Sabtu, 26 Juli 2008

Kalkulasi Kentungan Penerbitan Buku bagi Penerbit dan Penulis

Saya yakin, apa saya tulis berikut ini tidak sesuai 100 persen dengan realitasnya.
Karenanya saya mohon, agar rekan-rekan mengkritisinya.
Syukur2 ada kalkulasi yang lebih berkualitas.
-----------------------------------------------------

Misalkan mau cetak buku 5 000 Ex @ 100 Halaman = 5.000 x 100 Halaman = 500.000 Halaman

Bila 1 Kertas Folio dipakai 4 Halaman, berarti kertas yang dibutuhkan adalah
500.000 dibagi 4 = 125.000 lembar kertas Folio

Bila 1 Rim = 500 Kertras Folio
125.000 : 500 = 250 Rim

Taroklah harganya Rp. 17.500 per Rim, berarti Biaya kertas saja = Rp. 3.500.000

Plat 25 buah @ Rp 5.000 ----> Rp 5.000 x 25 = Rp 125.000

Ongkos Cetak per Rim = Rp. 5.000 ---> Rp. 5.000 x 250 = Rp. 1.250.000

Ongkos Jilid Rp. 80 per Ex ---> 5.000 x Rp 80 = Rp 400.000

Ongkos Lipat Rp 50 ---> 5.000 x Rp. 50 = Rp. 250.000

Biaya semuanya = Rp. 6.400.000

Biaya produksi per eksemplar = Rp 6.400.000 dibagi 5.000 = Rp. 1.280

Harga eceran 6 kali lipat ---> 5 x Rp. 1.280 = Rp. 7.680 (bulatkan jadi Rp. 8.000)

Diskount untuk distributor 35 persen ----> 35/100 x Rp. 8.000 = Rp 5.200

Bila laku terjual berarti omsetnya = Rp. 5.200 x 5.000 = Rp. 26.000.000

Untuk penulis 10 persen = 10/100 x Rp. 26.000.000 = Rp. 2.600.000 (setelah dikenai pajak persen menjadi Rp. 2.210.000

Untuk Penerbit 90 persen = 90/100 x Rp. 26.000.000 = Rp. 23.400.000 (setelah dikenai pajak menjadi Rp. 19.890.000


Salam,

Nasrullah Idris
http://www.mail-archive.com/permias@listserv.syr.edu/msg13666.html

Alur penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang (UMM)

Pasar Buku Islam Tengah Menggeliat


TAK bisa disangkal industri buku di Tanah Air beberapa tahun terakhir ini tumbuh dengan bergairah. Kegairahan ini ditandai dengan munculnya penerbit-penerbit baru di berbagai kota di Indonesia dan membanjirnya buku-buku baru produk mereka di pasar. Ada yang cukup menyita perhatian dari bergairahnya industri buku tersebut, yakni maraknya penerbitan buku-buku agama, terutama buku-buku bertemakan Islam.

Bukan perkara sulit membaca fenomena demikian. Tengok, gencarnya penyelenggaraan pameran-pameran buku yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia setelah tahun 1990-an. Munculnya peserta-peserta baru dari kalangan penerbit-penerbit buku Islam dalam jumlah yang cukup besar kerap menghiasi pemandangan pameran buku saat ini. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, sudah ada pameran buku Islam tersendiri, seperti Pameran Buku Islam yang digelar Ikatan Penerbit Indonesia cabang Jakarta (IKAPI Jaya) maupun Pameran Buku Islam Plus yang diadakan IKAPI Jawa Barat bulan Oktober tahun 2003.

Jika dua tahun terakhir penyelenggaraan pameran buku sudah mulai mengkhususkan diri pada tema-tema bernapaskan Islam, sudah barang tentu terjadi pertumbuhan penerbit buku Islam yang cukup signifikan pada tahun-tahun terakhir ini. Pendataan IKAPI Pusat, misalnya, untuk periode tahun 2000 hingga 2003 atau kurang dari empat tahun, sudah tercatat sekitar 20 penerbit buku Islam baru yang menjadi anggota IKAPI. Angka ini jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah penerbit buku Islam pada kurun waktu tahun 1981 hingga 1989 yang hanya sebanyak enam penerbit saja. Jumlah ini belum termasuk pertumbuhan penerbit buku Islam yang tidak menjadi anggota IKAPI yang bisa dipastikan jumlahnya akan jauh lebih besar.

Bertambahnya penerbit tentu berbanding lurus dengan pertambahan produksi buku. Maka, tidak mengherankan jika keberadaan buku-buku bertemakan Islam mulai merambah toko- toko buku. "Buku-buku agama, khususnya Islam, memang paling banyak memakan space atau tempat paling luas di toko buku kami. Saat ini, paling tidak buku-buku agama sudah menyita 20 persen space yang tersedia, dari sejumlah itu 80 persennya buku-buku Islam," kata Arif Abdulrakhim pemimpin Toko Buku Toga Mas Yogyakarta. Proporsi demikian tentu terbilang besar. Bahkan, Abdulrakhim sangat meyakini bahwa toko-toko buku umum lain di luar Toga Mas pun kondisinya kurang lebih juga sama. "Dua puluh persen itu gede karena buku-buku yang lain tidak ada yang sampai 20 persen. Saya yakin di toko buku lain, yang bukan toko buku agama, paling besar buku Islam," kata Arif menambahkan.

GELIAT penerbitan buku- buku Islam yang melanda dunia penerbitan akhir-akhir ini, di satu sisi tidak bisa dilepaskan dari hukum penawaran dan permintaan. Artinya, kemunculan penerbit dan buku Islam di masyarakat ini sangat dipengaruhi tingginya respons atau permintaan masyarakat terhadap buku-buku jenis itu. Tengok saja selama bulan Ramadhan, misalnya, hasil jajak pendapat yang dilakukan harian ini di 10 kota besar Indonesia mengungkapkan 71,7 persen responden beragama Islam mengaku membaca buku-buku Islam. Sisanya, mengaku tidak membaca buku-buku bertemakan Islam dalam keseharian di bulan Ramadhan ini.

Dapat dibayangkan betapa besar kebutuhan akan buku-buku bertemakan Islam selama bulan ini. Oleh karena itu, bagi Indonesia yang mempunyai penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini merupakan pasar yang sangat potensial bagi buku-buku bernuansa Islam. Pertimbangan inilah yang menjadi salah satu alasan bagi penerbit-penerbit untuk berbondong-bondong terjun menggarap pasar buku-buku Islam dengan lebih serius.

Situasi seperti itu juga diantisipasi Penerbit Gema Insani Press (GIP). "Saya melihat mayoritas penduduk Indonesia itu Islam, sementara itu para penerbit buku Islam sebelumnya sudah ada, tetapi kualitas covernya sangat sederhana, kertasnya koran semua. Kenapa buku Islam tidak bisa dibuat dengan bagus, hard cover dengan kertas HVS semua?" Pertanyaan inilah yang mendorong GIP terjun dalam penerbitan buku-buku bertemakan Islam. Apalagi, ternyata masyarakat menerima keberadaan mereka, yang diikuti respons pembelian yang sangat bagus. "Jadi, masyarakat ini menggandrungi buku-buku Islam yang bagus dan indah, tidak sekadar dari kertas koran," kata Iwan Setiawan, General Manajer GIP.

Menurut pendirinya, GIP sendiri berdiri tahun 1985. Semua berawal dari penerbitan buku bertemakan perang Afghanistan. Merasa cukup laku, dari situ kemudian keluarlah buku-buku yang lain sehingga penerbit ini memilih berkonsentrasi penuh dengan menerbitkan buku-buku Islam sampai sekarang. Dalam dunia perbukuan, Penerbit GIP termasuk penerbit buku Islam yang terbilang sukses. Produksi bukunya saat ini rata-rata 6 judul per bulannya. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan selama krisis yang hanya 3 judul tiap bulannya. Hingga bulan September 2003, tidak kurang 414 judul buku yang sudah diterbitkan GIP. Ada beberapa buku terbitan GIP yang dicetak ulang hingga berkali-kali dan terserap pasar hingga ratusan ribu eksemplar. Buku-buku itu antara lain: Berbakti pada Ibu Bapak, Nama-nama Islami, Wanita Harapan Tuhan, dan Anda Bertanya Islam Menjawab. Buku terakhir adalah karangan ulama besar Mesir Prof Dr M Mutawalli Asy-sya’rawi ini sudah mengalami cetak ulang hingga 18 kali. Buku dengan kemasan luks tersebut dijual seharga Rp 47.200.

Tidak heran dengan keberhasilan meraih respons pasar tersebut hingga kini perkembangan bisnis GIP tergolong pesat. Dari jumlah karyawan, misalnya, jika semula tiga orang kini mencapai 150 karyawan. Jika dahulu mereka mengontrak rumah sebagai tempat beraktivitas, kini mampu membangun kantor, percetakan yang dilengkapi dengan mesin-mesin cetak milik sendiri berkapasitas besar. Bahkan, hingga kini dengan keuntungan yang diperoleh, penerbit ini sudah mampu membangunkan 40 rumah bertipe 70 dan 90 berkamar tiga, yang diberikan kepada karyawannya.

Penerbit Mizan tampaknya layak juga disebut sebagai lokomotif perkembangan penerbit buku Islam di Indonesia. Harus diakui juga bahwa penerbit yang berlokasi di Bandung ini turut mewarnai wajah perkembangan dunia perbukuan. Kemunculannya tidak hanya memberi warna terbatas di dalam penerbitan buku Islam, tetapi dalam satu dasawarsa terakhir secara lebih luas ikut memberi wajah baru bagi dunia perbukuan di Indonesia. Apabila sebelumnya dunia penerbitan buku lebih banyak dikuasai penerbit dari kelompok Gramedia, saat ini Penerbit Mizan tumbuh menjadi kelompok penerbit yang tergolong tangguh dan patut diperhitungkan.

Penerbit Mizan mulai berdiri sejak tahun 1983 dengan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran Islam yang cenderung moderat dan liberal. Kehadiran buku-buku terbitan Mizan mendapat sambutan yang baik di masyarakat, terutama kelompok masyarakat kelas menengah baru Islam. Menarik mengikuti pandangan Haidar Bagir, pendiri kelompok penerbitan Mizan. Menurut dia, keberadaan kelas menengah baru Muslim ini, yang relatif lebih dulu mengalami kemakmuran dan mengalami gejala kekosongan spiritual seperti yang dialami oleh masyarakat di negara maju, menjadi pasar terbesar bagi buku-buku Islam. Untuk itu buku Mizan dibuat dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan kelompok-kelompok yang mementingkan kualitas dan juga harga yang tidak terlalu murah serta yang membeli orang-orang yang berpenghasilan tertentu. "Buku model Mizan ini kemudian banyak ditiru penerbit-penerbit lain," kata Haidar Bagir.

Rintisan Mizan tidak terputus sesaat. Dalam perkembangannya selain tetap berkonsentrasi menerbitkan buku-buku Islam pemikiran dengan tetap menggunakan bendera Mizan, penerbit ini kemudian membentuk penerbit-penerbit baru dengan nama lain seperti Kaifa untuk buku-buku berjenis petunjuk (how to) dan Qanita untuk buku-buku bertema perempuan. Bahkan, mulai tahun 2003, Mizan Pustaka dibagi lagi dalam dua divisi, yakni Mizan Pustaka untuk buku-buku Islam dewasa dan DAR! Mizan khusus buku-buku bernuansa Islam untuk konsumsi anak-anak dan remaja. "Pembagian ini lebih untuk menjawab persoalan dan tanggapan dari konsumen, selain itu biar tiap unit bisa lebih fokus pada masing-masing bidangnya," kata Fan Fan Darmawan dari Mizan.

Strategi yang didasarkan pada segmen-segmen pembaca semacam ini ternyata cukup efektif. Buku-buku novel remaja bernuansa Islam hasil kembangan penerbit ini, misalnya, ternyata juga mendapat sambutan yang cukup baik dari pembaca. Novel- novel remaja yang di antaranya dikarang Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Gola Gong, menurut pengakuan penerbit ini, ada yang sudah terjual sampai 50.000-an eksemplar. Jumlah sebanyak ini tergolong istimewa, masuk buku best seller untuk kategori buku lokal.

DALAM khazanah penerbit buku Islam, GIP dan kelompok Penerbit Mizan tidak berjalan sendirian. Perkembangan pasar buku Islam juga diramaikan penerbit-penerbit lain yang tergolong spektakuler penampilannya. Di antaranya, MQ Publishing. Penerbitan buku yang merupakan salah satu unit usaha di bawah kelompok usaha MQ Corporation pemimpin pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhid Bandung, KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, ini juga mencatatkan rekor penjualan. MQ Publishing sebenarnya tidak lain adalah pengembangan dari divisi MQS Pustaka Grafika dan MQ Publication yang sebelumnya telah menerbitkan buku-buku dengan materi dari ceramah-ceramah maupun wawancara dengan Aa Gym.

Seperti halnya buku-buku Aa Gym sebelumnya yang sudah diterbitkan Mizan dan GIP yang terjual ratusan ribu eksemplar, buku pertama terbitan MQ Publishing yang untuk pertama kalinya ditulis Aa Gym sendiri ini laris manis diserap pasar. Dalam waktu kurang dari sebulan, buku Aa Gym Apa Adanya: Sebuah Qolbugrafi yang diterbitkan pada pertengahan tahun 2003 sudah laku sebanyak 40 ribu buku lebih. "Tema-temanya memang masih sekitar Aa Gym. Kami ambil tema-tema itu karena di pasar masih laku. Ya sudah, kami penuhi dulu. Makanya, penerbit-penerbit lain banyak yang mengambil tulisan Aa Gym," jelas Yopi Hendra, editor MQ Publishing. Kendati saat ini masih lebih konsentrasi menerbitkan buku-buku tentang Manajemen Qolbu (MQ) dan Aa Gym, MQ Publishing sudah mulai merintis menerbitkan buku-buku yang tidak bertema MQ. "Di satu sisi kita memang masih mengistimewakan Aa Gym, sejauh tingkat tertentu, tetapi setelah itu kita tidak akan seterusnya bergantung pada Aa Gym," kata Yopi menambahkan.

Besarnya peluang pasar bagi buku-buku Islam ini sudah pasti menarik berbagai penerbit untuk ikut terjun menerbitkan buku- buku bertema Islam. Bahkan, beberapa penerbit yang sebelumnya dikenal sebagai penerbit umum saat ini mulai menerbitkan buku- buku bertema Islam. Salah satunya, Penerbit Erlangga. Sejak tahun 2002 Penerbit Erlangga yang lebih dikenal sebagai penerbit buku-buku teks pelajaran ini memiliki divisi penerbitan buku Islam. Motifnya sudah tentu pasar yang tengah menggeliat. "Kami melihat market share yang sangat besar, 90 persen penduduk Indonesia ini kan Muslim, karena pasar begitu besar, kami coba masuk sedikit. Sifatnya partisipasi saja," kata Singgih, salah satu editor Penerbit Erlangga. Sekalipun sifatnya hanya berpartisipasi, tidak kurang sudah 17 judul buku bernuansa Islam yang mereka terbitkan, baik buku berjenis pemikiran Islam maupun cerita- cerita ringan. Bahkan, salah satu buku terbitan Erlangga berjudul Kisah Hikmah ini selama tahun 2002 mampu dicetak ulang hingga lima kali. Betapa semarak memang pasar buku-buku Islam saat ini. Tidak heran, ibarat pepatah Ada Gula Ada Semut, buku-buku Islam saat ini layaknya gula yang banyak diminati berbagai pihak lantaran cukup menggairahkan secara bisnis.(wen/bip/eki/nca/umi)
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/15/pustaka/688306.htm

Mengintip Peluang Pasar Buku Indonesia di Malaysia


MINAT baca tinggi belum tentu menghasilkan banyak penulis lokal. Kesimpulan inilah yang dapat menggambarkan kondisi perbukuan di Malaysia. Dari seluruh buku yang beredar dan diserap pasar di Malaysia, hanya sepuluh persen saja merupakan buku lokal. Selebihnya buku impor dan terjemahan.

JIKA ditelusuri lebih jauh, dari angka sepuluh persen produk lokal tersebut, bagian terbesar (mencapai 90 persen) merupakan buku-buku jenis panduan atau bacaan untuk sekolah. Dengan demikian, hanya sepersepuluh saja dari buku-buku lokal di sana yang merupakan bacaan umum.

Proporsi demikian tentu saja mengusik para pelaku industri buku di negeri jiran ini. Untuk memenuhi permintaan yang terus-menerus meningkat, beberapa penerbit Malaysia berinisiatif menjalin kerja sama dengan penerbit Indonesia. Pengalaman selama ini, buku-buku yang banyak diminati dari Indonesia berkisar pada buku tentang agama Islam, baik pemikiran, hadis, maupun panduan. Kemudian cerita anak, cerita remaja, resep masakan, hingga buku bacaan umum yang bersifat praktis.

Pembelian buku baik bentuk fisik maupun hak cipta ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, misalnya, menuturkan pernah menjual hak cipta novel Mira W dan Marga T pada dekade itu. Uniknya, hingga kini masih ada judul-judul dari pengarang tersebut yang masih dicetak ulang.

Penerbit buku Islam, seperti Gema Insani Press, juga terbiasa bertransaksi dengan para penerbit Malaysia. Bahkan, sejak tahun 1965 hingga sekarang penerbit ini masih terus mengirimkan buku dengan kontainer ke sebuah penerbit di Malaysia. Melalui sistem beli putus, antara lima dan enam judul per tahun dikirim ke Malaysia. Iwan Setiawan, General Manager Gema Insani, mengungkapkan, buku agama terbitan mereka sangat diminati masyarakat Malaysia meski, menurut Iwan, angka penjualan ke negeri jiran itu tidaklah besar, mengingat di Indonesia buku-buku penerbit itu juga cepat terjual dengan tiras yang tinggi.

Upaya memperluas pasar di Malaysia seperti yang dilakukan beberapa penerbit Indonesia ini tentu mengundang minat para penerbit buku lainnya. Berbagai bentuk kerja sama dengan para penerbit di Malaysia coba dirintis. Pola kerja sama memang pilihan yang banyak diterapkan penerbit Indonesia ketimbang berbisnis langsung. Bentuk kerja sama tersebut juga diakui oleh penerbit Darul Fikir Malaysia yang membeli banyak hak cipta dari Indonesia. Direktur Darul Fikir Mohd Zaki Ahmad, misalnya, mengakui bahwa penerbitnya bekerja sama dengan 12 penerbit dari luar Malaysia yang memiliki fokus terbitan buku keislaman. Dia mengungkapkan bahwa hampir 70 persen dari seluruh terbitannya merupakan karya penulis luar Malaysia.

KURANGNYA penulis Malaysia dalam menulis bacaan umum juga diakui oleh Arif Hakim yang merintis penerbitan dari tahun 2000 berkedudukan di Pahang, Malaysia. Arif mengakui telah membeli sekitar 50 judul buku yang terdiri atas bacaan anak dan buku umum dari salah satu penerbit Indonesia. Seperti diungkapkan oleh Arif, masyarakat Malaysia haus akan buku umum dan cerita anak yang bermutu dengan gaya tulisan yang lebih populer dan tidak terlalu akademis. Oleh karena itu, dia yakin, buku Indonesia akan laris di Malaysia.

Antusiasme Malaysia akan buku Indonesia diakui pula oleh Novel, Presiden Controller Mizan, yang melihat bahwa Malaysia jauh lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. "Malaysia bersandar pada buku-buku impor. Jadi jika mereka ingin menerbitkan sendiri, mereka membutuhkan naskah dari kita," ujar Novel. Namun, pengalaman Mizan selama ini tidak hanya buku asli penulis Indonesia, buku terjemahan pun di lirik oleh Malaysia. Seperti diakui oleh Novel yang telah lama membangun kerja sama dengan penerbit Eropa, "Malaysia membutuhkan buku terjemahan dari Indonesia karena kita telah memiliki hubungan baik dengan berbagai penerbit Eropa dan negara lainnya".

Hal ini pula diakui oleh Shaharom, pengajar di Universitas MARA yang juga mengamati perkembangan perbukuan di Indonesia, bahwa membeli buku terjemahan asing dari Indonesia jauh lebih murah dan lebih cepat daripada menerjemahkan sendiri. "Buku dalam bahasa Inggris di Malaysia sangat mahal. Jika diterbitkan di Indonesia dan diganti bahasa Indonesia harganya akan murah sekali," ungkapnya.

Melihat peluang yang ada, tampaknya Malaysia merupakan pasar yang sangat potensial bagi Indonesia. Kedekatan bahasa dan budaya merupakan faktor utama yang sudah dimiliki Indonesia. Apalagi Pemerintah Malaysia gencar mempromosikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di berbagai lembaga resmi. Dalam hal ini menjadi sejalan dengan Indonesia yang sudah memiliki bahasa baku yang mudah dimengerti oleh kalangan terpelajar Malaysia. Buku-buku teknik pun sangat menarik minat Malaysia, seperti diungkapkan oleh Hasrom bin Haron, Ketua Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yang sangat menyayangkan sulitnya mendapatkan buku teknik dari Indonesia. "Kami senang sekali jika buku teknik Indonesia masuk ke sini karena mahasiswa kami membutuhkan buku panduan yang bukan bahasa Inggris," ujar pengajar pada UKM tersebut.

Hingga saat ini buku Indonesia masih menarik bagi Malaysia, seperti diakui oleh Mohd Anwar Ridhwan, pengarah Dewan Bahasa Pustaka Malaysia. Buku Indonesia, katanya, sangat menarik dan Indonesia sangat cepat menerjemahkan buku. Ini pun semakin disokong oleh latar belakang historis perbukuan yang erat. Sebagaimana diketahui, ketika awal tahun 1970-an buku sastra Indonesia masuk ke Malaysia, para sastrawan angkatan Pujangga Baru dan Pujangga Lama atau lebih dikenal dengan angkatan Balai Pustaka ikut mewarnai wacana sastra di Malaysia. Sebut saja nama Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer sangat dikenal di Malaysia, bahkan buku mereka menjadi bacaan wajib bagi siswa dalam mata pelajaran sastra. Sayangnya, kini seiring dengan waktu dan generasi pembaca sastra terus berganti, nama para sastrawan tersebut mulai terlupakan.

Potensi mengembangkan pasar di Malaysia yang cukup besar sudah sepantasnya menjadi rujukan bagi para penerbit di negeri ini. Dalam hal ini dibutuhkan peran asosiasi sebagai wadah penerbit Indonesia menjadi duta bagi penerbit Indonesia. Namun sayangnya, sejauh ini potensi demikian belum banyak dimanfaatkan. Pengalaman menunjukkan, para penerbit harus turun sendiri untuk mempelajari pasar, menjalin kerja sama, hingga bertransaksi. Seperti diakui oleh Novel, mereka sebelumnya tidak memiliki informasi sedikit pun tentang pasar buku Malaysia. "Setelah kami bawakan buku- buku kami, mereka (penerbit Malaysia) terkaget-kaget melihatnya. Mereka tidak tahu bahwa ada buku yang menarik bagi mereka karena tidak pernah ada informasinya," ujar Novel.

Memperkenalkan buku Indonesia ke luar negeri tentu saja dibutuhkan promosi yang gencar dari penerbit lokal. Mengikuti kegiatan pameran di luar negeri adalah suatu keharusan. Sebisa mungkin dalam ajang pameran seperti ini penjualan hak cipta sebanyak mungkin menjadi tujuan dibandingkan dengan penjualan buku cetakan. Hal semacam inilah yang tampaknya belum terlihat dari stan Indonesia di Kuala Lumpur International Book Fair. Kesan yang terlihat, baik penataan stan maupun judul buku yang ditampilkan kurang mencerminkan keberadaan buku Indonesia.

POTENSI pasar yang terbuka tidak berarti tanpa persoalan. Persoalan bajak-membajak (cetak rompak) tidak luput selama ini terhadap buku-buku Indonesia, terutama buku agama Islam. Masalah pembajakan ini sudah berlangsung lama, seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Jika persoalan pembajakan buku belum mampu diatasi, maka cetak rompak di Malaysia semakin menekan penerbit Indonesia. Ironisnya, meski pelaku pembajakan tersebut ditangkap, pengadilan tidak dapat memproses hukumnya.

Pengalaman semacam ini pernah terjadi pada penerbit Gema Insani yang pernah menangkap dan membawa pembajak bukunya ke pengadilan. Persoalannya kemudian, pengadilan Malaysia tidak dapat melakukan proses hukum karena Gema Insani tidak memiliki cabang perusahaan yang berkedudukan di Malaysia.

Menyiasati pembajakan tersebut, Gema Insani memilih melakukan kerja sama dengan penerbit Malaysia dalam menjual hak cipta buku-buku mereka. Cara seperti ini cukup jitu, lantaran jika buku tersebut dibajak di Malaysia, maka penerbit yang membeli hak ciptalah yang akan mengajukan tuntutan hukum.

Berbagai upaya menekan pembajakan ini pun sebenarnya kerap dibicarakan, di antaranya muncul ide untuk melindungi buku Indonesia dengan membuat Galeri Indonesia. Wujudnya dengan membentuk semacam perwakilan distributor buku Indonesia di Malaysia yang dikelola bersama penerbit kedua negara tersebut. Sayangnya, pembicaraan yang sudah lama direncanakan itu belum terealisasi.

Menurut Saiful Zen, Bendahara Ikapi, pihak Malaysia tampaknya masih tarik-ulur dengan rencana tersebut. Salah satu persoalannya, buku dianggap komoditas bisnis yang merupakan investasi jangka panjang. Selain itu, belum jelas juga bagaimana perhitungan yang ditanggung jika buku tidak terjual atau lama habisnya.

Bagi beberapa kalangan, sebenarnya hal itu bukanlah halangan karena bisa saja penerbit Indonesia membuat sendiri Galeri Buku Indonesia tanpa perlu berkongsi dengan penerbit Malaysia. Jika saja beberapa penerbit Indonesia mau bersama-sama membangun kerja sama dan memfasilitasi Galeri Indonesia tersebut, maka kendala manajemen penjualan akan teratasi. Inilah tampaknya yang perlu dipikirkan oleh penerbit Indonesia saat ini, agar jangan setengah hati untuk meluaskan pasar buku Indonesia. (Umi Kulsum/Litbang Kompas)
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/21/pustaka/1763008.htm

Jalan Terus Biarpun Pasar Tidak Gemuk


Ketika ditanya potensi pasar buku-buku klasik, Buldanul Khuri mengutip salah satu syair lagu dangdut yang populer lima tahun silam. "Pasarnya? Yang sedang-sedang saja," kata Direktur Utama penerbit Bentang Yogyakarta ini. Artinya, buku klasik ini tetap memiliki pasar meski jumlahnya tidak besar. Dalam hitungan normal versi Buldan, cetakan pertama--sekitar 1.500 sampai 2.000 eksemplar--paling tidak habis dalam satu tahun.

Buldan mengambil contoh buku Republik karya Plato yang terbit Oktober 2002. Dicetak pertama sebanyak 1.500 eksemplar. Hingga kini buku tersebut masih tersendat di pasar. Padahal upaya mengenalkan buku ini ke publik sudah dilakukan. Salah satunya lewat resensi di berbagai media massa. Seretnya pemasaran buku klasik ini sudah disadari sejak jauh hari. Buldan memperkirakan, nasib serupa bakal dialami sembilan judul buku yang segera terbit.

Yang membuat Buldan jalan terus dengan proyek klasik ini tak lain karena ia tak merasa punya beban. Niat memperkenalkan karya-karya asli pemikir besar lebih kuat ketimbang urusan mencari untung.

Berpikir ala Filsuf karya Bertrand Russell, yang diterbitkan Ikon Teralitera, juga bertahan pada cetakan pertama. Begitu pula dengan tulisan Friedrich Nietzsche. "Kami sadar serapan pasar biasa-biasa saja," kata Adi Amar. Meski begitu kabar gembira sempat berembus dari The Problem of Philosopy karya Russell. Buku yang terbit pertama Mei 2002 ini telah dicetak ulang dua kali.

Cetakan kedua juga dialami A General Introduction to Psychoanalysis karya Sigmund Freud. Menjelang satu tahun dari cetakan pertama, buku tentang psikoanalisis ini terserap pasar. Biasanya catakan pertama rata-rata 3.000 eksemplar. Sukses buku Freud sebenarnya tak lepas dari tema yang ditawarkan. Pasar terbesar buku ini berasal dari lingkungan mahasiswa psikologi.

Buku yang sebenarnya mengalami nasib baik pada awal kehadirannya adalah Asal-Usul Spesies. Ketika diluncurkan pada Mei 2002, buku ini terserap cepat pasar. Sayang, pasar buku Charles Darwin ini mulai tersendat. Selain tema yang ditawarkan sudah dikenal luas, kehadiran buku Harun Yahya yang menggempur teori Darwin cukup berpengaruh. "Dampaknya terasa sekali," kata Adi. Selama ini karya Harun Yahya diproduksi penerbit Dzikra Bandung. Gempuran Harun Yahya juga dikenalkan lewat cakram VCD yang banyak beredar di pasar.

Kondisi yang agak menggembirakan justru terjadi pada buku klasik dari dunia Islam. Tafsir Juz Amma Ibnu Katsir yang terbit awal 2002 hingga kini naik cetak sebanyak lima kali. Kisah Para Nabi dari penulis dan penerbit yang sama naik cetak sebanyak enam kali sejak pertama diterbitkan awal 2002. Bahkan Keajaiban Hati setebal 100 halaman yang terbit 2001 sudah naik cetak tujuh kali. "Mungkin karena bukunya relatif tipis dibanding yang lain," kata Naufal.

Tesis buku tipis memang tak mesti menjadi alasan pembeli untuk merogoh saku. Substansi materi yang disampaikan tentu lebih menentukan. Buku Mukaddimah karya Ibnu Khaldun setebal 880 halaman adalah sebuah antitesis. Buku yang diterbitkan pertama pada akhir 1997 oleh Pustaka Firdaus yang cukup mahal ini dicetak ulang sebanyak empat kali. Kini sedang disiapkan edisi cetakan kelima. arif firmansyah
http://www.korantempo.com/news/2003/3/2/Buku/8.html

8 LANGKAH MUDAH MEMBUAT PENERBITAN MANDIRI

Seri Artikel Write & Grow Rich
bagian 1

Salah satu pertanyaan yang sering dilayangkan kepada saya adalah soal bagaimana membuat self-publishing atau independent publishing. Self-publihsing adalah kegiatan penerbitan karya-karya sendiri. Sementara, independent publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independen, yang menerbitkan karya-karya sendiri maupun karya orang lain. Tak jarang, sebuah penerbitan umum yang berkembang semula diawali dari self/independent publishing.

Seperti saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, salah satu tren perbukuan ke depan adalah maraknya pendirian penerbitan mandiri ini. Mengapa? Ya, karena sekarang membuat penerbitan sendiri sudah sedemikian mudahnya. Selain itu, banyak manfaat yang bisa diambil, selain juga potensi bisnisnya yang lumayan. Saya pun mendapati bahwa minat para penulis untuk membuat penerbitan mandiri ternyata cukup lumayan. Klien-klien saya sendiri juga banyak yang berminat dan akhirnya mendirikan penerbitannya sendiri.

Nah, bagi Anda yang ingin mencoba membuat self-publishing atau independent publishing, saya coba memadatkan segala tetek-bengek pembuatan penerbitan mandiri ini ke dalam delapan langkah berikut.

Pertama, siapkan naskah yang siap terbit dan memenuhi kriteria atau anjuran-anjuran sebagaimana saya tulis dalam buku Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller (Gradien, 2005). Naskah siap terbit artinya naskah yang sudah tersunting secara rapi dan lengkap (lihat artikel “Bagaimana Melengkapi dan Mengamankan Naskah Buku?”). Naskah yang sudah rapi dan lengkap akan memudahkan proses penerbitan buku. Sementara, naskah yang tidak lengkap dan rapi bisa sangat merepotkan.

Untuk Anda yang ingin benar-benar mendapatkan manfaat finansial dari ‘petualangan penerbitan’ ini, saya anjurkan supaya benar-benar memilih naskah buku yang berpotensi untuk laku keras. Atau, akan jauh lebih baik lagi bila naskah itu berpotensi menjadi buku best-seller. Apa ciri-cirinya? Saya sudah bahas lengkap dalam artikel-artikel atau buku saya sebelumnya. Kecuali Anda memiliki misi khusus dengan penerbitan naskah tertentu, maka soal laku atau tidak laku memang tidak terlalu memusingkan.

Kedua, siapkan modal yang cukup untuk mencetak dan mempromosikan buku. Perkiraan saya, jika kita bisa efesien sekali dalam proses penerbitan ini, maka dengan modal sekitar Rp15-30 juta kita sudah bisa menerbitkan buku fast book atau buku ukuran 14 x 21 cm dengan rata-rata ketebalan antara 150-200 halaman dan oplah mencapai 3.000 eksemplar. Di sejumlah kota seperti di Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya, kadang dengan modal di bawah Rp10 juta pun bisa jalan dengan jumlah cetak yang lebih sedikit.

Nah, sebagian orang tidak bermasalah dengan modal. Klien-klien saya, terutama yang datang dari lembaga konsultan, perusahaan, atau pembicara publik, biasanya tidak menemui kesulitan soal modal penerbitan. Sementara, bagi sebagian lagi amat bermasalah alias sulit mendapatkan modal. Saya lihat, tak sedikit penulis yang memanfaatkan royalti bukunya untuk memodali dan mengawali penerbitan mandiri mereka. Saya sendiri termasuk yang menempuh jalan ini. Sebagian lain ada yang patungan dengan rekan-rekannya. Prinsipnya, asal ada naskah yang bagus potensi pasarnya, maka modal pasti tidak sulit didapat.
sumber:http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=868&page=1

Mahalnya Buku di Gramedia


Malam Minggu kemarin, bersama Istri saya pergi ke Gramedia di jalan Kertajaya. Iseng-iseng jalan-jalan, mumpung waktu itu ada adik istri yang bersedia “memomong” anak saya. Sebenarnya belum ada rencana untuk beli buku apa. Kalau ketemu yang bagus nanti di beli saja. Setelah berjalan di tempat majalah, saya berjalan ke bagian buku-buku komputer. Terpampang buku berjudul “SQL : Kumpulan Resep Query menggunakan MySQL” hasil tulisan om Steven. Di Gramedia memang enak, soalnya ada contoh satu buku yang bisa dibuka, sehingga kita bisa melihat kwalitas buku yang akan kita beli.

Setelah membaca sedikit, saya memutuskan untuk membeli buku itu. Sesuai dengan harga yang tertera di sampul belakang buku, maka saya mengeluarkan satu lembar Rp. 50.000,- kepada kasir, dan kasirpun mengucapkan terimakasih. Harga buku itu Rp. 50.000,- pas tanpa mendapat diskon.

Dua hari berikutnya saya iseng pergi ke toko buku lain. Kali ini ke toko buku Manyar Jaya di jalan Manyar. Rencananya saya ingin membeli buku hacking, tapi ketika saya mencarinya kesana kemari, saya malah menemukan buku Kumpulan Resep Query seperti yang ada di Gramedia, tetapi dengan harga yang jauuuuuuuuuuuuuuuuh lebih murah. Di sampulnya hanya tertulis Rp. 40.000,-. Saya tertegun, betapa besar selisih harganya, 20% dari harga di Gramedia.

Ada rasa kecewa bersemayam di hati saya. Lain kali …..

dikutip dari :http://achedy.penamedia.com/2005/08/09/mahalnya-buku-di-gramedia/

Pusat Buku Indonesia


Cita-cita para penerbit buku Indonesia untuk membangun PUSAT BUKU INDONESIA nampaknya sudah mulai terwujud. Tempat berkumpul para penerbit dengan pengemar, pelanggan, pebisnis buku, event organizer pameran buku, distributor buku luar negeri, dan prospeknya itu ada di Kelapa Gading Center (KTC) Jalan Boulevard Barat Raya Jakarta Utara (persisnya di depan Makro). Diresmikan oleh Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla pada tanggal 30 Mei 2008, yang juga dihadiri oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta – Fauzi Bowo.

Lokasi Pusat Buku Indonesia di Kelapa Gading Centre - strategis dan nyaman

Di area seluas lebih dari 40.000 m2 itu, para penerbit dengan showroom-nya masing-masing dapat men-display buku terbitannya yang akan memudahkan pada pengelola toko buku, distributor, instansi pemerintah, pustakawan, guru dan dosen, penulis, penyelenggara event yang berkaitan dengan industri buku, untuk melakukan hubungan kerja dengan berbagai penerbit sekaligus di tempat yang sama. Sungguh-sungguh menghemat BBM dan waktu.

Bukan hanya penerbit buku, bahkan Ratna Riantiarno dari Teater KOMA itu juga membuka stand untuk mengajak anak-anak bangsa yang ingin terjun ke dunia teater.

Menurut pengelola PUSAT BUKU INDONESIA, sewa stand ini sangat murah. Selain itu, pada tahun mendatang para penerbit yang menyewa stand itu diberi kesempatan untuk membeli stand itu secara kredit.

Lokasi PUSAT BUKU INDONESIA ini sangat nyaman dan sejuk. Tentu saja karena adanya pendingin AC serta ruangan yang sangat besar, gang antar-stand yang lebar, sehingga para penerbit bisa membuat acara promosi di depan stand masing-masing.

Gangguan pemalak dan parkir liar sering membuat jengkel pengunjung pameran buku? Sama sekali tidak ada. Harap tahu saja, lokasi ini berdampingan dengan Kodamar TNI/AL. Tempat jualan makanan ada di lantai 3, rapi, dan tidak semrawut seperti di tempat-tempat pameran buku. Tempat parkir luas sekali, ada di basement gedung itu maupun di luar. Ongkos parkir hanya Rp1.000,- berapa pun lamanya anda menghabiskan waktu untuk melihat-lihat buku.

Dengan tersedianya ruangan yang sangat luas dan nyaman, sebetulnya asosiasi penerbit, asosiasi penulis, atau asosiasi apa saja yang berkaitan dengan industri buku bisa membuat acara-acara penataran dan pelatihan baik untuk anggota asosiasi ataupun pelanggannya di lokasi itu.

Anda punya naskah, foto-foto illustrasi, design, kerjasama sponsoship dengan penerbit buku, gagasan untuk menyelenggarakan pameran buku, atau ide penerbitan suatu buku? Tawarkan saja ke penerbit-penerbit yang ada di sana. Anda tinggal pilih.

Minggu, 06 Juli 2008

Peran Wikimu Dalam Pemasaran Berbasis Online

Jakarta,Istora. Satu lagi acara bagus digelar IKAPI DKI di Pesta Buku Jakarta (PBJ) 2008. Setelah Senin(30/6) lalu menghadirkan Mr.Erik Hartmann, pakar Google Books Search Singapora sebagai pembicara yang mengupas tentang bagaimana Cara Pemasaran Buku di Era Baru via internet, maka pada Selasa (1/7) berikutnya, panitia kembali memberikan tambahan ilmu dan pengalaman kepada pengunjungnya dengan seminar Pemasaran Berbasis Online.

Kali ini giliran Kiki R Noviandi, General Manager Intimedia WEB VENTURE yang kebagian sebagai pembicara pertama dengan moderator Sholeh Isra . Kiki bertutur tentang latar belakang dan cikal bakal bagaimana manusia memperkenalkan dan memasarkan produknya dari zaman bauheula hingga era digital seperti dewasa ini. Mulai dari cara lisan hingga generasi internet era intraktif. Bagaimana website evolution, stastistic web content, online transactions, participation, generation dan content melalui media online.

“Kini kita telah sampai pada era informasi dan memasuki era participation”ujar pria berkacamata ini. Menurutnya, di era sekarang, komunitas merupakan salah satu ujung tombak dalam berbisnis lewat online. Dan mereka lah yang selalu mencari dan aktif di media online untuk interaksi dan partisipasi.

Sementara Melani Laksmono, Chief Operating Officer Wikimu yang hadir sebagai pembicara kedua menjelaskan tentang media www.wikimu.com yang diperlukan untuk melakukan interaksi tersebut .

Wikimu merupakan situs informasi komunitas independen dengan konsep partisipasif. Media ini bukanlah situs berita, walaupun berisi aneka ragam informasi. Di media ini siapa saja bisa mendapatkan dan mengirimkan informasi, termasuk menambahkan, melengkapi atau menyanggah informasi yang sudah ada.

“Artinya, dalam situs ini dimungkinkan adanya interaksi pembaca dan penulisnya” ujar Melani. Selain itu, informasinya sangat beragam. Mulai soal kesehatan, olahraga, suara konsumen, layanan publik, peristiwa bisnis, politik, ekonomi, opini dll. Aktifitas offline di wikimu cukup beragam, mulai dari gathering, nonton bareng hingga kuliner.Semua disesuaikan dengan keinginan user-user yang ada.

Kiki menambahkan, “wikimu adalah situs yang menerapkan citizen jurnalism atau jurnalistik publik yang isi didalamnya ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun pengaksesnya ada juga yang berada di luar negeri seperti Amerika, Hongkong, juga Swedia”.
sumber: www.pestabukujakarta.com

Jejak Buku dalam Peradaban Islam

Sabtu, 17 Mei 2008 @ 08:46:57

Dalam sebuah kuliahnya mantan Menteri Luar Negeri, Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan ada sebuah hal yang terus `disembunyikan' dalam peradaban moderen di mana Barat kini menjadi pihak yang menghegemoninya. Hal itulah adalah fakta bahwa di dasar peradaban mereka ada sebuah peninggalan kasanah ilmu pengetahuan hasil karya peradaban Islam.

''Berkat peradaban Islamlah cara berpikir rasional yang merupakan peninggalan zaman Yunani hidup kembali. Yang membangunkannya adalah para ilmuwan Islam. Jadi di sini peradaban Islam adalah sebagai 'jembatan penting' dari hadirnya peradaban masa kini,'' kata Muchtar Kusumaatmadja. Bagi benak banyak orang, mereka tampaknya begitu yakin bahwa peradaban kontemporer ini hadir begitu saja sebagai karya orisinil peradaban barat. Fanatisme ini banyak terlihat dengan mengatakan bahwa 'bapak peradaban' dunia adalah Isac Newton. Begitu juga dengan anggapan fanatik bahwa bapak ilmu filsafat moderen adalah Imanuel Kant.

'Kebutaan' akan fakta sejarah ini pun sebenarnya harus dimaklumi. Para ahli hukum misalnya tak akan pernah berpikir bahwa hukum perdata yang kini berlaku di Indonesia 'diam-diam' juga mendapat sumbangan kasanah hukum fikih. Mereka tidak tahu betapa pada zaman Napoleon misalnya, begitu banyak buku klasik dari Mesir diangkut ke Perancis bersamaan dengan 'dirampoknya' berbagai barang peninggalan peradaban era ke kaisaran Firaun dari negara itu. Salah satu kaidah peninggalan fiqh yang diimpor dalam hukum perdata di antara adalah pengaturan pasal bahwa setiap kali terjadi transaksi adalah harus dilakukan dengan tertulis.

Dalam peradaban Islam itu karya tulis memang menjadi bahan penting. Apalagi ada sandaran perintah Tuhan bahwa membaca adalah hal yang wajib. Akibatnya, selama era kekhalifahan Islam, penulisan buku menjadi sangat penting artinya. Para khalifah membangun perpustakaan dengan koleksi ribuan buku. Ilmuwan pun getol menulis hasil karyanya, baik itu dari bidang ilmu filsafat etika, kedokteran, sejarah, sosiologi, dan musik. Tokoh klasiknya dalam hal ini seperti Al Ghazali, Al Kindi, Ibu Rush, Al Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Haitam, dan banyak lainnya.

Tokoh yang berjasa besar dalam bidang perbukuan atau kasanah inteletual adalah salah satu raja dalam dinasti Abbasiyah, Khalifah Al-Makmun yang memerintah pada 813-833 M. Dia sangat antusias mendorong penerjemahan berbagai karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan itu sebagian dilakukan secara langsung dari karya asli bahasa Yunani, sebagian lainnya hasil terjemahan bahasa Syiria dari bahasa Yunani.

Bahkan, pada era itu, Khalifah Makmun mensyaratkan agar para pejabat pemerintahnya yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa. Dan memang dari sanalah sumber tenaga para penerjemah buku direkrut. Salah satu jalur penandatanganannya adalah melalui Harran, kota di Mesopotamia, yang memang banyak penduduknya masih menggunakan bahasa Yunani. Jalur datangnya para penerjemah lainnya adalah melalui Jund-i-Shahpur di Khuzistan. Kota ini dibangun oleh Kaisar Sasanid Shahpur I sebagai tempat para tawanan yang dibawa dari Syiria. Kota ini menjadi pusat ilmu kedokteran.

Membanjirnya terjemahan buku dari bahasa Yunani dan Syira ke dalam bahasa Arab tersebut jelas menunjukan bahwa waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca yang aktif. Sedangkan pusat kebudayaan Arab yang sedang tumbuh pada saat itu adalah Baghdad. Kota itu terletak di tepi sungai Tigris, tidak jauh dari Ctesiphon, bekas ibu kota kerajaan Persia dan ibu kota kerajaan sebelumnya, Parta Arsacadid. Baghdad sendiri dibangun pada 762 M sebagai ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. Selain dipenuhi bangunan megah, kota ini juga dilengkapi dengan gedung perpustakaan yang lengkap.

Dalam soal perkembangan keilmuan melalui maraknya penerbitan buku, penulis 'Mankind and Mother Earth', Arnold Toynbee, menyatakan, fermentasi intelektual yang muncul pada masyarakat Islam pada masa itu didorong oleh kebutuhan untuk melengkapi ajaran Islam dengan berbagai perangkat intelektual. Islam jelas membutuhkan sistem hukum dan sistem teologi yang memadai bagi sebagian masyarakat di kerajaan yang wilayahnya meliputi berbagai pusat peradaban kuno di mana sudah mempunyai peradaban 'lebih matang'.

( muhammad subarkah )
Republika