca.

Perlunya peningkatan minat baca ini dilatari oleh kemampuan membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30. rendahnya kemampuan membaca ini dilatari oleh suatu kondisi pasif tentang kurangnya gairah dan kemampuan para peserta didik untuk mencari, menggali, menemukan, mengolah, memanfaatkan dan mengembangkan informasi. Salah satu sebab etimologisnya yaitu lemahnya minat baca mereka. Inilah yang perlu dicermati perkembangannnya serta diupayakan alternatif solusinya.

Data di atas relevan dengan Laporan World Bank dalam Education in Indonesian from crisis recovery (199 memaparkan bahwa minat dan kemampuan baca anak-anak Indonesia amat rendah. Minat baca untuk siswa kelas enam SD dinilai 51,7. nilai ini merupakan nilai paling rendah di antara minat baca bila dibandingkan dengan bangsa lain setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Hongkong (75,5). Hal ini menurut Ki Supriyoko (2004), minat baca anak-anak Indonesia dinilai paling buruk bila dibanding dengan negara-negara lain.

Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Athaillah Baderi (2005) dalam pidato pengukuhan pustakawan utama . Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study mengungkap (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.

Padahal pasca ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 1 tanggal 19 Januari 2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004/2005 yang di dalamnya menetapkan standar kelulusan untuk tiga bidang studi (bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematika) adalah tidak boleh kurang dari 4,25. Ketentuan kelulusan ini lebih tinggi dari standar kelulusan Ujian Akhir Nasional sebelumnya, yaitu 4,01. Ketentuan standar kelulusan ini mempunyai kecenderungan meningkat untuk tahun-tahun yang akan datang secara bertahap (Sutrisno, 2005). Apa jadinya nanti bangsa Indonesia, jika budaya baca masyarakat tidak membudaya.

Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP), maka hipotesis yang mengemuka adalah kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15–25 tahun.

Masih banyak lagi hasil survei lembaga-lembaga riset yang semakin menambah panjang bukti keterpurukan pendidikan di negara kita. The Poor Political and Ekonomic Risk (PERC) yang berkedudukan di Hongkong menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan ke 12 dari 12 negara yang diteliti. Survei PERC ini didasarkan pada 17 variabel yang terdiri dari; impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; porsi penduduk yang berpendidikan dasar; porsi penduduk yang berpendidikan menengah; porsi penduduk yang berpendidikan tinggi dan pasca sarjana; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; ketersediaan tenaga kerja produktif yang berkualitas tinggi; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; ketersediaan tenaga kerja; jumlah biaya untuk mendidik staf manajemen; ketersediaan staf manajemen; tingkat ketrampilan tenaga kerja; semangat kerja dari para tenaga kerja; kemampuan berbahasa Inggris; kemampuan bahasa asing selain bahasa Inggris; kemampuan menggunakan teknologi tinggi; tingkat keaktifan tenaga kerja; dan frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja yang pensiun.

Saat ini dunia pendidikan kita masih dihadapkan dengan suatu kondisi pasif tentang kurangnya gairah dan kemampuan para subjek didik untuk mencari, menggali, menemukan, mengolah, memanfaatkan dan mengembangkan informasi. Salah satu sebab etimologisnya yaitu lemahnya minat baca mereka. Inilah yang perlu dicermati perkembangannnya serta diupayakan alternatif solusinya.
Disposisi (kecenderungan) individu yang berdasar pada kesenangan dan hasrat yang selalu timbul untuk memiliki atau melakukan sesuatu. Minat seseorang menimbukan motivasi untuk mendapatkan atau melakukan apa yang diminatinya. Besar atau kecilnya minat yang ada dalam dirinya terhadap sesuatu berpengaruh pada kuat atau lemahnya motivasi yang dimilikinya. Dengan demikian, minat baca seorang peserta didik akan mempengaruhi motivasinya untuk membaca.
Kegemaran membaca perlu dibudayakan dengan memperluas peluang atau akses terhadap buku-buku bermutu yang memberdayakan. Akses diberikan dengan berbagai cara pada buku pembelajaran, buku bacaan, dan lingkungan teks bukan bahan cetak seperti tulisan tangan berisi denah, peta karya ilmiah, cerita, motto, pesan, atau pepatah yang ditullis oleh siswa, guru atau orang tua yang dapat dipajang di kelas atau sekitar sekolah.
Secara teknis buku yang memberdayakan adalah buku yang memuat kemahiran belajar. Kemahiran belajar merupakan ketrampilan hidup yang dikembangkan supaya siswa menguasai cara-cara belajar yang berkesan. Salah satu upaya pengembangan minat dan kegemaran membaca adalah dengan adanya distribusi buku. buku merupakan salah satu syarat mutlak yang diperlukan untuk pengembangan program ini, khususnya bagi anak-anak kecil yang tentunya belum begitu banyak mengenal teknologi informasi. Artinya, bahwa fungsi buku memberikan tempat tersendiri bagi perkembangan anak. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada semakin maraknya industri perbukuan di Indonesia secara khusus dan dunia perbukuan secara umum.
Industri perbukuan yang dikemukakakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Wardiman Djojonegoro, bahwa ada empat pilar utama yang ada dalam industri perbukuan. Pertama, pengarang merupakan pilar utama yang harus ada dalam penggalakkan industri perbukuan. Penggalakkan upaya pengembangan dan perkembangan perbukuan nasional diharapkan adanya adanya pengarang/penulis berbakat dan hasil karya yang berupa buku-buku yang berkualitas, jurnal, dan semisalnya. Sehingga memberi peluang kepada penulis-penulis ataupun pengarang-pengarang untuk mengembangkan potensinya.

Kedua, selain adanya pengarang juga dibutuhkan adanya penerbit yang bersinergi dengan pengarang. Pengarang menghasilkan karya, sedangkan penerbit berfungs menerbitkan hasil karya pengarang. Namun tidak dapat dinafikan, sulitnya pengarag menembus ketatnya persaingan dalam menerbitkan karya, mengindikasikan bahwa hanya karya-karya bermutu dan berkualitas sajalah yang layak terbit. Sehingga, dibutuhkan suatu wahana untuk memuluskan hasil karya anak bangsa ini misalnya ditelorkannya kebijakan pemerintah menerbitkan karya tersebut walaupun hanya sekedar sebagai prototif buku-buku “drop-dropan” dari pemerintah dengan catatan karya tersebut sesuai dengan budaya, corak, dan kebutuhan sekolah penerima.

Ketiga, distributor ini merupakan kepanjangan tangan dari penerbit dan pengarang untuk mendistribusikan hasil terbitan penerbit yang bersangkutan. Dan keempat, adalah konsumen yang menjadi objek dalam pengembangan dan perkembangan industri perbukuan. Konsumen membeli buku-buku yang mereka perlukan. Jika anak sudah dibiasakan membaca di usia dini, maka sudah barang tentu ide besar Wardiman Djojonegoro akan menjadi sebuah kenyataan.

Salam,
Sismanto
http://mkpd.wordpress.com

Geliat Perbukuan India Merengkuh Dunia

Sabtu, 19 Agustus 2006
BI Purwantari

Banyak orang tahu, India, terutama Bollywood, adalah salah satu industri film raksasa dunia. Saat ini, secara perlahan tapi pasti, mata penduduk dunia mulai berpaling juga pada industri kebudayaan lainnya di India: buku. Di bawah bayang-bayang kebesaran Bollywood, industri buku India kini memasuki jalur perdagangan tingkat dunia.

Tahun ini, Frankfurt Book Fair ke-58, ajang pameran buku terbesar di dunia, yang rencananya akan digelar pada 4-8 Oktober 2006, akan menampilkan India sebagai tamu kehormatannya (Guest of Honour Country). Penampilan India sebagai tamu kehormatan di Frankfurt nanti penting untuk dicatat karena ia menjadi satu-satunya negeri yang diberikan kesempatan sebanyak dua kali dalam rentang waktu 20 tahun. Kesempatan pertama dulu diberikan pada tahun 1986. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan pengakuan dunia internasional terhadap industri perbukuan India yang berkembang pesat selama satu dekade terakhir.

Berdasarkan catatan Nuzhat Hassan, Direktur National Book Trust of India, sebuah lembaga bentukan negara yang bertugas mempromosikan buku dan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat India, industri perbukuan India bernilai lebih dari 30 miliar rupee India (setara dengan 685 juta dollar AS) yang dihidupi oleh sekitar 15.000 penerbit. Para penerbit ini memproduksi buku-buku berbahasa Inggris dan buku-buku yang memakai 24 bahasa lokal, termasuk di antaranya bahasa Hindi, Malayalam, Tamil, Bengali, Telegu, Gujarati, Punjabi, dan Assamese. Dengan jumlah penerbit sebesar itu, India dapat memproduksi sekitar 70.000 judul per tahun dan 40 persen (sekitar 28.000 judul) di antaranya adalah buku-buku berbahasa Inggris. Proporsi angka sebesar ini membuat India menjadi negeri penerbit buku berbahasa Inggris terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris!

Perkembangan yang pesat juga dapat dilihat dari kenaikan pertumbuhan ekspor buku India. Pada tahun 1991 nilai ekspor buku-buku dari India mencapai angka 330 juta rupee, tahun 2003 melesat naik hingga 3,6 miliar rupee, dan tahun 2005 naik lagi menjadi 4,29 miliar rupee dengan sasaran 80 negara. Hal ini terjadi tidak lain karena buku-buku terbitan India mendapat pengakuan internasional, baik karena kualitas isi, mutu produknya, serta harga yang relatif terjangkau. Banyak buku terbitan India memenuhi persyaratan sebagai buku pendidikan di negeri-negeri Afrika-Asia, maupun negeri-negeri South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) yang terdiri atas Banglades, Butan, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, dan India. Demikian pula buku-buku tentang filsafat, agama, yoga, kebudayaan, sejarah, sastra kontemporer, dan ilmu pengetahuan alam mendapatkan pasar yang bagus di kalangan negeri-negeri Eropa barat, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jepang, maupun Uni Emirat Arab.

Berbahasa Inggris

India memulai sejarah penerbitan buku-buku berbahasa Inggris sejak zaman kolonial. Penguasaan terhadap bahasa Inggris, berkembangnya gerakan nasionalis, dan meningkatnya tingkat melek huruf di masa kolonial, telah menambah permintaan terhadap buku-buku berbahasa Inggris di negeri jajahan Inggris ini. Roda penerbitan buku berbahasa Inggris mulai berputar ketika tiga penerbit Inggris masuk India, yaitu Longman Green dan Macmillan pada abad ke-19 dan Oxford University Press pada tahun 1912. Dalam perjalanan waktu, beberapa penerbit, seperti Macmillan, Kegan Paul, dan John Murray mendirikan perpustakaan kolonial dan membuat daftar buku-buku berbahasa Inggris yang harus dikirim ke negeri yang kaya akan kebudayaan lokal ini. Penerbitan pribumi pun mulai berkembang seiring dengan pertumbuhan kesempatan dalam pendidikan dan peningkatan investasi dalam bidang penyelenggaraan pendidikan dan sekolah-sekolah. Kemerdekaan politik turut mempercepat proses tersebut. Kini, penerbitan milik pribumi maupun asing tumbuh berdampingan, berkompetisi, ataupun berkolaborasi di pasar dalam negeri India maupun internasional.

Gambaran dunia penerbitan India saat ini diisi oleh para pemain besar dari luar India, seperti Penguin India, Harper Collins India, Macmillan India, Picador, Random House India, ataupun pemain lama seperti Oxford University Press, Orient Longman, maupun penerbit besar pribumi seperti Rupa & Co, Vikas Publishing, Roli Books, serta UBS Publisher. Umumnya, para penerbit ini memproduksi lebih dari 100 buku per tahun. Penguin India, misalnya, rata-rata menerbitkan 200 judul per tahun, sementara Rupa & Co yang telah berdiri sejak tahun 1936 mengeluarkan 250-260 judul baru setiap tahunnya.

Di samping penerbit besar, industri buku India diwarnai oleh menjamurnya penerbit-penerbit independen skala kecil dan menengah. Penerbit tipe terakhir ini masing-masing memiliki profil organisasi dengan spesialisasi buku yang sangat beragam.

Kali for Women misalnya, meskipun kini telah menjelma menjadi dua penerbit dengan manajemen berbeda yaitu Zubaan Book dan Women Unlimited, merupakan penerbit buku-buku feminis yang cukup berhasil di pasar. Didirikan oleh dua tokoh feminis terkemuka, Urvashi Butalia dan Ritu Menon, penerbit ini bermula dari usaha kecil di sebuah garasi di New Delhi pada tahun 1984. Zubaan Book yang memiliki kantor mungil di Hauz Khas Enclave, New Delhi, itu kini rata-rata memproduksi 15-20 judul baru per tahun.

Penerbit lainnya seperti Seagull merupakan penerbit yang menggeluti buku-buku tentang teater, musik, film, seni rupa, maupun buku-buku akademis dan referensi seperti filsafat ataupun bidang kajian.

Sementara itu, penerbit Katha memfokuskan diri pada kerja-kerja penyelamatan karya-karya klasik berbahasa lokal yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara baik dan menerbitkannya dalam edisi yang berkualitas. Penerbit lainnya, seperti Tulika, bermain di pasar buku anak-anak, sementara Permanent Black, English Edition, Ravi Dayal, India Ink, Minerva, ataupun Srishti membidik pasar pembaca umum atau yang lebih dikenal dengan sebutan trade books.

Semua penerbit ini, selain mendistribusikan buku-bukunya di dalam negeri India, juga melempar produknya ke pasar dunia. Untuk distribusi di dalam negeri para penerbit memanfaatkan toko-toko buku kecil yang tersebar di seluruh India maupun toko buku besar dengan masing-masing memiliki sekitar 7 sampai 30 outlet di seluruh India seperti toko buku Oxford, Crossword, maupun Landmark.

Bisnis "outsourcing"

Banyaknya penerbit asing yang beroperasi merupakan konsekuensi diberlakukannya peraturan Pemerintah India yang membuka 75 persen sektor penerbitan buku (non-news sector) untuk dimasuki oleh investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dan 100 persen untuk sektor perdagangan buku. Fenomena terbaru adalah masuknya penerbit besar dari Inggris, Cambridge University Press (CUP), yang melebarkan sayap bisnisnya ke India. CUP mengakuisisi 51 persen saham Foundation Books, sebuah penerbit sekaligus distributor, di antaranya mendistribusikan buku-buku terbitan Seagull yang berbasis di New Delhi dengan nilai investasi sekitar 6 juta dollar AS. Menurut rencana, Cambridge University Press India akan menjadi basis penerbitan buku-buku pendidikan yang bermutu maupun jurnal, tidak hanya untuk pasar dalam negeri India tetapi juga untuk negeri-negeri Asia di sekitarnya. Selama ini memang CUP memfokuskan kerjanya pada penerbitan buku-buku teks bagi level pascasarjana maupun buku-buku hasil penelitian di berbagai bidang, sementara Foundation Books dikenal menerbitkan jurnal bergengsi, Journal of India Foreign Affairs.

Dengan 20 juta penduduk berbahasa Inggris aktif, India merupakan pasar buku yang menjanjikan. Potensi yang menjanjikan ini juga mendorong perkembangan bidang lain dari industri penerbitan India. Bidang itu adalah bisnis off -shore publishing. Bisnis ini memungkinkan perusahaan-perusahaan penerbitan besar di luar India memanfaatkan tenaga-tenaga profesional India untuk mengelola bisnis mereka di India melalui kemajuan teknologi informasi. Nilai bisnis ini di India diperkirakan mencapai 200 juta dollar AS tahun 2006 ini. Sebuah perusahaan riset dan intelijen bisnis di India, ValueNotes Database Pvt Ltd, memprediksi bahwa nilai bisnis ini di India akan menyentuh angka 1,1 miliar dollar AS tahun 2010. Alasan utama perusahaan-perusahaan besar tersebut menyewa perusahaan outsourcing India adalah ongkos produksi di India jauh lebih rendah dibanding negeri asal perusahaan tersebut. Mereka dapat memangkas ongkos produksi sekitar 50-70 persen. Outsourcing di segmen penerbitan telah dimulai lebih dari dua dekade lalu ketika perusahaan Macmillan membentuk unit offshoring di India tahun 1977.

Menurut The Financial Express edisi 26 Desember 2005, penerbitan newsletter merupakan kategori terbesar (53 persen) yang memanfaatkan bisnis outsourcing publishing ini. Sementara majalah dan jurnal mengambil porsi 24 persen, tabloid 6 persen, dan E-publicationa yang mengambil porsi 17 persen adalah kategori yang paling cepat berkembang dari seluruh tipe bisnis ini.

Peran pemerintah

Lantas, apa peran Pemerintah India dalam mengembangkan industri ini? Paling tidak India mempunyai National Book Trust (NBT), sebuah lembaga negara yang dibentuk tahun 1957 atas usulan Perdana Menteri I India Jawaharlal Nehru, dan saat ini berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan. Nehru melihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri harus sejalan dengan kemajuan di bidang sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata perkembangan bidang terakhir itu adalah tingginya minat baca masyarakat agar mampu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni, dan budaya di masyarakat India sendiri. Nehru sendiri adalah seorang pencinta buku dan penulis yang hebat.

Saat ini, kegiatan lembaga ini difokuskan pada memproduksi dan mendorong produksi buku-buku yang baik dan membuat agar buku-buku baik tersebut tersedia dengan harga terjangkau masyarakat setempat. Buku-buku yang diterbitkan tersebut adalah karya-karya klasik berbahasa India maupun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, karya klasik berbahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa lokal; juga buku-buku pengetahuan modern untuk penyebaran secara meluas. Berdasarkan catatan NBT, jumlah buku yang diterbitkan lembaga yang berbasis di New Delhi ini bertambah dari tahun ke tahun: tahun 1969-1970 hanya sekitar 106 judul, meningkat hingga 188 judul pada tahun 1979-1980, lalu bertambah delapan kali lipat pada tahun 1989-1990 hingga mencapai 851 judul. Sejak itu, rata-rata terbitan NBT setiap tahunnya mencapai 1.000-1.200 judul yang meliputi karya asli, terjemahan, maupun cetak ulang atas buku-buku dalam 18 bahasa.

Selain itu, NBT juga mempromosikan buku dan minat baca masyarakat dengan menyelenggarakan berbagai pameran buku di seluruh India maupun di tingkat regional dan internasional. Sejauh ini, NBT telah mengorganisasikan 27 pameran buku nasional dan pameran keliling di berbagai negara bagian yang menjangkau hingga level semi-urban. Sejak tahun 1970, dalam kaitan mempromosikan buku-buku India ke dunia internasional, NBT telah berpartisipasi dalam 300 pameran internasional.

Industri kebudayaan yang besar ini tentunya juga tidak mungkin berkembang tanpa dukungan kebiasaan membaca masyarakat India. Dalam sebuah riset tentang berapa banyak waktu dihabiskan untuk membaca dibandingkan menonton televisi, yang dilakukan oleh National Opinion Poll World (NOP World), sebuah perusahaan riset pasar berbasis di Inggris, diketahui bahwa India menempati urutan teratas dalam hal menggunakan waktu untuk membaca. Dari riset terhadap 30.000 orang berusia 13 tahun ke atas yang bermukim di wilayah perkotaan di 30 negara pada tahun 2005, didapat hasil bahwa setiap orang India rata-rata menghabiskan waktu 10,7 jam per minggu untuk membaca. Angka ini lebih tinggi 4,2 jam dibandingkan dengan rata-rata angka global. Sementara itu, orang Inggris hanya memakai 5,3 jam seminggu untuk membaca. Sebaliknya, penduduk negeri bekas penjajah India ini menghabiskan 18 jam seminggu untuk menonton program televisi. Sementara orang India menempati urutan ke empat terbawah. Tampaknya, dunia Barat harus menyadari bahwa India telah menjelma menjadi pusat intelektual melalui kegiatan kebudayaan yang penting ini. (BI Purwantari Litbang Kompas)