Selasa, 06 Desember 2011

Ini tentang Memasarkan Naskah

Seorang bernama Michael Hyatt, CEO dari Thomas Nelson Publisher yang juga melakoni diri sebagai literary agent dan sempat memunculkan beberapa penulis best seller, menyebutkan bahwa bagaimana Anda mendapatkan kontrak dari sebuah penerbit bukanlah soal: 1) ide besar Anda; 2) Anda menulis sebuah adikarya sastra; 3) Anda mengenal orang yang tepat (di penerbitan). Rahasia nyatanya justru bagaimana Anda membuat proposal penerbitan buku.

Bagi saya ini memang soal kebiasaan atau juga budaya pada para penulis kita. Tidaklah terlalu dikenal profesi literary agent (agen penulis) di Indonesia sehingga cenderung para penulis tidak merekrut seorang agen untuk mengelola naskahnya. Adapun yang kerap mengaku sebagai literary agent cenderung menjadi perantara naskah tanpa melibatkan penulis berhubungan dengan penerbit. Bahkan, terkadang kontrak penerbitan justru ditandatangi agen, bukan penulisnya. Karena itu, penulis di Indonesia memang cenderung tidak mengenal profesi agen penulis ini yang ibarat manajer artis dalam dunia entertainment.

Hal lain soal proposal penerbitan buku, pun penulis Indonesia tidak terbiasa membuat proposal penerbitan dan mepresentasikannya kepada penerbit. Di samping itu, penerbit Indonesia juga tidak terbiasa dengan kebiasaan menerima presentasi resmi penulis. Hal inilah yang coba saya budayakan ketika membangun Divisi Akuisisi Naskah di Penerbit Tiga Serangkai. Kami mengundang beberapa penulis yang potensial dan dipersilakan untuk mempresentasikan naskahnya. Nama-nama penulis Indonesia, seperti Tasaro GK, Imran Laha, Tauhid Nur Azhar, bahkan N. Syamsuddin Haesy sempat mempresentasikan naskahnya di depan para editor termasuk marketer buku General Book Tiga Serangkai.

Hyatt memang betul terkadang persoalan naskah itu bukan soal Anda punya ide bagus, lalu Anda menuliskan sebuah karya brilian dan punya koneksi di penerbitan; semua terkait bagaimana Anda memasarkan naskah itu dan meyakinkan para editor maupun marketer di penerbit untuk menerima naskah Anda. Anda memang perlu menyusun sebuah proposal penerbitan yang berdaya.

Dalam buku The Art of Stimulating Idea, saya memaparkan satu bab tentang memasarkan ide meskipun tidak terlalu detail. Namun, saya telah memberikan satu clue tentang Brief for Publisher yang memuat poin-poin penting menggambarkan isi naskah dan tentu reputasi Anda menuliskannya. Hal yang terpenting juga termasuk benchmarking naskah dan menyebutkan segala keunggulan naskah dibandingkan karya lain yang sudah terbit. Anda juga harus mampu menggambarkan pembaca sasaran secara luas dan terarah sehingga para marketer dapat juga memetakan pasar untuk buku Anda.

Tambahan lain pada proposal atau presentasi naskah yang perlu Anda tampilkan adalah rancangan outline naskah sehingga penerbit dapat melihat ‘isi perut’ naskah secara lebih jelas dan bagaimana Anda menuliskannya. Lalu, tidak lupa portofolio Anda yang berkaitan dengan naskah. Berhati-hatilah dengan portofolio yang menjebak diri Anda sendiri.

Misalnya begini, suatu ketika saya menerima naskah bagaimana menjadi karyawan yang mampu melejitkan karier dengan cepat. Namun, pada biodata si penulis, penulis mengaku sudah tidak lagi menjadi karyawan dan memilih jalur entrepreneur atau menjadi self-employee. Biodata ini bertolak belakang dengan naskahnya yang berapi-api menyebutkan menjadi karyawan itu juga sesuatu yang menyenangkan dan dapat menjadi jalan meraih kesuksesan.

Awal 2012, saya sudah akan mulai memasarkan naskah-naskah yang saya tangani kepada berbagai penerbit. Saya akan mulai melakoni diri sebagai literary agent dengan pengalaman 15 tahun lebih di industri perbukuan. Tentu saya akan memilih dengan penulis siapa saya dapat bekerja sama atas dasar kepercayaan dan profesionalitas. Lalu, bersama dengan penulis saya pun akan melakukan presentasi proposal naskah berbasis Brief for Publisher. Saya harus memiliki target mengegolkan naskah penulis dan mendapatkan kontrak yang bagus. Penulis pun akan memberikan fee kepada saya melalui royaltinya dan penerbit pun dapat merekrut saya untuk mencarikan para penulis yang punya talent dibesarkan sebagai penulis berkarakter dan berdedikasi pada bidangnya. Tentu ini adalah pekerjaan yang menyatukan seni, intuisi, dan pengetahuan penerbitan buku.

Hal yang perlu diingat bahwa supervisi terhadap penulis bagaimana membuat naskah buku fiksi, nonfiksi, atau faksi yang baik perlu dilakukan. Para penulis harus memiliki metode, mengenali anatomi buku, mengembangkan gaya yang unik/khas dari tulisannya, serta benar-benar lepas mencurahkan ilmu atau pengalaman yang dimilikinya. Di sinilah peran literary agent juga menjadi editor, mitra bagi penulis.

***

Book Writing Revolution adalah training tutup tahun yang saya adakan di Jogjakarta, pada 17-18 Desember 2011, di Ruko Demangan Square No.4 Jln. Demangan Baru*). Bersama Heri Suchaeri, pemilik Smile Consulting, saya mendirikan Akademi Penulis Indonesia (ALINEA) sebagai salah satu lembaga training, konsultasi, dan keagenanan penulis di Jogja yang bekerja sama dengan TrimKom. Heri Suchaeri termasuk yang saya supervisi menjadi penulis buku bidang pelayanan dengan meluncurkan formula TOTAL Costumer (Bagaimana Membuat Pelanggan Tersenyum, Optimis, Terkesan, Antusia, dan Loyal) ~ bukunya sudah diterima untuk terbit di Penerbit Tiga Serangkai pada 2012. Tentu kami tidak berhenti sampai di situ untuk mengembangkan naskah yang lain buat penerbit lain.

Training ini bukan soal Anda hanya membayar Rp300.000 untuk sebuah training komprehensif menulis buku nonfiksi selama 2 hari. Bukan soal Anda bisa memperoleh informasi gratis bagaimana memasarkan naskah Anda dari kolega atau kenalan Anda di penerbit atau sesama penulis tanpa harus mengikuti training ini. Namun, training ini lebih akan membawa Anda merevolusi cara berpikir Anda soal menulis buku.

Saya, Bambang Trim, telah membantu sebagai editor untuk memunculkan karya beberapa penulis buku yang impresif di Indonesia: 1) Aa Gym lewat “Aa Gym Apa Adanya”, “Jagalah Hati”, “Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya”; 2) Parlindungan Marpaung lewat “Setengah Isi Setengah Kosong” dan “Fullfiling Life” ; 3) dr. Tauhid Nur Azhar lewat “Jangan ke Dokter Lagi”, “Gelegar Otak”, “Misteri DNA Anak Saleh”, dsb.; 4) Ippho Santosa menulis bareng Aa Gym lewat “Qolbu Marketing”; 5) Andrew Ho dan Aa Gym lewat “The Power of Network Marketing”; 6) Hermawan Kartajaya dan Aa Gym lewat “The Spiritual Marketer”; 7) Ustadz Yusuf Mansur lewat “Double Impact: Buat Apa Susah, Susah itu Mudah”, “Seri Allah Maha…”; 8.) Adi Putera Widjaja dan dr. Stephanus lewat “Metaleadership Marketing”; 9) N. Syamsuddin Haesy lewat “Platinum Track” dan “Indigostar”. Dan beberapa penulis lainnya selama berinteraksi di berbagai penerbit Indonesia.

Pengalaman ini yang sungguh ingin saya bagi dalam training bertajuk “Book Writing Revolution”. Anda harus mampu memandang naskah dari banyak sudut pandang. Semoga.

*) Kontak Heri Smile Suchaeri, SMS ke 0274-9566049 atau 08122952272 untuk mengikuti training bersama Bambang Trim.
sumber: http://manistebu.wordpress.com/2011/12/06/ini-tentang-memasarkan-naskah/

Minggu, 04 April 2010

Agenda pameran buku Internasional 2010


Pameran buku merupakan salah satu indikator perkembangan industri perbukuan di suatu Negara, 5 tahun terakhir ini terjadi peningkatan pameran yang sangat berarti di tanah air, saya mencatat tidak kurang dari 40 pameran buku dilaksanakan oleh berbagai event organizer di tanah air mulai dari Banda Aceh, sampai Makasar, bahkan sudan merambah ibukota kabupaten, suatu kerja keras yang pantas untuk diapresiasi, sebagiannya rutin diadakan pada setiap tahunnya.
Untuk tingkat dunia, paling tidak saat ini ada sekitar 37 pameran buku yang di laksanakan di masing-masing kota, yang terbesar dan paling bergensi saat ini adalah Francfurt dan Kairo. Pelaksanaan pameran, dilaksanakan rutin pada setiap tahun, dan biasanya tanggal pelaksanaannya juga tidak jauh berbeda, dari tahun-tahun sebelumnya. Berikut agenda pameran buku internasional 2010:
1. Tanggal 8 – 18 Januari 2010, Kairo International Book Fair, di Cairo, Mesir.
2. Tanggal 27 Januari – 1 Februari, Taipei International Book exhibition (TIBE), di Taipei, Taiwan
3. Tanggal 27 Januari – 7 Februari, Kolkata International Book Fair, di Kolkata, India
4. Tanggal 30 Januari – 7 Februari, New Delhi World Book Fair, di New Delhi, India
5. Tanggal 21 Februari – 2 Maret, Brunei Book Fair, di Bandar Seri Begawan, Brunei.
6. Tanggal 25 – 28 Februari, Baltic Book Fair, di Vilnius, Lithuania
7. Tanggal 2 – 7 Maret, Abu Dhabi International Book Fair, di Abu Dhabi, UEA
8. Tanggal 5 – 14 Maret, Islamic Book Fair, di Istora Bung Karno, Jakarta, Indonesia.
9. Tanggal 26 – 31 Maret, Paris Book Fair, di Paris, Prancis
10. Tanggal 23 – 26 Maret, Bologna Children’s Book Fair, di Bologna, Italia.
11. Tanggal 26 Maret – 6 April, Bangkok International Book Fair, di Bangkok ,Thailand.
12. Tanggal 19 – 28 Maret, Kuala Lumpur International Book Fair, di Kuala Lumpur, Malaysia.
13. Tanggal 19 – 21 April, Buenos Aires Book Fair, di Buenos Aires, Argentina.
14. Tanggal 22 – 25 April, London Book Fair, di London, Inggris
15. Tanggal 22 – 25 April, Budapest International Book Festival, di Budapest, Hungaria
16. Tanggal 22 – 25 April, Thessaloniki Book Fair, di Thessaloniki, Yunani.
17. Tanggal 28 April – 2 Mei, Geneva Book Fair, di Geneva, Swiss.
18. Tanggal 12 – 26 Mei, Seoul International Book Fair, di Seoul, Korea.
19. Tanggal 13 – 16 Mei, Praque International Book Fair, di Praque, Czeh Republic.
20. Tanggal 20 – 23 Mei, Warsaw International Book Fair, di Warsawa Polandia.
21. Tanggal 28 Mei – 6 Juni, World Book Fair (Singapore), di Singapura.
22. Tanggal 30 Mei – 1 Juni, Book expo America, di New York city, USA
23. Tanggal 2 – 11 Juli, Pesta Buku Jakarta, di Gelora Bung Karno, Jakarta, Indonesia.
24. Tanggal 8 – 11 Juli, Tokyo International Book Fair, di Tokyo, Jepang.
25. Tanggal 21 – 27 Juli, Hongkong Book Fair, di Hongkong.
26. Tanggal 30 Juli – 2 Agustus, Cape town Book Fair, di cape town, Afrika selatan.
27. Tanggal 1 – 6 september, Moscow international book fair, di Moscow, Rusia
28. Tanggal 15 – 19 september, Manila International Book Fair, di Manila, Philipina.
29. Tanggal 23 – 26 september, Goteborg International Book Fair, di Goteborg, Swedia.
30. Tanggal 6 – 10 Oktober, Beijing International Book Fair, di Beijing, China.
31. Tanggal 6 – 10 Oktober, LIBER Book Fair, di Madrid, Spanyol.
32. Tanggal 6 – 10 Oktober, Frankfurt Book Fair, di Frankfurt, Jerman
33. Tanggal 30 Oktober – 7 November, Istanbul Book Fair, di Istanbul, Turki.
34. Tanggal 3 – 7 November, Indonesian Book Fair, di Jakarta Convention Center, Indonesia.
35. Tanggal 31 Oktober – 16 November, Santiago International Book Fair, di Santiago, Chile.
36. Tanggal 19 – 21 November, Oslo Book Fair, di Lillestrom-Oslo, Norwagia.
37. Tanggal 27 November – 5 Desember, Guadalraja International Book Fair, di Guadalaraja, Meksiko.

Untuk lebih lanjut, jika anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang masing-masing pameran international diatas, bisa anda lihat, dalam masing-masing web yang biasanya dibuat oleh masing-masing event organizernya seperti www.kualalumpurbookfair.com, www.pestabukujakarta.com, www.indonesiabookfair.com, dan seterusnya.

Semoga bermanfaat…..
Oleh: Jaharuddin (Praktisi Pemasaran Buku Islam)
Email: jaharuddin@gmail.com
http://penerbitbukuislam.blogspot.com

Benarkah Industri Penerbitan Buku di Indonesia, jauh lebih maju di bandingkan Industri penerbitan buku di Malaysia ?


Oleh : Jaharuddin (Praktisi Pemasaran Buku Islam)
Email: jaharuddin@gmail.com
http:penerbitbukuislam.blogspot.com

Saat ini sedang berlangsung The 29th Kuala Lumpur International Book Fair, dari tanggal 19 – 28 Maret 2010 di Putra World Trade Center (PWTC), pusat pameran paling megah dan mewah di Kuala Lumpur. Pameran ini merupakan pameran Buku terbesar di Malaysia, dengan 856 stand di 3 lantai, Lokasi pameran persis di bawah gedung UMNO, partai berkuasa di Malaysia.
Kerajaan Malaysia telah berhasil meningkatkan minat baca masyarakatnya, pada tahun 1997 penduduk malaysia hanya membaca 1 Lembar buku saja dalam setahun, 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002, meningkat 100% menjadi 2 Lembar buku saja dalam setahun, dan tahun 2010 ini penduduk malaysia membaca buku 7 – 8 buku dalam setahun. Suatu peningkatan yang sangat berarti, dan perlu dicontoh.

Berikut Beberapa catatan lepas saya tentang pameran ini:
• Selama ini , pelaku perbukuan di Indonesia, merasa bahwa perkembangan industri buku di Indonesia, jauh lebih berkembang bila di bandingkan dengan industri perbukuan di Malaysia, hal ini didasari dengan jumlah penduduk malaysia, yang memang jauh lebih kecil dari penduduk di Indonesia. Akhirnya berdampak pangsa pasar buku di Malaysia lebih kecil dibanding Indonesia, juga berdampak pada masih rendahnya jumlah terbitan buku baru. Melihat realitas yang saya saksikan di Pameran buku antar bangsa kali ini, maka persepsi tersebut belum tentu benar. Karena saat ini pameran buku ini mengguna 3 lantai, dengan 208 penerbit sebagai peserta, mengunakan 856 stand, (ukuran satu stand pameran buku di Malaysia adalah 9m2, sedangkan di Indonesia standar satu stand biasanya 18m2), di area seluas12.666 m2, bahkan ada tambahan satu gedung, yang dipisahkan dengan sungai dari gedung utama PWTC. Pengunjungnyapun sangat ramai seperti Islamic Book Fair di Jakarta, tahun lalu saja total pengunjungnya sebanyak 1.500.000 orang. Panitia meyakini tahun ini akan lebih banyak lagi.
• Ada kekhawatiran pada diri saya, kasus tertinggalnya mutu pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan Malaysia, juga terjadi di industri buku. Sering kita mendengar cerita, dulu orang-orang Malaysia belajar/kuliah di Indonesia, bahkan pemerintah Malaysia, secara khusus mengimpor guru-guru dari Indonesia, namun sekarang kondisinya berbalik, banyak sekali putra-putri Indonesia belajar di Malaysia. Akankah industri perbukuan juga sama, dulu, mungkin saat inipun masih, industri perbukuan di Indonesia lebih maju bila di bandingkan industri perbukuan di Malaysia, sebagai indikasinya adalah jumlah judul buku terbit di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan Malaysia, namun akankah kondisi ini akan bertahan, karena di Malaysia, Pamerannyapun sangat ramai, pesertanya banyak, dan juga di back up dengan universitas yang membuka jurusan publishing, untuk strata 2 dan 3. akankah penerbitan Indonesia juga akan tertinggal dibandingkan Malaysia?.
• Saya menemukan ada buku-buku yang telah di terbitkan di Indonesia, juga diterbitkan kembali di Malaysia, saya tidak tahu persis apakah buku-buku yang diterbitkan tersebut sudah mendapat izin dari penerbitnya di Indonesia atau tidak. Kondisi ini sepatutnya mendapat perhatian serius para penerbit di Indonesia, karena informasi yang saya dapatkan selama pameran, ada beberapa buku Indonesia diterbitkan di Malaysia, tanpa sepengetahuan penerbitnya di Indonesia. Pihak penerbit di Indonesia bisa menelusurinya lebih lanjut.
• Sebenarnya pameran buku, merupakan bagian dari pameran industri kreatif, sepertinya pada pameran-pameran buku di Indonesia, hal ini kurang terexplorasi, di pameran di Malaysia, saya menemukan pada salah satu stand, bukan hanya memamerkan buku, dan melakukan transaksi buku, namun juga terdapat desain sketsa wajah.
• Pada pameran ini, juga disediakan space khusus untuk penerbit-penerbit dari negara-negara lain, seperti Indonesia, Singapura, Saudi Arabia dan Mesir, masing-masing negara tersebut, memamerkan bukunya masing-masing. Walaupun miris untuk stand penerbit-penerbit dari Indonesia, yang di koordinasi oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), hari pertama pameran belum diisi sama sekali. Saya ngak tahu persis apa penyebabnya, namun ini merupakan bagian pencitraan yang tidak baik terhadap industri perbukuan di tanah air. Setahu saya buku-bukunya sudah ada, tapi kenapa tidak di display.
• Pada pameran buku ini, saya juga menjumpai adanya arena negosiasi dan penjualan copy right (Trade and Copyright Centere), arenanya rapi, tertata dengan baik, namun tidak ada satu petugaspun yang berada disana, dan sepertinya tidak ada juga penerbit dan orang-orang penerbitan yang memanfaatkan sarana ini. Ini mengindikasikan kepedulian para penerbit buku di malaysia sendiri terhadap copyright juga masih rendah.
• Dari pertemuan saya dengan relasi di Malaysia, saya mendapatkan informasi bahwa sudah ada 3 toko buku gramedia di Malaysia, yaitu di Tessco setia alam shah alam Selangor, tesco seberang prai pulau pinang, dan mines shoping fair seri kembangan, Selangor. Yang menarik dari diskusi saya dengan relasi penerbit di Malaysia, adalah mereka mensuplay buku ke toko buku gramedia dengan sistim kredit returnable dengan rabat 30%. Sekarang pihak gramedia sedang merubah sistimnya dengan sistim konsinyasi, namun pihak penerbit di Malaysia, tidak sepakat, akhirnya gramedia di Malaysia terseok-seok. Kenapa penerbit di Malaysia, bisa mempunyai bargaining posisi yang baik dengan gramedia?, dan kenapa para penerbit di Indonesia sepertinya takluk di bawah ketiaknya gramedia, ada ide-ide untuk bersatu melalui IKAPI menegosiasi ulang pola discount dan tata niaga perbukuan, namun sampai sekarang ide itu hanya sampai pada batas ide, wacana, dan hasil diskusi, namun tidak pernah di follow up menjadi ide yang pantas untuk di realisasikan?
Semoga, catatan-catatan lepas ini, mampu memberi inspirasi penataan industri perbukuan di Indonesia semakin labih baik, mulai dari penerbitan, sampai pada penataan tata niaga perbukuan di tanah air.

Semoga bermanfaat.....
Sabtu sore, 20 maret 2010
di Kamar 1534 Hotel Legend Jl. Putra, Kuala Lumpur

Rabu, 10 Maret 2010

Tips Membeli Buku


Oleh : Jaharuddin (Praktisi Pemasaran Buku Islam)
email : jaharuddin@gmail.com

Pada saat ini sedang berlangsung pameran Islamic Book Fair 2010, yang telah dimulai sejak tanggal 5 yang lalu dan akan berakhir tanggal 14 maret yang akan datang. Pameran ini merupakan pameran yang penggunjungnya terbanyak di Indonesia. Cobalah anda buktikan jika anda mendatangi pameran pada hari sabtu dan ahad, maka diyakini anda akan merasakan berdesak-desakan di arena pameran.

Walaupun pada tahun ini space pameran telah di tambah pada dua sisi parkir di seputar gedung. Namun tetap saja kondisi ini belum mampu menampung jumlah pengunjung pameran yang luar biasa banyaknya.

Dari sisi penerbit pameran berfungsi sebagai arena promosi, branding, mancari cash money sekaligus saat yang paling tepat mengeluarkan buku-buku slow moving yang menumpuk di gudang. Makanya jika anda ke arena pameran, maka akan anda jumpai banyak sekali buku-buku yang diobral dengan harga yang sangat murah misalnya Rp. 5.000,- /Rp. 10.000,- dan seterusnya.

Nah bagi anda pengunjung pameran buku, maka manfaatkanlah saat pameran seperti sekarang untuk mencari buku-buku sesuai dengan kebutuhan anda, karena jika anda membeli di toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung dan Karisma, maka anda tidak akan mendapat diskon seperti di pameran, walaupun ada beberapa toko yang juga memberikan discon di luar pameran sepeti Toko Buku buyung di senen Jakarta, Toga mas, dan beberapa toko buku lainnya.

Agar memudahkan anda dalam mencari buku yang anda inginkan, berikut saya tuliskan beberapa tips dalam membeli buku:
1. Carilah buku yang sesuai dengan kebutuhan anda, jangan tertipu dengan tampilan cover yang mengiurkan.
2. Buku-buku yang dijual dengan harga discount, belum tentu buku yang “jelek”.
Karena banyak kejadian buku-buku yang dijual penerbit di arena pameran dengan harga murah bahkan super murah, isinya adalah buku-buku yang sangat berkwalitas. Nah jika anda datang ke pameran jangan lewatkan untuk melihat buku-buku murah, karena ini akan membuat anda belanja sangat hemat, dan kebutuhan anda bisa di penuhi.
Bagi anda toko buku, distributor buku, atau yang berniat membuku toko buku, ajang pameran merupakan saat yang paling tepat bagi anda mencari koleksi-koleksi buku yang anda inginkan untuk dijual kembali, dengan modal yang relatif kecil, kemudian saat pameran anda bisa mendatangi banyak penerbit untuk menjajaki kemungkinan menjadi vendor (peamsok) di toko anda.
3. Baca back cover , daftar isi dan beberapa pragraf awal isi buku.
Agar anda tidak tertipu dalam membeli buku, karena ”jatuh hati” dengan cover yang menarik, maka kualitas buku paling tidak bisa dilihat dari back cover (walaupun biasanya back cover , dijadikan penerbit menjadi bagian dari promo buku tersebut), selanjutnya lihat daftar isinya (agar dipastikan sesuai dengan kebutuhan anda), dan dilengkapi baca beberapa pragraf awal isi buku tersebut. Hal ini penting untuk melihat apakah deskripsi buku nya enak di baca atau tidak, apalagi buku tersebut buku terjemahan dari bahasa asing. Jika tidak enak di baca, sebaiknya tidak anda beli, karena akan membuat anda sendiri pusing membacanya.
4. Lihat daftar buku baru
Disamping anda mencari buku-buku sesuai dengan kebutuhan anda, maka saya menyarankan anda juga melihat buku-buku baru dari penerbit, karena kalau anda mendapatkan buku baru dan sesuai dengan kebutuhan anda, maka anda akan diuntungkan mendapatkan edisi terbaru dari buku yang anda cari, sering penerbit me revisi buku-buku lamanya.
5. Lihat buku-buku yang di pamerkan paling depan
Buku-buku yang di pamerkan di bagian depan stand adalah buku-buku baru dan buku buku best seller penerbit, atau buku-buku unggulan penerbit.
6. Kalau anda membeli dalam jumlah banyak, mintalah tambahan discount

Semoga bermanfaat bagi anda pecinta buku, dan idealnya setiap pembelian buku, jika buku tersebut buku terjemahan, maka tanyakan apakah buku tersebut pihak penerbitnya mempunyai copy right atau tidak. Idealnya anda tidak membeli buku-buku yang tidak ada copy rightnya. Karena realitasnya sampai saat ini hanya beberapa penerbit saja yang ”peduli” dengan copy right . Dan saya fikir ini harus diupayakan untuk dirubah, karena ada hak penulis dalam sebuah karya buku. Dan jika pembeli juga ikut menanyakan apakah buku tersebut mempunyai copy right atau tidak. Maka saya berharap akhirnya suatu hari nanti semua penerbit sangat peduli dan merasa berdosa jika menerbitkan buku tanpa copy right.

Pendapat pribadi, semoga bermanfaat.....

Rabu, 15 April 2009

Faktor “salafi” dalam penerbitan buku Islam


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan suatu kelompok yang memberi nama “salafi” kepada kelompoknya, saya Cuma mencoba menganalisa secara sederhana perilaku konsumsi buku kelompok ini sebagai bahan diskusi.

Apa itu kelompok salafi
Abu Abdirrahman Al Thalibi, dalam dakwah salafiyah dakwah bijak; meluruskan sikap keras dai salafi (hal 9), mengidentifikasi kelompok salafi sebagai: Secara sederhana salafiyah bisa diartikan sebagai khazanah ilmu atau ajaran salafus shalih. Sedang salafiyun atau salafiyin ialah orang-orang yang mengikuti ajaran salafus shalih. Adapun salafy atau salafi ialah sebutan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran salafus shalih. Salafiyah adalah ajarannya, salafiyin adalah para pengikutnya, sedangkan salafy adalah sebutan bagi mereka. Istilah salafy juga mencerminkan makna komunitas ideologis.
Yang dimaksud salafi dalam tulisan ini adalah sekelompok orang yang mengatakan dirinya sebagai penganut salafi, dengan karakter khas salafiyyun.

Karakter khas salafiyyun
Menurut Abu Abdirrahman Al Thalibi, dalam bukunya dakwah salafiyah dakwah bijak 2; menjawab tuduhan, (hal 264 – 275), karakter khas salafiyyun adalah:
1. Sangat membela istilah salafi atau salafiyah
2. Merasa sebagai kelompok paling benar
3. Sibuk mengingkari, membantah, atau mencela kesesatan orang lain dengan dalih berjihad membela Islam
4. Sangat sensitive terhadap penyimpangan dan sangat keras ketika mencela
5. Bersikap fanatik terhadap ulama dan kelompoknya
6. Tidak mengerti konsep hizbiyah dan terjerumus di dalamnya
7. Kurang memahami manhaj ahlus sunnah
8. Tidak jujur dalam perselisihan
9. Tolong menolong dalam kesesatan
10. Krisis dalam perkara akhlak

Implikasi dalam dunia penerbitan buku Islam
Faktor salafi acap kali diperbincangkan dalam penerbitan buku, seperti muncul pertanyaan, apakah buku ini bisa diterima di kelompok salafi?, ada beberapa ciri kelompok ini dalam mengkonsumsi buku:
1. Sebagian besar kelompok salafi, tidak mau membaca buku-buku karangan Yusuf Al Qaradawi
2. Kelompok yang menamakan salafi ini juga tidak akan membeli buku-buku yang ada gambar makhluk hidupnya, kecuali mukanya dihilangkan.
3. Sangat besar penghormatannya pada ulama-ulama dari kelompok mereka, implikasinya adalah jika ada buku yang direferensikan ustadz salafi, maka akan berdampak luas pada penerimaan buku tersebut di kelompok salafi, dan sebaliknya.
4. Jika suatu buku diberi pengantar oleh orang-orang yang dianggap tidak sefikroh dengan kelompoknya, bisa jadi buku tersebut ditolak di kelompok salafi.
Saya punya kasus satu buku yang pengantarnya dibuat oleh salah seorang ulama hadist di negeri ini, namun ternyata belakangan ulama tersebut ternyata tidak bisa diterima oleh kelompok salafi, secara terang-terangan ada yang meminta kepada kami, untuk menghilangkan kata pengantar dan nama ulama tersebut dari buku tersebut, saya geleng-geleng kepala, mendengar berita ini, sebegitunya kah sikap ekstrim kelompok salafi ini?

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan penerbit dalam mensiasati prilaku konsumsi buku kelompok salafi, seperti: ada penerbit yang menerbitkan buku hanya untuk kalangan salafi, ada yang mensiasatinya dengan membentuk imprint baru yang seolah-olah tidak ada hubungannya sama sekali dengan induknya, ada juga yang tidak peduli. dll
Seharusnya tidak ada polarisasi seperti diatas , bukankah tema keislaman seharusnya bisa dibaca dan dinikmati oleh setiap ummat Islam, namun realitasnya berbeda

Seharusnya pihak penerbit buku Islam tidak menjadikan faktor salafi ini sebagai faktor yang sangat mempengaruhi corak penerbitan buku, biarkanlah ini sekedar realitas bahwasanya susah untuk menyatukan ummat Islam, namun produksilah buku-buku yang berkwalitas, sambil terus mengamati perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dan menjadi pekerjaan rumah secara bersama-sama , mencari data valid berapa jumlah kelompok ini, agar kita lebih proporsional dalam mengambil kebijakan, kalaulah kelompok ini berjumlah 100.000 orang, mengapa ummat Islam yang ratusan juta lainnya seolah-olah tidak menjadi perhatian penerbitkan buku Islam .

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan diskusi untuk meletakkan sesuatu pada tempat yang pas dan sesuai dengan proporsinya

Jaharuddin
Praktisi pemasaran buku Islam

Selasa, 10 Maret 2009

Korelasi Negatif antara Krisis Ekonomi Makro dengan Penjualan Buku di Pameran


Oleh: Jaharuddin*

Beberapa hari ini saya sedang mengikuti pameran buku di Islamic Book Fair 2009, 28 Februari – 8 Maret 2009 di Gelora Bung Karno Jakarta. Ketika melihat antusiasnya para pengunjung mendatangi dan membeli buku di semua stand buku yang ada di event pameran ini, seolah-olah tidak mewakili kondisi ekonomi makro yang semakin berat.
Kompas online, 3 desember 08 menuliskan, pertumbuhan ekonomi pada 2009 diperkirakan mencapai level terburuk di posisi 4,5 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan target APBN 2009, yakni 6 persen. Meskipun demikian, target APBN itu masih bisa tercapai jika Indonesia bisa mempertahankan aktivitas ekspor dan investasi.
”Nilai tengah pertumbuhan ekonomi kami perkirakan ada di level 5-5,5 persen,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan kondisi terakhir krisis ekonomi kepada Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (2/12).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada 2008 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menambah 702.000 lapangan kerja baru (Kompas, 22/8/2008). Dengan demikian, jika pertumbuhan turun dari 6 persen ke 4,5 persen, tenaga kerja yang tidak terserap bisa mencapai 1,053 juta orang. Padahal, masih ada sekitar 9,427 juta penganggur terbuka yang menunggu pekerjaan saat ini.
Pameran ini mempunyai arti penting bagi banyak penerbit, karena kondisi ekonomi kurang baik , bangsa Indonesia juga sedang di sibukkan dengan hiruk pikuk pemilu yang tentunya bagi sebagian orang melelahkan, menjenuhkan dan adakalanya bikin mual, uang pajak rakyat di hamburkan untuk membiayai 48 partai peserta pemilu, caleg menghambur-hamburkan uang untuk membuat dirinya jadi terkenal dengan berbagai metode yang tidak kreatif dan tidak mendidik. implikasinya perhatian dan modalpun akhirnya juga bisa terkuras untuk aktifitas pemilu.

Dalam sejarah dunia penerbitan buku di Indonesia, saya menemukan keunikan tersendiri ketika perekonomian mengalami krisis. Misalnya tahun 98-an di saat ekonomi Indonesia memburuk, kita melihat dengan kasat mata penerbit buku muncul seperti jamur dimusim hujan.

Bisa jadi, tumbuhnya penerbit baru di era 98-an tersebut, karena terbukanya kran reformasi, sehingga terlepas dari kekangan yang selama orde baru tidak bisa di lakukan, namun jika tidak karena dukungan konsumen buku, maka bisa jadi penerbit-penerbit tersebut akan berguguran, kenyataannya tidak.

Faktor lain yang juga mempengaruhi potensi meningkatnya penjualan buku adalah, masyarakat Indonesia semakin terdidik, sadar akan pentingnya informasi dan pengetahuan, dan kondisi ”terjepit”nya perekonomian dan jenuhnya melihat narsisme para caleg, mendorong kepada banyak orang untuk mencari inspirasi dan menenangkan diri. Saya menduga untuk menjawab kebutuhan ini banyak orang akhirnya menjadikan buku sebagai solusinya. Misalnya dibutuhkan ketenangan hati yang lebih dengan cara mendalami dan me refresh pemahaman agama misalnya.

Melihat kondisi yang menggairahkan ini, bisa jadi stigma rendahya daya baca masyarakat Indonesia sudah bisa di tinggalkan, dan kita buang jauh-jauh dari Indonesia, bukti lain adalah toko-toko buku juga semakin tumbuh, misalnya gramedia akan menambah lebih dari 10 toko lagi ditahun 2009 ini.

Semoga Islamic Book Fair ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat butuh buku, dan ini mendorong insan perbukuan untuk meerbitkan buku-buku berkwalitas tinggi dan mencerdaskan masyarakat, saat yang sama juga bisa menghibur dan menenangkan kegalauan masyarakat. Amin.

*Praktisi pemasaran buku Islam

Rabu, 04 Maret 2009

Catatan IBF 2009: Buku Apa Lagi yang Mau Dibuat?


Dalam dunia perfilman Indonesia, khususnya dunia persetanan, kreativitas seperti kagak ada matinye. Sempat ada joke para sineas persetanan itu sudah bingung: setan mana lagi yang mau dikeluarin?? Soalnya, semua setan dengan berbagai spesies sudah dikeluarkan! Eh, alih-alih kehabisan kreativitas, mereka malah menjadi-jadi dengan mengeluarkan film "Hantu Ambulans", "Hantu Jamu Gendong", dan "Kuntilanak Beranak". Hiii... so many ghosts, so confuse. He-he-he.

Walau cuma berkunjung selewat dalam event Islamic Book Fair 2009, saya melihat fenomena yang sama dalam dunia buku Islam Indonesia. Kreativitas benar-benar menjadi kata kunci industri yang juga dikategorikan sebagai industri kreatif ini. Ambil contoh dalam buku anak, kreativitas belum beranjak jauh: masih seputar buku 25 kisah Nabi dan Rasul, Kisah Teladan (para Sahabat maupun Orang Saleh), hadits untuk anak, Asmaul Husna untuk anak, dan sebagainya. Belum ada yang berani beranjak dengan kreativitas lain tanpa meniru yang sudah ada. Dengan kata lain, yang benar-benar unik dan mengandung gagasan pembaruan. Mungkin ada 1-2, tapi tidak terekspose ke permukaan.

Dalam kategori buku dewasa pun setali tiga uang. Tema fiqih, akhlak, bahkan juga how to dan self-improvement masih mendominasi. Tidak jarang kita temukan satu buku yang mirip dengan buku lainnya dari beberapa penerbit berbeda. Dari sisi ini lahir banyak penulis baru dan terkadang terlampau produktif menghasilkan karya yang entah cukup berbunyi, entah tidak.

Isu buku yang menggetarkan pada IBF 2009 ini pun belum tampak seperti IBF-IBF sebelumnya yang diguncang oleh "Khadijah: The True Love Story", "Ayat-Ayat Cinta", atau "Laskar Pelangi". Banyak penerbit tampaknya menahan diri, mungkin kaitan dengan krisis. Atau boleh jadi memang kreativitas tengah mandek menunggu momentum munculnya naskah yang benar-benar menggugah dan mengejutkan banyak orang.

Dari catatan IBF book award sendiri, saya sebagai salah seorang tim juri, melihat tidak ada sesuatu yang revolusioner terjadi pada buku-buku Islam kita. Untuk itu, saya menempatkan buku Pak Syafi'i Antonio: "Muhammad The Superleader, The Supermanager" sebagai buku terbaik tahun ini lebih pada keunggulan Pak Syafi'i melakukan riset mendalam dan mengembangkan aspek-aspek tersembunyi dari pribadi Rasulullah saw. Banyak hal baru memang dalam buku tersebut.

Dalam ranah fiksi, terpilihlah "Road to the Empire" yang juga unggul dalam riset sejarah dan teknik penceritaan dengan segala segi kemantapan dalam perwatakan, alur, dan setting cerita. Sisanya yang diikutsertakan beberapa mengadopsi stereotip "Ayat-ayat Cinta" dan beberapa lainnya masuk kategori biasa-biasa saja.

Buku anak seperti di awal saya sebutkan pun demikian. Maka terpilihlah karya Sri Izzati lebih karena Izzati benar-benar berbakat sebagai tukang cerita dan mampu meneropong segala segi dari fiksi khas anak-anak. Buku lainnya banyak yang merupakan kumpulan kisah-kisah dan ada pula picture book biasa dengan cerita biasa. Tidak ada sebuah terobosan, bahkan kalau kita menyebutkan secara komprehensif, termasuk development editing, desain, serta context (pengemasan) seperti mandek. Masih banyak buku anak yang salah kaprah dengan meminjam mulut orang dewasa untuk bercerita, serta menjejalkan nasihat yang terkadang menjadi kontraproduktif terhadap perkembangan jiwa anak.

Sayang, editor dari para buku-buku terbaik ini memang tidak disebutkan. Padahal, mungkin merekalah si penemu bakat dari penulis dan si pengemas buku tersebut menjadi lebih unggul sehingga pantas mendapatkan award.

Nah, kembali soal IBF 2009 dengan segala keriuhan dan antusias para pengunjung, saya berpikir cukup sulit untuk menentukan pilihan buku yang mau dibeli atau dibaca. Apalagi, jika dana terbatas. Untuk itu, saya perlu memastikan buku yang benar-benar menggugah, bukan sekadar murah meriah. Namun, tidak gampang juga karena saya berada dalam lautan buku yang kini semua tampak bagus, fullcolor, dan juga menawarkan judul atraktif.

Berpikir sebagai pembaca, itulah yang tengah saya lakukan. Tidak dimungkiri, riset itu perlu. Namun, terlihat dari ribuan potensi pengunjung di IBF 2009, tidak ada penerbit yang berniat meriset, kecuali berkutat dalam target penjualan. Saya sarankan para direktur penerbit mestinya memplot waktu satu hari penuh berada di booth dan melayani para pembeli bukunya. Anda akan menemukan sesuatu yang berbeda. Tapi, siapa yang mau bersibuk ria demikian? He-he-he mungkin cuma saya kali direktur penerbit yang mau demikian atau direktur nyentrik seperti Hikmat Kurnia, bosnya Agromedia. Sama-sama 'sableng': bukankah orang kreatif memang rada-rada sableng? :-)

Anda mungkin berpendapat sama: Begitu banyak buku, yang mana yang harus dibaca? Dari sisi saya sebagai penulis dan penerbit: Begitu banyak buku, apa lagi yang mau dibuat? Maka gagasan perlu dikail dari langit. Ibarat setelah Anda menyelam di lautan buku, sembulkan kepala dan bertengadah untuk mengambil nafas. Siapa tahu udara segar dan sinar matahari membuat otak Anda berpikir dan menangkap gagasan: oh sekarang masyarakat membutuhkan buku-buku semacam ini! Saya harus membuatnya!

Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia

Selasa, 03 Maret 2009

30 Ribu Pengunjung Padati Pameran Buku Islam Setiap Hari


TEMPO Interaktif, Senin, 02 Maret 2009

Pameran Buku Islam, yang berlangsung 28 Februari-8 Maret, dikunjungi rata-rata 30 ribu orang setiap harinya. Panitia berharap bisa mendatangkan 1,2 juta penggemar buku ke acara yang digelar di Istora Senayan ini

M. Shaleh, humas acara yang sudah delapan kali digelar ini, pada Senin (2/3), mengatakan sebagian pengunjung bahkan datang dari negara dengan penduduk berbahasa Melayu lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

\"(Pameran ini) termasuk salah satu acara yang dijadwalkan oleh travel tour di Malaysia untuk dikunjungi wisatawan ketika berada di Indonesia,\" jelas Shaleh.

Pengunjung lokal, menurut Shaleh, banyak yang tertarik datang karena potongan harga buku yang mencapai kadang sampai 70%.

Hal ini dibenarkan Rima, 20 tahun, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, yang datang bersama lima temannya. \"Pamerannya bagus, banyak diskon,\" katanya. \"Harga bukunya jauh lebih murah dibandingkan di toko buku biasa.\"

Selain diskon, di gerai Mizan Dian Semesta, misalnya, dijual buku-buku yang tidak dipasarkan di toko-toko buku umum. \"Buku-buku ini dijual secara direct selling hanya pada acara seperti pameran, karena sifatnya butuh penjelasan,\" ujar Endang Choiriah, manajer penjualan wilayah penerbit itu.

Buku langka ini seperti Ensiklopedia Bocah Muslim, I Love My Al-Quran, serta 10 jilid eksiklopedia Nabi Muhammad.

Shaleh mengatakan pameran buku ini menggelar 290 anjungan. Selain gerai dari penerbit dan toko buku, sejumlah anjungan menawarkan pakaian dan alat pendidikan.

Pameran ini tidak hanya berisi buku saja. Untuk memeriahkan, artis-artis pendukung film yang dibuat berdasarkan novel laris Islami, \"Ketika Cinta Bertasbih\", akan datang pada Sabtu (7/3) mendatang. . \"Mereka akan mengadakan soft opening di sini,\" tambah Shaleh.

Sejumlah seminar juga digelar di sela-sela pameran seperti \"Total Managemen berbasis Al Fatihah\" bersama Ir. Heru, S.S, MM. sampai \"Saatnya Indonesia Kuat Mandiri dengan Ekonomi Islam\" bersama Dr. Revrison Baswir dan R.M. Ismail Yusanto, MM..

ANGGY ANINDITA

Senin, 09 Februari 2009

Menakar Buku Fiksi yang akan menjadi Best Seller


Oleh : Jaharuddin*

Para pekerja perbukuan terbelalak ketika buku Ayat-Ayat Cinta (AC) dan Laskar Pelangi mendapat respon yang luaaaar biasa oleh konsumen, kemudian diiringi dengan difilmkannya buku tersebut. Disamping meng endorse penjualan bukunya, juga mengangkat “derajat” penerbitnya karena banyak penonton film yang bisa jadi bukan pembaca buku, akhirnya melalui media film, mengenal penerbit yang menerbitkan buku tersebut. Dilihat dari tiras buku yang terjual buku-buku fiksi yang best seller biasanya penjualannya diatas penjualan buku-buku umum lainnya.

Dari pengkajian awal diketahui bahwasanya tidak semua penerbit yang menerbitkan buku fiksi akhirnya beroleh keberuntungan dengan best sellernya buku fiksi yang diterbitkan tersebut. ada beberapa penerbit yang tidak mampu menjual buku-buku novelnya dengan baik. Akhirnya buku menjadi menumpuk di gudang .

Untuk meminimalisir kemungkinan buku-buku fiksi yang diterbitkan menjadi buku slow moving dan menumpuk digudang, ada beberapa indikator buku-buku fiksi yang sukses di pasar, yaitu:
1. Tema yang unik
Tema yang unik paling tidak bisa diukur dari originalitas ide, kekuatan cerita, tema yang baru. Dengan demikian seharusnya penerbit tidak perlu takut dengan penulis-penulis yang belum berpengalaman, asalkan fiksi yang ditawarkan adalah fiksi yang unik. Namun tim seleksi naskah harus benar-benar jeli menilai naskah, apakah akan booming atau akan menjadi slow moving produk.
2. Pengarapan dan pengemasan produk
Ini bagian terpenting selanjutnya setelah naskah, karena bisa jadi ada buku yang sebetulnya temanya bagus, namun bahasanya sangat tidak “mengalir” atau malah menyulitkan pembaca, ini bisa jadi masalah besar dikemudian hari. Termasuk dalam pemilihan cover , cover yang baik disamping mampu mewakili isi, cover hendaknya juga unik dan mampu menarik perhatian calon pembaca. Jika ini diabaikan bisa berakibat fatal dalam penerbitan buku fiksi.
3. Promosi dan Pemasaran
Menurut saya untuk promosi buku fiksi yang harus dilakukan adalah berpromosi di media-media yang sesuai dengan segmentasi calon pembaca, kemudian diikuti dengan mengadakan promosi di toko-toko buku, misalnya dengan membuatkan standing banner/neon box di toko, yang diiringi dengan display buku yang menarik dan atraktif di tempat yang strategis. Diikuti dengan pemerataan distribusi buku berdasarkan toko dan wilayah, semakin mudah konsumen mendapatkan buku anda semakin baik, dan jangan lupa pastikan konsumen sangat mudah menghubungi hotline perusahaan anda seperti telp/sms/email/dll.
4. Pernah mendapat penghargaan di Negara asalnya
Jika naskahnya adalah naskah terjemahan, buku yang sudah mendapatkan best sellet, National Best Seller, atau International Best Seller, biasanya juga akan lebih mudah untuk menjadi best seller di Indonesia. Dan jangan lupa “gelar” ini, harus anda tampilkan di cover muka buku anda, diharapkan mampu meyakinkan calon membaca untuk membeli produk anda.
5. Mengambil segment pembaca yang sudah mempunyai penghasilan
Didasarkan klasifikasi pembaca terdapat dua kategori fiksi, yaitu fiksi populer untuk remaja, dan fiksi untuk dewasa. Nah untuk kategori pertama saya menduga akan sulit penjualannya ditahun ini, karena kondisi ekonomi masyarakat terganggu dengan kondisi krisis financial global, karena budget pembelian buku segement ini sangat terbatas dan dipengaruhi penghasilan orang tua. Yang akan tetap mendapatkan penjualan yang bagus adalah segmen kedua, karena para pembaca ini adalah mereka yang sudah mempunyai penghasilan sehingga kebutuhan akan buku tetap akan dibutuhkan walaupun nominalnya mungkin akan berkurang, ada kecendrungan kategori pertama juga melakukan peningkatan kualitas bacaannya dan membeli buku-buku fiksi kategori kedua.
6. adanya film yang mengendorse buku tersebut
dalam kasus Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Laskar Pelangi, kita melihat bahwa adanya film kedua novel tersebut , membuat dampak yang besar terhadap penjualan dan Prestise novel tersebut, seolah-olah belum dianggap gaul jika belum membaca novel AAC atau Laskar Pelangi.
Trend ini dimanfaatkan oleh beberapa penerbit untuk bekerjasama dengan Production House (PH), untuk membuat novel dari film-film yang mereka louncing ke pasar, paling baru saya melihat novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS), juga cukup laku seiring dengan diputarnya film tersebut dibanyak bioskop. Sampai saat ini saya melihat adanya mutualisme antara PH dengan penerbit, ada film yang terinspirasi dari membaca novel, seperti AAC dan Laskar Pelangi, dan Ketika alam bertasbih, namun ada juga novel yang ditulis didasarkan film yang dibuat oleh PH, sampai saat ini novel yang paling sukses menurut saya adalah film yang terinspirasi dari novel.

Semoga indikator-indikator ini mampu memberikan inspirasi kepada banyak orang , terutama insan perbukuan, sehingga mampu menerbitkan novel yang berkualitas namun juga mencatatkan penjualan yang menakjubkan. Amin.

*praktisi pemasaran buku Islam, email: jaharuddin@gmail.com
http://penerbitbukuislam.blogspot.com

Rabu, 21 Januari 2009

Trend Buku 2009


Oleh : Jaharuddin*

Diakhir tahun pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi dan rapat-rapat di internal penerbitan buku. Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang tepat dan sangat dibutuhkan oleh penerbit buku, karena jika suatu penerbit mampu menjawab pertanyaan ini dengan tepat dan baik, maka keberuntungan dan laba tahun 2009 bisa mendekati kenyataan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut paling tidak ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan tepat dan baik. Faktor tersebut adalah analisis situasi tahun 2009 seperti peluang, dan tantangan 2009.

Tantangan
Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi industri perbukuan di Indonesia di tahun 2009, yaitu:
1. Dampak Krisis Finansial Amerika Serikat
2. Melambatnya pertumbuhan ekonomi
3. Meningkatnya penganguran
4. Pemilu
5. Makro Ekonomi yang tidak stabil
6. Daya Beli Masyarakat tertekan
untuk-faktor-faktor diatas, saya tidak perlu menguraikan panjang lebar, karena banyak sekali analisis yang menjelaskannya. Kongkulsinya adalah tahun 2009 diduga akan banyak terimbas dari krisis finansial di Amerika Serikat.

Peluang
Sebesar apapun tantangan yang akan dihadapi di tahun 2009, hendaknya dimulai dengan semangat optimis yang terukur dari setiap insan perbukuan dalam menerbitkan buku. Beberapa peluang tersebut adalah:
1. Pemilu 2009
Pemilu 2009, merupakan tantangan sekaligus peluang karena dari sisi ekonomi saya berkeyakinan pemerintahan SBY-JK akan mencoba mempertahankan kondisi ekonomi sebaik mungkin, dan akan melakukan kebijakan-kebijakan pro rakyat. Kenapa demikian karena sudah dipastikan SBY-JK ikut serta dalam pertarungan menjaga image untuk tetap bisa bertahan pada RI 1 atau RI 2. apapun akan dilakukan pemerintahan SBY-JK untuk menstabilkan ekonomi, paling tidak sampai pemilihan presiden berlangsung. Makanya di bulan Januari ini pemerintahan SBY-JK menurunkan kembali BBM ketiga kalinya, dan sudah bisa ditebak kebijakan ini akan dijadikan komoditas politik untuk menjaga image untuk perebutan hati rakyat tahun 2009. bagi penerbit paling tidak ini angin segar, walaupun belum tentu kebijakan ini akan bertahan jangka panjang.
Disamping itu, pemilu ini melibatkan banyak orang dan tentunya mempunyai anggaran yang sangat besar, dengan kondisi ini maka terbuka peluang bagi penerbitan buku untuk menerbitkan buku-buku yang menjawab kebutuhan banyak orang yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu, seperti untuk calon anggota legislatif misalnya, tentunya mereka membutuhkan buku panduan berkampanye yang efektif dan efisien, buku panduan menyusun anggaran kampanye, buku panduan penyusunan laporan keuangan partai, strategi komunikasi politik yang terbaik untuk caleg dan partai, panduan memilih partai dan calon presiden yang pro rakyat, Strategi memenangkan pemilu legislatif dan presiden, buku-buku proyek pencitraan caleg, seperti profil caleg, profil calon presiden, dan banyak lagi tema seputar pemilu yang dibutuhkan.
2. Buku-buku ekonomi syariah
Menurut data perbankan Syariah Bank Indonesia, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia 5 tahun terakhir, rata-rata 60%. Ini merupakan angka yang spektakuler. Dan diperkirakan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2009 ini pun juga akan mencapai angka 60%. Salah satu indikator pendukungnya adalah diperkirakan akan berdiri 8 Bank Umum Syariah lagi pada tahun 2009. seperti Bank Umum Syariah Bukopin, Bank Umum Syariah BRI, bahkan BCA pun akan membuka Bank Umum Syariah. Potensi lain para pelaku perbankan syariah dan ekonomi syariah secara umum merupakan kalangan terdidik dan mempunyai daya beli yang tinggi. Namun para penerbit harus menyadari juga bahwa, ekonomi syariah bukan hanya perbankan syariah, masih banyak sektor ekonomi syariah yang juga akan berkembang pesat dan membutuhkan buku-buku berkwalitas sebagai pendukung seperti pasar modal syariah, assuransi syariah, wakaf produktif, zakat, pegadaian syariah, leasing syariah, ekonomi mikro syariah, ekonomi makro syariah,ekonomi pembangunan syariah, ekonomi moneter syariah (dinar dan dirham), enterpreneurship syariah, fatwa-fatwa ekonomi syariah, dll.
Kebutuhan ini juga didasari semakin berkembangnya program studi dan jurusan ekonomi syariah disetiap kampus-kampus ternama di Indonesia.
3. Buku-buku pendidikan anak
Di saat ekonomi sedang tidak menentu karena dampak krisis finansial di Amerika Serikat. Setiap rumah tangga akan rasional dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya, termasuk pengurangan atau penundaan konsumsi buku. Namun setiap orang tua tetap akan berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Buku-buku pendidikan anak salah satu kebutuhan pendidikan anak. Dengan demikian saya memperkirakan permintaan dan kebutuhan masyarakat terhadap buku-buku pendidikan anak tidak akan tergangu banyak. Dengan demikian masih sangat prospek jika penerbit masuk menerbitkan buku-buku pendidikan anak, mulai dari pra sekolah sampai SD.
Apalagi saat ini pemerintah sedang giat-giatnya mengembangkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), sampai-sampai setiap RW yang ada di Indonesia ditargetkan akan ada PAUD nya. Sekali lagi ini potensi besar yang selayaknya dilirik oleh banyak penerbit. Tapi setiap penerbit harus mempunyai komitment yang tinggi untuk membuat-buku-buku pendidikan anak yang berkwalitas tinggi. Karena jika penerbit hanya mengedepankan profit, dan asal laku, ini bisa menjadi bumerang bagi masa depan anak-anak kita dan generasi muda bangsa ini. Dan sebaliknya jika penerbit mampu menyajikan buku-buku anak-anak yang berkwalitas, maka penerbit juga memberi andil dalam terciptanya generasi-generasi yang berkwalitas di masa depan.
Terkait dengan ini, bisa juga di kombinasikan kebutuhan buku-buku ekonomi syariah dengan buku-buku anak, setahu saya belum ada buku-buku pendidikan anak yang membahas konsep-konsep ekonomi syariah, dengan level untuk anak-anak, ini akan membantu pengembangan ekonomi syariah yang sedang digalakkan pemerintah, sekaligus mengedukasi anak-anak sedari awal tentang ekonomi syariah.
4. Buku-Buku kewirausahawan dan motivasi
Seiring dengan banyaknya kasus PHK dan kemungkinan PHK di tahun 2009 ini, maka akan banyak pekerja yang kebingungan mencari alternatif pekerjaan yang cepat dan mudah dilakukan. Dengan demikian dibutuhkan buku-buku tentang kewirausahaan seperti: cara mudah memulai usaha sendiri, panduan usaha francise di Indonesia dan Luar Negeri, termasuk buku-buku motivasi untuk para pekerja yang kehilangan pekerjaan seperti: Tidak ada kata menganggur bagi setiap muslim yang baik, PHK bukan akhir kehidupan, dll.
5. Buku-buku agama Islam
Agama merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia, sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun setiap orang membutuhkan makanan/gizi hatinya dalam bentuk tuntunan agama, apalagi kalau kondisi ekonomi dan sosial politik lagi tidak menentu, saya memperkiarakan kebutuhan masyarakat terhadap agama semakin tinggi. Hal ini dibuktikan sejak krisis tahun 1998, penerbit-penerbit buku Islam tumbuh bak jamur di musim hujan, dan sebagian besarnya mampu bertahan sampai saat ini, indikator lainnya adalah semakin semaraknya pameran-pameran buku Islam di banyak kota di Indonesia, serta siqnificannya penjualan buku islam di toko buku.
6. Mushaf Al-Qur’an
Penerbitan Mushaf Al-Qur’an, memang sudah lama dilakukan, bahkan sekarang departemen agama telah menerbitkan sendiri Al-Qur’an dengan membangun percetakan sendiri di Ciawi. Namun menarik juga diamati keberadaan mushaf Al-Qur’an semakin hari semakin berkembang seiring dengan kebutuhan dan kemudahan yang ditawarkan penerbit kepada masyarakat, seperti Al-Qur’an tadjwid, Al-Qur’an untuk wanita, dan banyak keunikan lainnya, yang paling baru dan fenomenal adalah Al-Qur’an terjemah kata perkata metode hijaz, yang diterbitkan penerbit as syamil. Al-Qur’an ini diterima sangat antusias oleh masyarakat.
semoga bermanfaat....

*praktisi pemasaran buku Islam, email: jaharuddin@gmail.com
http://penerbitbukuislam.blogspot.com

Senin, 05 Januari 2009

Dicari Editor Tetap Fiksi

Pustaka al-kautsar mencari tenaga editor tetap, untuk buku-buku fiksi Islam. syaratnya punya pengalaman di bidang tersebut.

lamaran bisa dikirim via email ke: khalish02@yahoo.com atau, cckan ke: jaharuddin@gmail.com

Selasa, 30 Desember 2008

Tiras (Buku) Pas Saat Krisis


Tulisan ini masih lanjutan dari artikel "Tiras Buku Ibarat T-Shirt". Setelah posting tulisan di milist, saya baru saja terima SMS dari seorang rekan yang menanyakan bagaimana ia bisa menetapkan bonus prestasi untuk seorang editor. Lalu, saya jawab bahwa penetapan reward ditentukan dari pencapaian target, baik pas maupun melampaui. Tentu target perlu ditetapkan terlebih dahulu berikut indikator pencapaian target. Nah, apakah sebuah buku yang menembus angka penjualan best seller bisa berimbas bagi ditetapkannya reward untuk seorang editor? Semestinya bisa atau memang harus.

Lalu, pertanyaan berlanjut berapa standar penetapan best seller itu? Saya menjawab bahwa buku bisa masuk standar best seller apabila bisa menembus 5 hingga 10 x dari tiras normal atau tiras standar cetakan pertama misalnya 3.000 eksemplar. Berarti kita bisa menetapkan angka 15.000 hingga 30.000 adalah masuk kategori best seller untuk penjualan satu tahun.

Dari mana ketetapan standar ini, maksudnya sumbernya? Ditetapkan berdasarkan skala penerbitan saja sesuai dengan pengalaman bisnis. Penerbit terbagi tiga: 1) small publisher (dengan terbitan 1 judul per bulan atau bahkan hanya 6 judul per tahun); 2) medium niche publisher (dengan terbitan 2-3 judul per bulan); 3) big publisher (punya banyak imprint dan bisa mencapai angka terbitan 30-50 judul per bulan). Ketiganya tentu berbeda menetapkan tiras standar, termasuk kategori best seller. Karena itu, jangan heran jika timbul berbagai macam klaim best seller. Penerbit kecil yang tiba-tiba bukunya laku di atas 5.000 eksemplar bisa berteriak girang dan mengatakan bukunya best seller--pertama terjadi setelah tiga tahun berdiri. Namun, secara nasional kita ketahui bahwa klaim best seller bisa disematkan pada buku-buku yang sudah menembus angka penjualan hingga lebih dari 50.000 eksemplar. Karena orang Indonesia termasuk tinggi sense of humor-nya, terbit juga buku dengan embel-embel 'insya Allah best seller' atau 'masak sih gak best seller'. :-)

Bagaimana sebuah tiras pas bisa ditetapkan? Saya hendak berbagi pemikiran saja mengingat aspek ini kerapkali ditetapkan secara konservatif (hati-hati) dan ada juga yang optimis. Bahkan, ada yang begitu sangat berhati-hati karena trauma oleh badai retur buku-buku back list (back list = judul lama, bukan black list). Tiras besar berhubungan dengan harga pokok produksi (hpp) yang menjadi murah. Adapun tiras sedikit tentu sebaliknya menjadikan hpp melonjak naik dan berujung pada tingginya harga buku.

Coba kita telisik pertimbangan memutuskan sebuah tiras yang pas.

Krisis yang diperkirakan memuncak pada 2009 harus menjadi pertimbangan. Selain itu, juga perlu riset perilaku konsumen (pembaca) buku di Indonesia dalam mengambil keputusan membeli buku. Prediksi dan hasil riset diramu juga dengan as is condition (kondisi nyata) praktik marketing penerbit. Dari pangsa pasar buku umum yang ada di seluruh Indonesia, berapa persen yang sudah tercover (covered area)? Adakah tim marketing ataupun distributor yang kita tunjuk sudah optimal menggarap pasar? Nah, pertimbangan tiras yang pas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tadi selain juga faktor kekuatan buku itu sendiri (content, context, community, dan penulis). Berarti apa yang kita perlukan? Hasil riset dan data yang valid, bukan sekadar persepsi dan perkiraan-perkiraan tanpa bukti.

Saya kerap menemukan personel marketing yang membuat asumsi-asumsi marketing berdasarkan satu dua kasus dengan konsumen, lalu diangkat menjadi isu nasional. Apa yang penting kasus tersebut semestinya dianalisis dulu sebelum dilempar ke forum karena boleh jadi satu kasus itu terangkat secara situasional, misalnya ada konsumen mengatakan bahwa judul buku Anda kurang tepat. Pendapat ini harus didukung lagi oleh pendapat-pendapat lain sehingga menjadi sebuah pendapat umum untuk didiskusikan. Saya kira demikian. Seperti halnya seorang marketer mengangkat isu bahwa saat ini yang lagi tren adalah buku-buku tentang orang-orang cacat yang sukses. Tren yang dia lihat harus didukung juga oleh data life time buku-buku tersebut dan mengapa orang tertarik membeli buku itu, sekaligus data judul dari sekian buku itu yang masuk kategori best seller. Sangat naif kalau soal ini dibawa ke forum rapat hanya dengan omongan, lalu marketer meminta tim redaksi membuat buku sejenis itu dan yakin ia mampu menjual dengan tiras hingga 10.000 eksemplar.

Kembali ke soal penentuan tiras yang pas mari kita berkaca dari kemampuan marketing. Pertanyaan pertama spesifik untuk Indonesia: apakah pasar Jakarta sudah tercover secara optimal? Penting karena paling tidak market share Jakarta mencapai 45% dari market share pasar buku nasional. Daerah kuat pasar buku lainnya secara nasional berturut-turut adalah Sumut (terutama Medan), Jateng, Jatim, Jabar, Pekanbaru, Makassar, dan sebagainya. Tentu setiap penerbit pasti punya data rangking penjualan di tiap daerah. Dari data rangking dan kekuatan daya beli masyarakat daerah dapatlah ditentukan spreading tiras per daerah/wilayah. Misalnya, dari tiras 3.000 maka jatah untuk wilayah Jakarta adalah 1.200, Sumut 300, Jateng 500, Jatim 500, Pekanbaru 200, Jabar 300. Hal ini dilakukan dengan asumsi strategi spreading melebar. Artinya, sebuah buku front list langsung disebar serentak secara nasional.

Ada juga penerbit yang menerapkan strategi spreading lokal. Artinya, cetakan pertama terbitan hanya di pasarkan di wilayah basah sebagai tes pasar. Tentulah banyak yang menjadikan wilayah basah itu adalah Jakarta. Dengan demikian, tiras buku ditetapkan tiras mini 1.000-2.000 dan langsung ditebar ke seluruh pelosok Jabodetabek. Apabila kemudian sambutan masyarakat pembaca bagus, barulah penerbit berani mencetak tiras dengan standar normal untuk persebaran nasional.

Saya prediksi pada masa-masa krisis serta pengalaman adanya beberapa penerbit yang menghadapi badai retur buku-buku umum, pada 2009 akan terlihat sikap konservatif dalam menentukan tiras front list (judul baru), termasuk juga pengurangan judul terbitan per bulan. Dan dapat dipastikan buku-buku baru dari penerbit-penerbit yang terkonsentrasi di Jakarta-Bandung-Jogja banyak beredar di tiga kota itu saja. Alhasil, masyarakat pembaca di daerah lain harus bersabar menunggu sampai buku tersebut benar-benar meyakinkan atau juga harus puas masih mendapatkan buku-buku lama terbitan satu-dua tahun yang lalu. Adapun penerbit-penerbit yang punya armada penjualan kuat dan juga dana yang kuat tentu menjadi kesempatan melaju tanpa terbendung, apalagi jika berjaya pula mengakuisisi naskah-naskah hebat.

Tiras yang pas dengan pertimbangan telah stabilnya pasar untuk wilayah Jawa (DKI, Jabar, Jateng, Jatim) dalam asumsi optimis (menurut saya) adalah 3.000-3.500. Dalam asumsi konservatif untuk 2009 tentulah di angka 2.000 eksemplar per judul. Dalam asumsi superoptimis tentulah menaikkan buku langsung pada tiras 10.000 sehingga harga buku pun menjadi bersaing dan buku bisa memenangi display karena dipajang di floor display dengan jumlah stock 100-200 per toko buku.

Kesimpulannya sebuah tiras yang pas untuk tetap survive ataupun mengalami growth pada musim penjualan buku 2009 adalah hal-hal berikut: 1) content atau isi buku yang memang memenuhi kebutuhan, rasa ingin tahu, serta kecenderungan minat masyarakat (tren dapat diciptakan); 2) context atau kemasan buku yang memiliki daya pikat dan daya tawar tinggi sehingga menimbulkan rasa percaya diri menjualnya; 3) penulis yang bereputasi; 4) community yang telah ada maupun dibangun sendiri networknya sehingga memantapkan target penjualan (misalnya penerbit Anda punya jaringan emosional dan profesional dengan salah satu MLM syariah maka Anda punya kans menjual buku-buku tentang ekonomsi syariah di kalangan mereka dengan angka tiras tertentu); 5) penulis yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas positif; 6) stabilitas ataupun kekuatan spreading-distribusi-sales yang sudah mantap (kalau belum mantap, lebih baik mengambil langkah superhati-hati dengan tiras mini).
Semoga berguna, tetap optimis dan mau berubah.

Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Nasional
http://groups.yahoo.com/group/editorindonesiaforum/message/1202

Selasa, 18 November 2008

BOOK COACHING: MENJADI PENDAMPING PENULIS


Dua bulan saya nyaris absen total dari dunia maya. Dua hingga tiga bulan belakangan, saya memang sedang digempur habis oleh kesibukan atau aktivitas penulisan karya terbaru saya sekaligus pendampingan-pendampingan penulisan buku para klien. Dan, seperti kasus-kasus yang selama ini saya tangani, selalu saja ada hal menarik yang bisa dibagikan dan diambil pelajarannya.

Saya akan coba ceritakan kasus pendampingan saya dalam penulisan buku berjudul Rahasia Mendapatkan Nilai 100 (Sinotif, 2008) karya Hindra Gunawan. Kasus terakhir yang saya tangani ini terbilang sangat menarik, mengingat dalam waktu kurang dari tiga bulan, Hindra berhasil menuntaskan dan menerbitkan bukunya, sekaligus mendirikan sebuah penerbitan mandiri bernama Sinotif Publishing.

Tambah menarik lagi, mengingat si penulis adalah seorang pengajar sekaligus eksekutif lima perusahaan, yang sehari-hari benar-benar disibukkan oleh urusan bisnisnya, tetapi masih sanggup bagi waktu demi menyelesaikan penulisan buku setebal 200 halaman lebih itu. Dan, menampingi penulis-penulis “gila” semacam ini memang salah satu kegemaran saya he he he….

Baik, ketika menerima tawaran sebagai coach atau pendamping dalam proses penulisan buku ini, saya sempat membayangkan bahwa ini adalah sebuah proyek yang terbilang mudah dikerjakan. Klien atau penulis yang saya dampingi ini adalah seorang pengajar, trainer, hipnoterapis, sekaligus businessman yang sangat menguasai bidang yang hendak dia tulis.

Tetapi, asumsi itu langsung saya koreksi begitu si klien menetapkan target bahwa buku harus bisa diterbitkan dalam kurun dua hingga tiga bulan. Alasannya, ada serentetan acara konfensi atau ekspo yang bisa dimasuki oleh buku tersebut. Celakanya, buku benar-benar digagas, dirancang, dan harus ditulis dari nol sama sekali!

Begitu kontrak pendampingan kami tandatangani, saya langsung ancang-ancang strategi, dan saya komunikasikan dengan sejelas-jelasnya kepada klien ini. Pertama, saya tegaskan bahwa antara coach dan coache (klien) harus sama-sama berkomitmen untuk bekerja keras, tahan banting, bila perlu ‘setengah memaksakan diri’ dalam beberapa langkah nantinya.

Kedua, saya tekankan bahwa sebagai coach atau pendamping, fungsi saya adalah memaksimalkan dan mengaktualkan potensi si klien melalui proses pembelajaran penulisan buku. Wujudnya adalah sebuah karya tulis yang harus benar-benar dirasakan sebagai karya orisinal si penulis, berkualitas, serta memuaskan diri sendiri atau target pembaca.

Ketiga, saya juga tegaskan bahwa dalam beberapa tahapan nantinya, terkadang saya harus bersikap “keras” demi mempertahankan kefokusan klien. Mengapa? Sebab, dari berbagai kasus yang pernah saya tangani, sangat sering muncul sindrom “masterpiece” dalam diri penulis-penulis pemula. Maksudnya, muncul hasrat untuk membuat karya selengkap dan sehebat mungkin pada kesempatan pertama menulis buku, sementara realitasnya mereka dihadang oleh konstrain waktu yang sulit diajak kompromi.

Keempat, saya jelaskan berbagai risiko penulisan dan penerbitan buku dalam tenggat waktu yang sedemikian sempit. Kalau dalam waktu normal saja kita butuh ketelitian yang maksimal agar kita bisa menghasilkan naskah yang berkualitas, rapi, lengkap, dan minim kesalahan. Terlebih kalau konstrain waktunya “abnormal”, pastilah butuh ketelitian dan ketekunan yang hitungannya ekstra maksimal he he he…

Kelima, saya “peringatkan” di awal, bahwa saya akan mendera klien dengan anjuran dan ajakan yang terus-menerus supaya yang bersangkutan lebih percaya diri untuk menggali bahan-bahan penulisan dari pengalaman sendiri. Selebihnya, bolehlah ditambahkan dari berbagai literatur atau teori-teori dari pakar lainnya. Langkah ini, selain mempercepat proses penulisan, ternyata juga ampuh untuk menghadirkan banyak hal atau temuan baru ke dalam naskah buku kita.
Nah, ancang-ancang strategi beserta asumsi atau dugaan-dugaan saya ternyata sungguh-sungguh mewarnai proses pendampingan buku Hindra Gunawan ini. Dari sisi kerja keras, memang ada totalitas, yang mana jadwal pertemuan pendampingan pun bisa bertambah dua kali lipat. Sementara, klien harus menambah alokasi waktu pendampingan, riset, dan penulisan lebih dari yang diduga semula. Hasilnya, proses penulisan bisa sangat cepat, tetapi risikonya sampai membuat gusi si penulis yang vegetarian ini pecah dan berdarah-darah. Untuk semangat yang beginian, tanpa ragu-ragu saya beri nilai 100 he he he….

Dari segi kefokusan penulis, dugaan saya terbukti, bahwa sindrom “masterpiece” akhirnya muncul. Tanda-tandanya? Klien menuntut diri untuk bisa menghasilkan karya yang jauh lebih hebat ketimbang pesaingnya, lebih lengkap, dan itu dilakukan dengan terus-menerus menambah jumlah literatur yang hendak dijadikan referensi. Bahkan, sampai pada detik-detik terakhir, penambahan-penambahan bab masih terus berlangsung, lengkap dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Ini idealisme yang harus dihargai, tetapi saya terus berpegang pada sikap pragmatis-realistis, karena yang dihadapi adalah limit waktu. Pada tahapan inilah, selain memfungsikan diri sebagai motivator kepenulisan, saya juga berubah wujud menjadi mitra pembelajaran yang sangat kritis, bahkan terbilang “keras” kepada klien. Tanpa sikap seperti ini, klien tidak akan fokus dan disiplin dalam mengejar target penyelesaian penulisan seperti yang sudah disepakati bersama. Dan, posisi yang saya pilih itu ternyata memberikan hasil sangat positif.

Dari sisi kebaruan karya, akhirnya tercapailah tujuan kami semula, bahwa buku yang dihasilkan sungguh-sungguh menyajikan banyak hal baru kepada pembaca. Klaim ini dibuktikan dengan banyaknya bab, contoh-contoh, kasus-kasus, kiat-kiat, dan argumentasi-argumentasi yang relatif baru karena digali dan diolah dari hasil riset, observasi langsung, atau dari pengalaman penulis serta orang-orang di sekitarnya.

Pada titik ini, saya dapatkan pernyataan kepuasan dari si penulisnya sendiri. Yang mana, proses pembelajaran tersebut telah mendorong dirinya untuk lebih fokus pada penyajian hal-hal baru dalam bukunya, ketimbang mengulang-ulang isi buku-buku yang pernah dia baca atau yang menjadi referensi penulisan.

Akhirnya, buku Rahasia Mendapatkan Nilai 100 berhasil diterbitkan tepat sesuai jadwal. Lepas dari sisi kekurangansempurnaan produk akibat konstrain waktu, baik saya sebagai pendamping/konsultan maupun si penulis merasakan suatu kepuasan atas hasil sebuah kerja keras bersama. Kepuasan itu bertambah lagi dengan munculnya kebanggaan dan rasa syukur, manakala kami melihat banyak orang tertarik membeli buku itu saat di-display di sejumlah ajang ekspo, pelatihan, dan seminar. Selanjutnya, kita tunggu saja, apakah kombinasi penjualan langsung serta penjualan melalui jaringan toko-toko buku mampu menghantarkan buku tersebut ke tangga buku bestseller.

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.

Jumat, 24 Oktober 2008

Peluang di Balik, Program Pendidikan Anak usia Dini (PAUD)


Latar Belakang
Tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemuanya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.
Sedangkan Depdiknas dalam buku Pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2007 menggambarkan bahwa Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya pada tahun 2004 adalah 39,09% maka pada tahun 2006 sudah mencapai 45,63% dengan target capaian pada tahun 2007 sebesar 48,07%, sudah barang tentu ini merupakan sebuah hal yang menggembirakan bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Kemudian disebutkan bahwa agenda-agenda yang akan dicapai pada tahun 2009 seperti pencapaian APK PAUD usia 2 – 6 tahun sebesar 53,90%. Akan tetapi perlu dikritisi untuk pencapaian 53,90% atau sekitar 10,05 juta orang kualitas dari layanan yang diberikan, bukan kepada kuantitas. Ini menjadi amat penting karena begitu dasarnya PAUD itu bagi seorang manusia dalam kehidupannya yang akan datang.
Pemerintah pada tahun 2001 telah mendirikan Direktorat khusus bagi PAUD yaitu Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (sekarang disebut Ditjen PNFI), Direktorat yang bertugas untuk melayani PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Ini disebabkan karena sebelumnya untuk layanan yang diberikan kepada anak usia dini baru pada usia 4 – 6 tahun melalui pendidikan formal yaitu TK, sedangkan melalui jalur pendidikan nonformal dan informal msih belum ada. Pendidikan formal pada tahun 2000 hanya mampu menyerap 12,65% dari total usia tersebut dengan Guru TK hanya sebanyak 95.000 orang untuk memberikan pelayanan 1,6 juta anak usia dini. Sedangkan untuk sisa 0 – 4 tahun masih belum terlayani, oleh karena itu maka Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan Direktorat PADU (saat ini disebut Dit. PAUD) yang bertugas untuk melayani anak usia dini yang berumur 0 – 4 tahun.
Perlu diingat, setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapat membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa ini .

Bentuk Pendidikan anak
Bentuk dari pendidikan PAUD ini adalah, seperti Play Group untuk anak usia 0 – 6 tahun. Ada yang formal didirikan oleh pemerintah, dan ada juga didasarkan pada swadaya masyarakat. Diharapkan pada setiap kampung di seluruh Indonesia ada PAUD nya.

Realisasi Program
Menurut data direktur PAUD Diknas, pada tahun 2007 Layanan PAUD secara formal dan nonformal, telah menjangkau 13 juta lebih dari 28 juta anak usia dini di seluruh wilayah Indonesia. Untuk anak usia 0-4 tahun berjumlah 20,5 juta. Anggaran PAUD juga terus ditingkatkan dari Rp 221 miliar pada tahun lalu, tahun 2008 naik dua kali lipat. Tahun 2015 layanan PAUD diusahakan bisa mencapai 75 persen semua anak usia dini .

Potensi anggaran
Anggaran untuk pelaksanaan PAUD berasal dari APBN, APBD dan swadaya masyarakat, berikut ini contoh anggaran PAUD dibeberapa daerah:

Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau pada tahun 2007, terdapat 100-an desa yang telah ada PAUDnya, anggaran per masing-masing desa sebesar Rp. 160 juta pertahun .

Tahun 2007, dana PAUD Propinsi Riau sebesar Rp. 2.373 juta (2,3 M), tahun 2008 menjadi Rp. 2.486 juta (2,4 M), meningkat 4,56%

Tahun 2008, di Kabupaten Lamongan mendapat alokasi dana cukup besar dari APBD, yakni mencapai Rp 4,187 miliar. Alokasi dana tersebut untuk pendidikan anak usia dini (PAUD)/play group dan taman kanak-kanak (TK)/raudlatul Athfal (RA) .

Alokasi anggaran untuk PAUD dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, terus meningkat dari tahun ketahun, tahun 2003 total sebesar Rp. 475 juta, tahun 2007, melonjak sekitar 15 miliar. Ini diluar anggaran pemerintah propinsi yang besarnya 1,14 miliar.

Melihat manfaat yang begitu besar program pendidikan anak usia dini (PAUD), pemerintah akan memperluas cakupan program PAUD hingga meliputi 3.000 desa miskin di seluruh Indonesia. Program dengan alokasi dana 127,74 juta dolar AS dana berasal dari pinjaman lunak bank dunia, hibah kerajaan belanda, dan APBN, diperuntukkan bagi 783 ribu anak usia 0-6 tahun .

Pada 2006, PAUD memperoleh anggaran Rp 135 miliar ditambah Rp 9 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Menurut Direktur PAUD, Gutama, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan meningkatkan akses PAUD secara maksimal. Pada 2007, sudah dipastikan PAUD akan memperoleh anggaran Rp 199 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, akan dipergunakan untuk sosialisasi serta peningkatan dana rintisan dan kelembagaan

Anggaran yang digelontorkan untuk PAUD nonformal juga terus meningkat. Pada tahun 2007 misalnya total anggaran untuk PAUD mencapai Rp221 miliar, dan meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp430 miliar.

Alokasi anggaran Untuk pembelian Buku
Tentunya dana sekitar 430 miliar tersebut, sebagiannya akan di belanjakan untuk alat bantu pendidikan seperti alat peraga dan buku-buku, walaupun belum diketahui dengan pasti berapa besarnya dana yang dialokasikan untuk pembelian buku, namun ini merupakan potensi yang besar sekali untuk dimasuki para penerbit buku.

Peluang
Program pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas SDM tersebut, disertai dengan anggaran yang sangat besar sekali, dalam proses pendidikannya, sehingga paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan program ini seharusnya dioptimalkan pemamfaatan peluangnya oleh penerbit, yaitu:
1. Total anggaran untuk PAUD tahun 2008, sebesar Rp.430M
2. Pemerintah SBY mempunyai komitment yang kuat bahwa tahun 2009 nanti dana anggaran untuk pendidikan nasional harus 20%, ini berarti besaran anggaran yang akan diaalokasikan untuk PAUD, akan terus meningkat
3. saat yang sama pasar buku non anak sedang tertekan, akibat dampak dari kenaikan BBM dan Krisis financial, namun kebutuhan anak-anak tetap akan meningkat dan menjadi prioritas pengeluaran keluarga.

Pemain Pengadaan Buku untuk PAUD
1. Penerbit Dar Mizan
2. Penerbit As Syamil
3. Penerbit Zikrul Hakim
4. Penerbit Bumi Aksara Kids
5. Penrbit Erlangga
6. Indiva, Surakarta
7. dll

Trik Penerbit yang sekarang ikut menawarkan produk
Saya mendapatkan informasi, bahwa ada penerbit yang hanya membikin Dummy, dummy tersebut, ditawarkan kepada bagian pengadaan pemda, setelah mendapat kejelasan buku tersebut masuk dalam proyek pengadaan, baru di cetak secara massal.

Apa yang harus dilakukan Penerbit
1. Buat kesepakatan apakah penerbit mau juga berburu potensi dana tersebut
2. bentuk tim pembentukan imprint anak
3. cari 1 orang SDM yang berpengalaman untuk membuat produk-produk buku-buku PAUD
4. SDM tersebut langsung bertanggung jawab ke Direktur
5. Pemasaran memamfaatkan jalur yang sudah ada, ditambah tim proyek

Jalur Distribusi
Saluran distribusi yang bisa digunakan adalah jalur distribusi konvensional, seperti toko-toko retail, toko-toko buku lainnya, namun perlu juga di cari informasi tentang tim yang biasa memasukkan proyek ke pemerintah.

Penutup
Demikianlah, peluang yang mungkin bisa diambil oleh perusahaan penerbit, ikut berkontribusi dalam mensukseskan PAUD ini. Semoga bermamfaat.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran buku Islam

Senin, 20 Oktober 2008

Ketika Penerbit menanti Ajal


Dunia Buku:
Akibat krisis moneter sebagian besar penerbit buku merasa kewalahan,
bahkan ada yang berhenti berproduksi. Tanda-tanda akhir zaman bagi
dunia perbukuan di Indonesia?

Krisis ekonomi yang tengah melanda bangsa Indonesia dalam beberapa
bulan terakhir ini benar-benar sudah merasuk ke segala sektor
kehidupan. Tidak terkecuali juga dunia perbukuan. Banyak penerbit buku
nasional sekarang ini kelimpungan dibuatnya. Omzet penjualan buku
mereka turun secara drastis. Bahkan tidak sedikit penerbit buku yang
terpaksa gulung tikar dan berhenti berproduksi.

Omzet Turun.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rozali Usman
mengungkapkan, industri perbukuan di Indonesia kini menghadapi tiga
dampak utama akibat krisis moneter. Pertama, hanya 200 dari 400
anggota Ikapi yang masih aktif. Dari jumlah itu, kini 50% sudah tak
berproduksi lagi. Akibatnya, tentu saja rasionalisasi karyawan tidak
terhindarkan lagi. Kini sebagian besar editor lapangan sudah
"dirumahkan", di samping karyawan lainnya. Dan dampak susulannya,
penerbit yang memutuskan mencetak ulang buku terbitannya, terpaksa
menaikkan harga sekitar 30%. "Ini jelas tidak kondusif. Dan secara
keseluruhan dampak krisis ekonomi ini sudah menurunkan omzet industri
perbukuan nasional sekitar 50%-75%," kata Rozali.

Kondisi tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh penerbit-penerbit
buku kecil saja, tapi juga dirasakan penerbit yang sudah besar dan
terkenal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, misalnya, merasakan
betul adanya penurunan omzet penjualan buku-buku produknya. "Secara
kuantitas penurunannya mencapai sekitar 10%," kata M. Boedi
Yogipranata, manajer Toko Buku Gramedia Matraman kepada Panji. Namun
dalam situasi krisis ini, untuk selama tiga bulan (Februari, Maret,
sampai April ini), Gramedia masih tetap menerbitkan buku-bukunya meski
dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dalam situasi normal.

Hal yang sama juga dirasakan oleh PT Pustaka Sinar Harapan. Menurut
direktur utamanya, Aristides Katoppo, sebelum krisis moneter
berlangsung, penerbit buku yang cukup besar ini bisa memproduksi satu
buku dalam satu minggu. Tapi dalam kondisi sekarang ini, mereka hanya
memproduksi satu buku dalam satu bulan. Itu pun dilakukan karena
komitmen masa lalu agar tetap survive menghadapi gejolak ekonomi.
"Kami harus terus berupaya bertahan dengan melakukan berbagai jurus
untuk menghadapi krisis yang berat ini," katanya.

Penerbit Mizan, Bandung, mengalami problem serupa. Tingkat penjualan
buku yang dihasilkan oleh penerbit ini sekarang sangat merosot
mencapai 75%. Menurut Hernowo, salah seorang direktur di penerbit itu,
kalau dulu dalam sebulan Mizan bisa menerbitkan 4-5 buku, maka
sekarang hanya satu judul buku saja. "Jadi sekarang ini kami mesti
mengerem juga. Misalnya, seharusnya bisa terbit enam buku dalam
Januari-Februari ini, kita mungkin hanya dua buku yang terbit. Dua
buku per bulan, itu sudah bagus betul," katanya kepada Panji.

Kalau penerbit-penerbit seperti Gramedia, Sinar Harapan, Mizan, atau
penerbit buku lain yang sudah besar dan terkenal saja seperti itu,
apalagi yang masih berskala kecil. Kondisinya tentu lebih parah dan
mengenaskan. Menurut Sekjen Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid,
berdasarkan laporan, sejumlah penerbit di daerah sudah tidak melakukan
lagi aktivitasnya. Di Jawa Timur, misalnya, 90% penerbit di sana sudah
berhenti berproduksi, sedangkan di Jawa Tengah 50% penerbitnya sudah
kolaps. Sementara di Jawa Barat kondisinya tidak jauh berbeda.
"Beberapa penerbit untuk sementara terpaksa menghentikan produksinya
hingga keadaan stabil kembali," kata ketua Ikapi Jabar Aan Soenandar.

Nah, yang menjadi biang keladi atau penyebab utama munculnya semua itu
apalagi kalau bukan naiknya harga kertas yang makin menggila: mencapai
300%. Dan itu kemudian berpengaruh juga pada naiknya harga
barang-barang komponen produksi buku lainnya, seperti tinta, pelat,
film, dan sebagainya. Kenaikan harga kertas ini terasa ironis karena
faktanya kita memiliki 74 pabrik kertas dengan kapasitas produksi 7,2
juta ton per tahun. Kita juga punya 17 pabrik pulp (bubur kertas) yang
merupakan bahan baku utama kertas dengan kapasitas produksi sebesar
4,3 juta ton per tahun. Lantas di mana masalahnya sehingga harga
kertas demikian terguncang akibat krisis moneter ini (lihat, Menanti
Panen HTI).

Komponen biaya untuk kertas memang menempati porsi yang sangat besar
pada keseluruhan biaya produksi buku. "Angkanya bisa mencapai
40%-60%," kata Hernowo dari Mizan. Jadi wajar bila perubahan harga
pada kertas yang mencapai 300% itu mempunyai pengaruh signifikan pada
harga buku. "Perubahan harga kertas sekarang ini membuat kami terpaksa
menaikkan harga buku sampai 30%," ungkap Rozali Usman, ketua umum DPP
Ikapi.

Berbagai Kiat.
Memang, untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, banyak
cara yang diambil oleh tiap-tiap penerbit buku. Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, misalnya, selain mengurangi jumlah produksi bukunya, terpaksa
harus menyetop alias tidak memperpanjang lagi kontrak tenaga kerja.
"Mulai bulan ini, kami terpaksa melakukan rasionalisasi terhadap 30%
tenaga kerja yang masih terikat kontrak. Perusahaan hanya mampu
membayar gaji karyawan paling hingga bulan April atau Mei mendatang,"
kata Aristides Katoppo.

Mengurangi jumlah produksi buku dan penghematan kemasannya juga
dilakukan oleh Sinar Harapan, Gramedia, dan Mizan. Menurut Adi Hendro,
salah seorang staf produksi buku di Gramedia, selain mengurangi jumlah
produknya, penerbitnya itu juga agak selektif dalam mengemas buku.
"Kalau dulu dengan format yang lebar kini lebih kecil. Warna cover
buku yang dulu dengan hot bann, kini dengan hot print," katanya.

Pemilihan tema buku secara selektif, juga dilakukan Mizan. Menurut
Hernowo, selain mengurangi jumlah produksi buku, kami juga harus
memilih secara selektif buku-buku yang akan diterbitkan. "Kalau
kira-kira buku itu akan diminati pasar, akan kami terbitkan. Kalau
tidak, meski naskah sudah siap, akan kami tunda penerbitannya,"
katanya. Dan menurutnya, di antara buku yang sudah siap namun terpaksa
ditunda penerbitannya adalah karya Dr. Jalaluddin Rahmat berjudul
Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer.

Jalan paling lumrah yang dipilih oleh berbagai penerbit buku adalah
dengan menaikkan harga. "Ini merupakan cara yang paling masuk akal dan
tak bisa dielakkan, sejalan dengan naiknya harga-harga barang lain
termasuk sembilan bahan pokok (sembako)," kata Abbas al-Jauhari, staf
editor penerbit Rajawali Pers kepada Panji. Memang, jalan itu tidak
dapat dielakkan. Toh, hampir semua penerbit buku sekarang ini sudah
melakukan hal itu.

Bersaing dengan Sembako.
Namun jalan itu bukan tanpa persoalan, terutama jika dikaitkan dengan
minat dan kemampuan daya beli masyarakat akan buku dalam situasi
krisis sekarang ini. "Jangankan untuk beli buku, untuk beli sembako
pun sulitnya bukan main," kata Ibu Aminah Suhaemi kepada Panji. Dengar
juga pendapat Dimas, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Kepada Panji,
dia mengeluh soal mahalnya harga buku-buku kedokteran yang wajib dia
gunakan dalam kuliah. "Sebelum krisis harganya hanya Rp200.000, tapi
sekarang sudah naik empat kali lipat: Rp800.000! Mau dikopi, selain
hasilnya jelek, harganya pun jauh lebih mahal," keluhnya miris.

Memang, tingginya harga buku di Indonesia sudah menjadi keluhan klasik
di kalangan masyarakat pembaca, apalagi dalam masa krisis seperti
sekarang ini. Karenanya, tak heran jika toko-toko buku besar seperti
Gramedia dan Gunung Agung di Jakarta terlihat sepi dan lengang.
Menurut pantauan Panji di Gramedia Mal Pondok Indah, Sabtu pekan lalu,
misalnya, tampak hanya 10 pengunjung yang datang. Itu pun hanya untuk
melihat-lihat dan membaca-baca buku di tempat. Ada yang membeli,
memang, tapi yang dibeli itu bukan buku melainkan kartu ulang tahun!

Sungguh memprihatinkan kondisi dunia perbukuan di Indonesia sekarang
ini. Ibaratnya, sudah jatuh (karena krisis moneter dan naiknya harga
kertas) tertimpa tangga pula (siapa yang mau beli?). Lagi pula,
bukankah masyarakat Indonesia sudah lama terkenal rendah minat
bacanya? Lalu, jika persoalan ini dikaitkan dengan proses pendidikan
dan pencerdasan kehidupan bangsa, bagaimana masa depan generasi muda
Indonesia selanjutnya?

Menurut pengamat pendidikan Prof. Dr. Bun Yamin Ramto, kita memang
tengah menghadapi masa-masa yang teramat sulit. Dalam soal kualitas
perbukuan, secara umum harus diakui bahwa bangsa kita makin merosot.
Jika kondisi perbukuan yang tengah dilanda krisis ini terus berlanjut,
itu akan berpengaruh pada persoalan pendidikan dan proses pencerdasan
bangsa (lihat, Generasi Tanpa Jendela). "Bacaan atau buku adalah alat
kebutuhan pokok masyarakat. Kita harus camkan betul-betul: kalau kita
mau maju, tidak bisa tanpa bahan bacaan. Jepang maju karena bacaan,
Cina maju karena bacaan, Amerika maju karena bacaan," kata Rektor ISTN
itu kepada Panji.

Untuk itu, Bun Yamin Ramto mengajak semua pihak, termasuk pemerintah,
untuk ikut memecahkan persoalan harga kertas ini demi memajukan dunia
perbukuan nasional, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. "Semua
pihak, termasuk pemerintah, berusaha bahwa buku itu harus diadakan
secara lebih banyak dan berkualitas. Dan agar masyarakat bisa membeli
dan memiliki buku, sebetulnya buku itu tidak harus dikemas secara
luks, biasa saja. Saya juga anjurkan supaya pajak-pajak yang
menyangkut buku dihilangkan," katanya.

Usul tersebut juga didukung Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Dr. Ki
Supriyoko. Menurutnya, dalam situasi krisis sekarang ini, pemerintah
diharapkan ikut turun tangan membantu kondisi dilematis perbukuan
kita. "Misalnya dengan mengurangi biaya pajak yang harus dibayar oleh
setiap penerbit. Saya kira pemerintah dapat melakukan itu, seiring
dengan niatan pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan
masyarakat," tegasnya.

Sebetulnya, untuk menyelesaikan masalah perbukuan ini, kalangan
penerbit yang tergabung dalam Ikapi tidak hanya tinggal diam. Pada Mei
1997 lalu, misalnya, sebelum krisis moneter terjadi, mereka sudah
membuat rekomendasi berisi enam butir permohonan usulan kepada
pemerintah agar: (1) mendorong industri yang khusus memproduksi kertas
untuk buku; (2) mengontrol secara berkala dan berkelanjutan soal harga
kertas; (3) memberikan keringanan PPn; (4) memberikan keringanan PPN
terhadap penjualan buku, sehingga harganya dapat lebih terjangkau; (5)
mengimbau PT Pos Indonesia untuk menerapkan tarif khusus terhadap
pengiriman buku; dan (6) menurunkan PPH pengarang buku (sekitar
0%-2,5%). Sayangnya, menurut Rozali Usman, rekomendasi itu hingga kini
belum ditanggapi.

Mudah-mudahan dalam hearing Ikapi dengan Komisi VII DPR, yang tidak
lama lagi akan dilaksanakan, usulan itu bisa lebih cepat menuai hasil.
Dan mudah-mudahan pula, dilema yang dihadapi kalangan perbukuan
nasional ini cepat berakhir.

NASRULLAH ALIEF, DUDI RAHMAN, RIFWAN HENDRI, HASBUNAL M. ARIEF, DAN M. RIDWAN PANGKAPI
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/06/0195.html

Selasa, 14 Oktober 2008

Picu Minat Baca, Buku 'Dikawinkan' dengan Game


New York - Sebagian anak zaman sekarang kemungkinan bakal lebih memilih main game ketimbang membaca buku. Sebagai jalan tengah, program yang 'mengawinkan' buku dengan video game pun dikembangkan.

Penulis Amerika Serikat bernama PJ Haarsma misalnya, menulis novel untuk anak-anak yang dikombinasikan dengan video game. Anak-anak pun bisa asyik bermain game tanpa melupakan manfaat membaca buku.

Pasalnya, seperti dilansir New York Times dan dikutip detikINET, Rabu (14/10/2008), untuk memenangkan permainan game yang menampilkan setting cerita dari dalam buku, anak-anak harus mencari informasi tertentu dengan membaca novel tersebut.

Di lain pihak, penerbit buku kenamaan Random House juga sedang mengerjakan proyek serupa. Mereka mengandalkan buku karya Christopher Paolini berjudul 'Brisingr' yang dikombinasikan dengan game online. Sejauh ini, sudah ribuan orang berminat memainkan game tersebut di situs mereka.

Demikian juga dengan penerbit ternama lainnya, Scholastic, yang terkenal karena mempublikasikan fiksi populer Harry Potter di Amerika Serikat. Mereka menerbitkan seri kisah fiksi bernama 'The Maze of Bones' yang juga dilengkapi dengan game berbasis web.
http://www.detikinet.com/read/2008/10/15/102054/1020250/398/picu-minat-baca-buku-dikawinkan-dengan-game

Senin, 06 Oktober 2008

Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM)


Bulan Januari yang lalu saya diberi kesempatan oleh kantor saya untuk belanja naskah dan berkunjung ke pameran buku Internasional di Kairo, pameran ini merupakan salah satu pameran buku terbesar di dunia setelah pameran buku Internasional di Frankfurt, Jerman, yang biasanya di adakan bulan oktober setiap tahunnya. saya bertemu dengan teman lama yang sekarang ternyata juga membuat penerbitan buku Islam. Saat bincang-bincang tentang penerbitan, salah satunya kami terlibat diskusi seputar pemasaran buku. Sejak tahun 2002 Sehari-hari saya mengeluti dunia pemasaran buku Islam, akhirnya saya menawarkan diri untuk membantu memsupervisi jika penerbitan beliau punya masalah dalam tim pemasarannya.

Bincang-bincang tersebut, awalnya menguap seiring dengan sesampainya di tanah air saya juga disibukkan dengan pekerjaan dipenerbitan dan teman saya tersebut, juga sibuk, karena saat mendirikan penerbitan beliau juga sedang mengambil program doctoral di Libya. Nah hari ini 6 oktober 2008, saya dikontak lagi oleh teman tersebut menagih janji yang dulu sempat kita bincangkan di Kairo. Apa yang harus dilakukan untuk memperkuat tim marketing penerbitan buku Islam.

Terinspirasi dari hal tersebut, saya menuliskan pengamatan saya tentang suatu penerbit buku Islam, cukup besar di Jakarta, dengan omset penjualan 10 – 20 M per tahun, untuk menjaga etika terhadap penerbit tersebut ,selanjutnya penerbit ini kita sebut sebagai penerbit A.

Ada satu teori sederhana yang banyak digunakan dalam membuat suatu produk, yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM), dengan berbekal teori sederhana ini, saya mencoba memaparkan hasil pegamatan saya terhadap penerbit A dengan sistematika SWOT, dengan harapan untuk diambil pelajaran bagi penerbit A tersebut, bagi teman saya dan bagi banyak orang yang berminat mendirikan penerbitan atau orang-orang yang sekarang sedang bekerja di dunia penerbitan buku Islam.

Strenght (Kekuatan)
1. Terdapat lebih kurang 20-an buku best seller yang temanya dibutuhkan sepanjang waktu (long live cycle)
2. Jumlah produk yang aktif di cetak + 250 judul
3. Jaringan distribusi langsung yang di tangani dari pusat ada sekitar 350 toko (yang terdiri dari toko-toko buku Islam konvensional, TB Gramedia/Tri Media, TB Gunung Agung, TB Karisma, TB Utama/Book City, TB Tiga serangkai, TB Kurnia Agung, TB Semesta, dll).
4. Terdapat 5 – 8 judul buku baru perbulan
5. Karakter yang kuat sebagai penerbit yang terdepan memerangi faham liberal dan aliran sesat.
6. Back up financial yang memadai
7. Suasana kerja, mengedepankan kultur kekeluargaan

Weakness (Kelemahan)
1. Lambat merespon keinginan pasar, contoh sudah 4 tahun diusulkan agar penerbit A ini membuat Al Qur’an, dan baru disetujui oleh direktur , tahun 2008 ini, itupun tidak ada kejelasan kapan akan diterbitkan, begitu juga lini, anak-anak, sudah diusulkan lama sekali, namun lambat direspon oleh direktur, begitu juga lini fiksi, sudah diusulkan lama, yang paling mengecewakan adalah tidak jelas, apa hambatan dalam membuat lini tersebut
2. Tidak mampu mempertahankan karyawan potensial
3. Design cover dan packaging yang kuno
4. Kualitas cetak dan lay out yang tidak berkembang, tetap seperti dulu (kuno)
5. Belum ada kesungguhan dari mulai direktur sampai ke manager untuk
membuat sistim yang kuat, seperti Standar waktu ideal dari semenjak naskah diterima penerbit sampai buku tersebut siap dipasarkan, Standar operating Proyek (SOP), petunjuk pelaksana yang tertulis, dll
6. terpisahnya departemen produksi dan departemen redaksi, yang berakibat
pada tidak jelasnya kapan buku bisa diterbitkan, karena masing-masing mempunyai otoritas sendiri, dan direktur tidak mampu memaksa kedua departemen ini untuk bisa bekerjasama.
7. promosi yang belum terarah


Opportunity (Peluang)
1. Terbuka lebar kesempatan untuk mengembangkan penjualan, karena jaringan distribusi sudah siap
2. pasar potensial buku Islam semakin besar karena jumlah dan kesadaran religi masyarakat semakin baik
3. Masyarakat masih sangat membutuhkan buku-buku dengan tema ibadah, buku-buku bacaan anak-anak, dan al qur’an dengan berbagai jenisnya

Treath (Ancaman)
1. Bermunculannya penerbit baru yang bisa cepat merespon kebutuhan pasar dan mampu cepat membuat produk yang siap dipasarkan.
2. sampai saat ini penerbit A ini masih berbadan hukum CV (perusahaan pribadi), dalam pelaksanaanya direktur Sangat dominant, sampai-sampai pesanan tidak akan bisa terkirim ke relasi jika uang di keuangan tidak ditambah oleh direktur dengan cara mengambilnya terlebih dahulu di ATM, artinya jika terjadi “apa-apa” dengan direktur, maka tidak jelas nasib penerbit A ini, apakah bisa berlanjut atau langsung bubar

Nah, dari SWOT diatas terhadap penerbit A, maka diharapkan bagi siapa saja mampu memilah-milah , mana faktor yang siknifikan mempengaruhi penerbitan buku Islam, selanjutnya jika faktor tersebut anda anggap penting, maka tirulah dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan perusahaan anda, selamat mencoba.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran Buku Islam