Selasa, 30 Desember 2008

Tiras (Buku) Pas Saat Krisis


Tulisan ini masih lanjutan dari artikel "Tiras Buku Ibarat T-Shirt". Setelah posting tulisan di milist, saya baru saja terima SMS dari seorang rekan yang menanyakan bagaimana ia bisa menetapkan bonus prestasi untuk seorang editor. Lalu, saya jawab bahwa penetapan reward ditentukan dari pencapaian target, baik pas maupun melampaui. Tentu target perlu ditetapkan terlebih dahulu berikut indikator pencapaian target. Nah, apakah sebuah buku yang menembus angka penjualan best seller bisa berimbas bagi ditetapkannya reward untuk seorang editor? Semestinya bisa atau memang harus.

Lalu, pertanyaan berlanjut berapa standar penetapan best seller itu? Saya menjawab bahwa buku bisa masuk standar best seller apabila bisa menembus 5 hingga 10 x dari tiras normal atau tiras standar cetakan pertama misalnya 3.000 eksemplar. Berarti kita bisa menetapkan angka 15.000 hingga 30.000 adalah masuk kategori best seller untuk penjualan satu tahun.

Dari mana ketetapan standar ini, maksudnya sumbernya? Ditetapkan berdasarkan skala penerbitan saja sesuai dengan pengalaman bisnis. Penerbit terbagi tiga: 1) small publisher (dengan terbitan 1 judul per bulan atau bahkan hanya 6 judul per tahun); 2) medium niche publisher (dengan terbitan 2-3 judul per bulan); 3) big publisher (punya banyak imprint dan bisa mencapai angka terbitan 30-50 judul per bulan). Ketiganya tentu berbeda menetapkan tiras standar, termasuk kategori best seller. Karena itu, jangan heran jika timbul berbagai macam klaim best seller. Penerbit kecil yang tiba-tiba bukunya laku di atas 5.000 eksemplar bisa berteriak girang dan mengatakan bukunya best seller--pertama terjadi setelah tiga tahun berdiri. Namun, secara nasional kita ketahui bahwa klaim best seller bisa disematkan pada buku-buku yang sudah menembus angka penjualan hingga lebih dari 50.000 eksemplar. Karena orang Indonesia termasuk tinggi sense of humor-nya, terbit juga buku dengan embel-embel 'insya Allah best seller' atau 'masak sih gak best seller'. :-)

Bagaimana sebuah tiras pas bisa ditetapkan? Saya hendak berbagi pemikiran saja mengingat aspek ini kerapkali ditetapkan secara konservatif (hati-hati) dan ada juga yang optimis. Bahkan, ada yang begitu sangat berhati-hati karena trauma oleh badai retur buku-buku back list (back list = judul lama, bukan black list). Tiras besar berhubungan dengan harga pokok produksi (hpp) yang menjadi murah. Adapun tiras sedikit tentu sebaliknya menjadikan hpp melonjak naik dan berujung pada tingginya harga buku.

Coba kita telisik pertimbangan memutuskan sebuah tiras yang pas.

Krisis yang diperkirakan memuncak pada 2009 harus menjadi pertimbangan. Selain itu, juga perlu riset perilaku konsumen (pembaca) buku di Indonesia dalam mengambil keputusan membeli buku. Prediksi dan hasil riset diramu juga dengan as is condition (kondisi nyata) praktik marketing penerbit. Dari pangsa pasar buku umum yang ada di seluruh Indonesia, berapa persen yang sudah tercover (covered area)? Adakah tim marketing ataupun distributor yang kita tunjuk sudah optimal menggarap pasar? Nah, pertimbangan tiras yang pas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tadi selain juga faktor kekuatan buku itu sendiri (content, context, community, dan penulis). Berarti apa yang kita perlukan? Hasil riset dan data yang valid, bukan sekadar persepsi dan perkiraan-perkiraan tanpa bukti.

Saya kerap menemukan personel marketing yang membuat asumsi-asumsi marketing berdasarkan satu dua kasus dengan konsumen, lalu diangkat menjadi isu nasional. Apa yang penting kasus tersebut semestinya dianalisis dulu sebelum dilempar ke forum karena boleh jadi satu kasus itu terangkat secara situasional, misalnya ada konsumen mengatakan bahwa judul buku Anda kurang tepat. Pendapat ini harus didukung lagi oleh pendapat-pendapat lain sehingga menjadi sebuah pendapat umum untuk didiskusikan. Saya kira demikian. Seperti halnya seorang marketer mengangkat isu bahwa saat ini yang lagi tren adalah buku-buku tentang orang-orang cacat yang sukses. Tren yang dia lihat harus didukung juga oleh data life time buku-buku tersebut dan mengapa orang tertarik membeli buku itu, sekaligus data judul dari sekian buku itu yang masuk kategori best seller. Sangat naif kalau soal ini dibawa ke forum rapat hanya dengan omongan, lalu marketer meminta tim redaksi membuat buku sejenis itu dan yakin ia mampu menjual dengan tiras hingga 10.000 eksemplar.

Kembali ke soal penentuan tiras yang pas mari kita berkaca dari kemampuan marketing. Pertanyaan pertama spesifik untuk Indonesia: apakah pasar Jakarta sudah tercover secara optimal? Penting karena paling tidak market share Jakarta mencapai 45% dari market share pasar buku nasional. Daerah kuat pasar buku lainnya secara nasional berturut-turut adalah Sumut (terutama Medan), Jateng, Jatim, Jabar, Pekanbaru, Makassar, dan sebagainya. Tentu setiap penerbit pasti punya data rangking penjualan di tiap daerah. Dari data rangking dan kekuatan daya beli masyarakat daerah dapatlah ditentukan spreading tiras per daerah/wilayah. Misalnya, dari tiras 3.000 maka jatah untuk wilayah Jakarta adalah 1.200, Sumut 300, Jateng 500, Jatim 500, Pekanbaru 200, Jabar 300. Hal ini dilakukan dengan asumsi strategi spreading melebar. Artinya, sebuah buku front list langsung disebar serentak secara nasional.

Ada juga penerbit yang menerapkan strategi spreading lokal. Artinya, cetakan pertama terbitan hanya di pasarkan di wilayah basah sebagai tes pasar. Tentulah banyak yang menjadikan wilayah basah itu adalah Jakarta. Dengan demikian, tiras buku ditetapkan tiras mini 1.000-2.000 dan langsung ditebar ke seluruh pelosok Jabodetabek. Apabila kemudian sambutan masyarakat pembaca bagus, barulah penerbit berani mencetak tiras dengan standar normal untuk persebaran nasional.

Saya prediksi pada masa-masa krisis serta pengalaman adanya beberapa penerbit yang menghadapi badai retur buku-buku umum, pada 2009 akan terlihat sikap konservatif dalam menentukan tiras front list (judul baru), termasuk juga pengurangan judul terbitan per bulan. Dan dapat dipastikan buku-buku baru dari penerbit-penerbit yang terkonsentrasi di Jakarta-Bandung-Jogja banyak beredar di tiga kota itu saja. Alhasil, masyarakat pembaca di daerah lain harus bersabar menunggu sampai buku tersebut benar-benar meyakinkan atau juga harus puas masih mendapatkan buku-buku lama terbitan satu-dua tahun yang lalu. Adapun penerbit-penerbit yang punya armada penjualan kuat dan juga dana yang kuat tentu menjadi kesempatan melaju tanpa terbendung, apalagi jika berjaya pula mengakuisisi naskah-naskah hebat.

Tiras yang pas dengan pertimbangan telah stabilnya pasar untuk wilayah Jawa (DKI, Jabar, Jateng, Jatim) dalam asumsi optimis (menurut saya) adalah 3.000-3.500. Dalam asumsi konservatif untuk 2009 tentulah di angka 2.000 eksemplar per judul. Dalam asumsi superoptimis tentulah menaikkan buku langsung pada tiras 10.000 sehingga harga buku pun menjadi bersaing dan buku bisa memenangi display karena dipajang di floor display dengan jumlah stock 100-200 per toko buku.

Kesimpulannya sebuah tiras yang pas untuk tetap survive ataupun mengalami growth pada musim penjualan buku 2009 adalah hal-hal berikut: 1) content atau isi buku yang memang memenuhi kebutuhan, rasa ingin tahu, serta kecenderungan minat masyarakat (tren dapat diciptakan); 2) context atau kemasan buku yang memiliki daya pikat dan daya tawar tinggi sehingga menimbulkan rasa percaya diri menjualnya; 3) penulis yang bereputasi; 4) community yang telah ada maupun dibangun sendiri networknya sehingga memantapkan target penjualan (misalnya penerbit Anda punya jaringan emosional dan profesional dengan salah satu MLM syariah maka Anda punya kans menjual buku-buku tentang ekonomsi syariah di kalangan mereka dengan angka tiras tertentu); 5) penulis yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas positif; 6) stabilitas ataupun kekuatan spreading-distribusi-sales yang sudah mantap (kalau belum mantap, lebih baik mengambil langkah superhati-hati dengan tiras mini).
Semoga berguna, tetap optimis dan mau berubah.

Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Nasional
http://groups.yahoo.com/group/editorindonesiaforum/message/1202