Jumat, 23 Mei 2008

New channel : Penjualan buku di Pesawat

Dalam perjalanan ketika kita di pesawat, sudah lazim kita melihat ada penjualan barang-barang/souvenir ketika dalam perjalanan. Hal yang belum dilakukan adalah penjualan buku-buku berkualitas. Menurut saya ada prospeknya karena sebagian besar pengguna pesawat adalah kalangan menengah ke atas, yang diduga berpendidikan dan mempunyai penghasilan. Biasanya mereka ini adalah pangsa pasar yang tepat untuk produk buku, kemudian bisa jadi untuk mengisi waktu dalam perjalanan mereka butuh bacaan, seperti koran, majalah atau buku. Nah ini peluang, tinggal hubungi maskapainya, masukkan buku-buku berkualitas dan menghibur di katalog penjualan maskapai yang bersangkutan, trus suplai stocknya pada setiap pesawat. Jalan. Salah satu buku yang mungkin bisa dicoba misalnya la Tahzan, Laskar pelanggi, Ayat-ayat cinta, dan buku-buku relevan lainnya.
Selamat mencoba.
Dan semoga bermamfaat
jaharuddin

Rabu, 21 Mei 2008

Speedy Gonzales Strategy dalam penerbitan buku


Speedy Gonzales Strategy atau time based strategy adalah strategi yang mengedepankan kecepatan dalam merespon pasar merupakan kunci sukses perusahaan di jangka panjang. Berikut ini ada beberapa contoh perusahaan yang menerapkan speedy Gonzales Strategy di perusahaannya , yang ternyata 30 tahun kemudian melahirkan perusahaan yang profitable[1].

Pada dekade 1990-an, Toyota hampir unggul di semua lini. Untuk memproduksi sebuah mobil baru, toyota membutuhkan waktu 3 tahun dan detroit selama 5 tahun. Untuk membuat sebuah produk hingga menjadi produk jadi, Toyota membutuhkan waktu 2 hari dan Detroit selama 5 hari. Untuk memenuhi kebutuhan dealer, maka Toyota membutuhkan waktu selama 1 hari dari sejak order diterima dan Detroit selama 5 hari. Total pergantian stock untuk dealer toyota adalah 16 kali per tahun, sementara dealer dari merek-merek mobil detroit 8 kali pertahun. Karena kecepatan ini, kita kemudian mengenal sebuah model yang disebut dengan Just in Time. Hingga sekarang, model ini telah memberikan inspirasi kepada perusahaan di seluruh dunia.

Contoh lain adalah perbandingan ground time southwest airline 20 – 25 menit, sementara itu, American Airline membutuhkan 55 menit, selisih waktu 30 menit inilah yang digunakan oleh southwest untuk terbang di udara dan memperoleh revenue dan profitabilitas perpesawat yang lebih tinggi. Kecepatan ini juga di topang oleh kekuatan dari para top management untuk menciptakan budaya bekerja lebih cepat. Hasilnya jika kita investasi dengan membeli saham southwest di tahun 1990, maka hari ini kita akan mendapatkan gain 15 kali lipat.

Inilah era dimana kecepatan menjadi semakin kritikal. Dalam persaingan bukan perusahaan besar yang akan menghabisi perusahaan kecil, yang lebih benar adalah perusahaan lambat akan dimakan oleh perusahaan yang cepat. Nah seperti apa implikasinya pada dunia penerbitan, akankah speedy gonzales strategy ini akan membantu perusahaan penerbitan menjadi perusahaan yang profitable di masa mendatang, jawabanya YA.

Dalam penerbitan buku terjemahan Islam saya menemukan data, bahwasanya proses buku semenjak dari naskah asli (misal berbahasa Arab) sampai jadi buku berbahasa Indonesia dan beredar di pasar, penerbit masih membutuhkan waktu 5 – 8 bulan. Waktu yang sangat panjang sekali dalam proses pembuatan buku. Pernahkah terfikirkan para pelaku bisnis penerbitan untuk memotong mata rantai yang sangat panjang tersebut menjadi lebih singkat, sehingga buku terjemahan dapat secepatnya di nikmati oleh konsumen?, paling tidak para pelaku bisnis penerbitan menghitung dengan detail berapa waktu ideal dalam menerbitkan buku terjemahan, beberapa variabel penentunya adalah:
1. berapa waktu untuk Hunting Naskah
2. berapa waktu untuk Pengiriman naskah
3. berapa waktu untuk Penetapan diterbitkan atau tidak
4. berapa waktu untuk Penerjemahan
5. berapa waktu untuk Editing
6. berapa waktu untuk Setting
7. berapa waktu untuk Proses Produksi
6. kapan waktu yang tepat untuk Masuk gudang
7. kapan moment yang tepat untuk Louncing ke pasar

Mengapa suatu penerbit membutuhkan 5 – 8 bulan dalam menerbitkan buku? saya menduga banyak sekali waktu yang terbuang dalam proses penerbitan. Dengan kondisi ini akankah penerbit memenangkan persaingan di belakang hari? Jawabannya ada pada setiap penerbit, penerbit yang mampu mempercepat proses penerbitan produknya dalam rangka merespon pasar, meningkatkan kualitas , dan meminimalisasi biaya akan bertahan dan maju dimasa yang akan datang.
Semoga bermamfaat.

Jaharuddin
Praktisi marketing buku Islam
[1] Speedy Gonzales Strategy, Handi Irawan D, dalam majalah marketing 05/VIII/Mei/2008

Minggu, 18 Mei 2008

Faktor penyebab novel AAC dan Laskar Pelanggi super best seller

Menjadi impian setiap penerbit produk yang dikeluarkan menjadi best seller, apalagi supper best seller seperti AAC dan Laskar Pelanggi. Sebelumnya dalam kategori buku islam kita melihat best sellernya buku La Tahzan, karya Dr. Aidh Al qarni. Namun penerbitnya menganti cover dan menaikkan harga, sekarang buku la tahzan, mungkin sudah mencapai titik jenuhnya, sehingga penjualannya tidak se heboh saat awal-awal la tahzan keluar. Dan sekarang bintangnya adalah AAC dan Laskar Pelanggi.

Mengapa AAC dan Laskar Pelanggi menjadi super best seller

Beberapa faktor yang mungkin bisa menjelaskan faktor penyebabnya adalah:
Novel AAC dan Laskar pelanggi adalah novel inspiratif dan penyemangat
Menurut saya faktor utama dari super best sellernya AAC dan laskar pelanggi adalah berada pada isi novel ini yang benar-benar inspiratif, unik dan mampu memberikan hiburan yang sehat kepada masyarakat luas. Sesungguhnya masyarakat kita menunggu-nunggu karya baik buku maupun film yang berkualitas, tidak picisan, matreliastik dan hendonis. Masyarakat butuh sarana ekspresi yang sehat dan alami dan apa adanya. Karena saat ini masysrakat Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi faktor ekonomi, keamanan, dan ketertiban yang jauh dari ideal. Jalan raya macet, menonton TV acaranya tidak sehat, ekonomi semakin berat, dan faktor-faktor lainnya yang memposisikan masyarakat kita sebagian besar sebagai kalangan yang tertekan. Dengan kondisi tersebut akhirnya masyarakat butuh pada hiburan yang sehat dan inspiratif. Kalau kita amati benar kedua novel yang menjadi bahan diskusi ini maka mampu memberikan alternatif hiburan yang sehat, insiratif dan menyenangkan bagi masyarakat
Segment pasar yang dituju sangat luas
Syarat buku menjadi best seller lainnya adalah mempunyai segement pasar yang sangat luas, kalau kita amati AAC dan laskar pelanggi bisa dibaca oleh semua lapisan dari remaja sampai orang tua. Seperti yang kita ketahui banya buku yang mengambil segmentnya pada kalangan tertentu saja, seperti segement anak, segment remaja, segment pembaca dewasa yang mempunyai pemeikiran ahlu sunnah wal jama’ah , dll. Segment yang terbatas akan menyebabkan buku tersebut mempunyai kemungkinan best seller yang juga terbatas. Sebagai contoh yang lebih jelas lagi untuk menjelaskan segment yang luas ini adalah al qur’an , kitab super super best seller sepanjang massa.
Iklan Mouth to mouth yang sangat efektif
Iklan dari mulut ke mulut pembaca merupakan iklan yang sangat efektif sekali, ketika seorang konsumen pembaca buku AAC dan Laskar pelanggi menceritakan kepuasannya ketika membaca novel tersebut kepada temannya maka sadar tidak sadar itu adalah iklan yang sangat efektif sekali dan diduga potensi orang tersebut membeli produk tersebut akan tinggi sekali. Jadi ketika diceritakan teman, maka tidak jarang kita mendengarkan pembaca yang senang tersebut bahkan berani merekomendasikan untuk membeli buku tersebut.
Harga yang tidak terlalu mahal
AAC dan Laskar pelangi mempunyai beberapa varian, sehingga masyarakat juga mempunyai altenatif dalam membeli buku tersebut sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat, ada yang edisi lux harganya di atas 100.000, namun juga ada edisi murah yang harganya kisaran 30.000 – 70.000, jadi masarakat bisa membeli. Strategi membuat beberapa varian ini ternyata juga ampuh dalam memberikan alternatif pada pembaca untuk membeli. Hal yang sama tidak dilakukan pada la tahzan, penerbitnya kurang kreatif tetap saja bersikukuh dengan format yang awal, bahkan me recover yang belum tentu lebih baik dari yang awal dan harganya langsung di naikkan. Seharusnya yang dilakukan penerbitnya adalah membuat edisi lux dengan penampilan yang mewah dan sangat menarik, namun tetap menerbitkan edisi ekonomis yang harganyanya tetap murah.
di endorsement dengan film layar lebar
faktor selanjutnya yang mendorong penjualan novel ini adalah diangkatnya cerita novel tersebut dalam film, akhirnya masyarakat kita yang belum suka membaca bisa menikmati indahnya novel ini. Dan sekali lagi akan berdampak pada semakin banyaknya mulut yang bercerita tentang novel ini, sebagian dari orang yang mendenar cerita indahnya film ini akan mendorong untuk memiliki buku novelnya. Ini yang bisa kita amati dari kisah sukses AAC. Saat ini film laskar pelanggi sedang di garap pembuatannya, dugaan saya penjualan laskar pelanggi akan terdongkrak kembali saat filmnya diluncurkan dan menjadi pembicaraan luas. Semoga bermamfaat.

Jaharuddin
Praktisi marketing buku

Strategi Produk, kunci sukses penjualan Penerbitan buku


Oleh: Jaharuddin
Beberapa waktu yang lalu saya melakukan komparasi penerbit buku, saya mengambil Mizan sebagai bencmark, karena penerbit ini yang disebut-sebut sebagai penerbit yang mempunyai penjualan tertinggi di beberapa toko gramedia. Dari komparasi sederhana tersebut, saya menyimpulkan bahwa mizan bisa mencapai angka penjualan tinggi di toko-toko gramedia, karena banyak produk-produk mizan yang bisa terjual dengan laris manis di toko-toko gramedia.

Beberapa faktor penting berhasilnya mizan menjadi penerbit buku yang mampu menjual bukunya paling banyak di gramedia adalah:
dari awal mizan telah membidik pasarnya di pasar retail market.
Saya mengamati bahwasanya buku penerbit mizan sedikit diketemukan di distributor dan toko-toko buku Islam Konvensional, seperti Toha Putra, Media Dakwah, dll. Saya menduga dari awal memang penerbit mizan membidik saluran distribusi penjualan produk-produknya adalah di toko-toko retail seperti Gramedia, Toko Gunung Agung, dll. Kejelasan mizan dalam membidik pasar dan jalur distribusi ini akan mempermudah tim redaksi mizan untuk meracik buku-buku yang akan diterbitkan.
Ketika kita bandingkan dengan Penerbit Gema Insani Press, As Syamil, Pustaka Al Kautsar, maka ketiga penerbit ini tetap menjadikan distributor dan toko buku Islam Konvensional menjadi jalur distribusi produk buku mereka, namun tetap menjadikan toko-toko retail seperti Gramedia dan Toko Gunung Agung sebagai saluran distribusinya. Akhirnya bisa jadi daya serap pasarnya tidak maksimal.
Menurut saya ada perbedaan perilaku konsumen di toko-toko retail dengan toko buku Islam konvensional, seperti:
toko buku konvensional, terutama distributor, manjual buku-buku yang diterimanya dari penerbit untuk dijual kembali dalam bentuk grosir, ke toko buku-toko buku yang menjadi jaringan mereka.
Pembaca buku yang langsung berhubungan dengan toko buku Islam Konvensional adalah pembaca yang fanatik pada kelompok tertentu
Sedangkan pembeli di toko retail lebih banyak adalah kelompok pembaca umum, dan kelas menengah ke atas.
Ketepatan mizan dalam membidik pasar ini akhirnya membuat mizan lebih fokus membuat produk yang sesuai dengan konsumen yang mereka bidik.
Dalam kasus GIP, As Syamil dan Pustaka Al-Kautsar yang menjual produknya di semua jalur distribusi penjualan, maka disarankan untuk tidak serta merta semua produk di salurkan ke retail dan konvensional, bagian penjualan penerbitan harus mampu memilah-milah buku-buku yang tepat di toko-toko retail dan buku-buku yang lebih tepat di saluran distribusi toko-toko konvensional.
Terdapat buku laskar pelanggi
Pada saat ini ada buku laskar pelanggi yang penjualannya luar biasa, di sengaja atau tidak, adanya buku super best seller seperti laskar pelanggi sangat siqnifican dalam mendorong penjualan mizan di toko-toko retail. Kenapa laskar pelanggi menjadi super best seller, akan saya bahas tersendiri
Mizan mempunyai checker di toko
salah satu keungulan mizan dibanding penerbit lainnya adalah, adanya checker di toko, checker adalah orang yang ditugaskan penerbit untuk mengontrol penjualan dan stock setiap hari di toko. Keberadaan checker sangat membantu dalam update data stock di toko dan mengorder balik buku-buku yang habis di stock toko untuk di order ke penerbit, bahkan sebelum stock bukunya habis para checker sudah mengantisipasinya terlebih dahulu.
Redaksi mizan sering berkunjung ke toko buku
Faktor penting lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap penjualan buku mizan di toko retail adalah. Melekatnya pemahaman para redaksi di mizan tentang kebutuhan mereka dalam membuat buku yang selain bekwalitas, baik isi, packaging, judul, endorsement dari tokoh, juga buku yang diramu oleh redaksi laku terjual atau tidak. Seolah-olah berdosa jika redaksi Cuma mampu memproduksi buku berkwalitas namun tidak laku di pasar.
Banyak penerbit mengalami hambatan tidak nyambung antara keinginan pasar dengan tema yang diramu di redaksi. Adakalanya antara tim penjualan yang setiap hari bertemu dengan petugas toko dan konsumen mendapat banyak sekali masukan dari konsumen dan pengelola toko tentang tema dan kebutuhan konsumen saat ini, namun ketika disampaikan ke redaksi, informasi pasar tersebut Cuma menjadi kabar yang tidak terfollow up dengan baik oleh redaksi. Hal ini dikarenakan tidak singkronnya antara redaksi yang bertugas meramu produk dengan keinginan pasar.
Agar masalah ini bisa diselesaikan langkah yang paling ideal dilakukan adalah, direktur yang menetapkan kebijakan perusahaan menjadikan buku laku terjual di pasar/ditoko menjadi indikator sukses tim redaksi. Jika ini bisa dilakukan maka tim redaksi tidak hanya berorientasi pada jumlah judul buku dan kualitas buku yang diterbitkan, tapi mau tidak mau tim redaksi akan terdorong untuk lebih sering mengunjungi toko dan meminta informasi langsung ke konsumen dan pengelola toko tentang kecendrungan buku yang terjual. Termasuk cepat dalam membuat produk-produk yang memang dibutuhkan pasar.
Kecepatan mizan dalam mengirim buku ke toko
Salah satu kunci sukses di era yang serba cepat ini adalah ”kecepatan” dalam mendapatkan infomasi, menganalisa dan mengolahnya , sehingga didapatkan informasi yang relevan dan bermamfaat untuk perusahaan, kemudian informsi tersebut di komunikasikan dengan baik, dan yang menerima informsi melakukan action dengan cepat, sehingga perusahaan mendapat keuntungan dari informasi tersebut.
Begitu pula tentang kecepatan dalam mengirimkan buku ke toko, jangan sampai ada kejadian permintaan tinggi, tetapi stock buku tersebut kosong di toko. Jika hal ini terjadi maka yang terjadi adalah kehilangan kesempatan untuk menjual. Agar hal ini bisa tercapai leadership yang kuat dari direktur dan jajaran pimpinan sangat di butuhkan, karena jika berbicara stock maka tidak terlepas dari kebijakan cetak ulang, ketersediaan stock di gudang dan cepatnya tim distribusi mengirimkan buku. Tim yang terkait benar-benar faham bahwa keterlambatan bisa menyebabkan perusahaan merugi.
Iklan di Millis
Beberapa penerbit seperti pustaka al kautsar melakukan iklan di media seperti majalah, surat kabar, dan radio. Namun uniknya kita jarang menemukan mizan iklan di media cetak, yang dilakukan adalah memperbanyak diskusi buku di millis, ternyata iklan di millis lebih efektif dan lebih murah dibandingkan iklan di media. Namun agar diskusi buku di milis bisa dilakukan dengan baik, maka di harapkan tim redaksi ikut dalam diskusi di milis tersebut, karena tim redaksi dianggap lebih mengerti tentang isi buku dari pada yang lain.
Endorsement dari Kick Andy
Menurut saya hebohnya laskar pelangi dan beberapa buku lainnya juga di dorong dari ikutnya penerbit dalam mempromosikan buku di acara Kick Andy, setiap episode Andy F Noya membagikan buku gratis ke penonton. Ini budaya baik yang perlu di tiru oleh penerbit.

Dari 7 faktor yang saya urai tadi, kelihatan dengan jelas, sentral dari sukses tidaknya penjualan penerbitan sangat tergantung dari strategi produk dari penerbit tersebut, bahkan banyak masalah penjualan yang bisa diselesaikan jika tim redaksi mampu mengeluarkan buku-buku yang laku ke pasar, seperti sales tidak akan bersusah-susah lagi meminta pihak toko untuk mendisplay buku pada tempat yang strategis,karena secara otomatis pihak toko akan mendisplay buu-buku best seller pada tempat yang strategis.
Dengan demikian satukan langkah wahai teman-teman penerbit buku Islam untuk membuat produk-produk yang best seller.
Semoga bermamfaat.

Jumat, 16 Mei 2008

Sejarah Penerbitan Islam

Yang dimaksud dengan penerbitan Islam adalah pencetakan dan peredaran buku-buku oleh kaum muslim yang bertemakan Islam. Pencetakan dan peredaran buku-buku ini sendiri merupakan salah satu jenis usaha yang terlambat perkembangannya di dunia Islam. Salah satu alasannya adalah keberatan para penguasa dan ulama terhadap hal ini. Ibrahim Muteferrika, seorang pelopor usaha percetakan dan penerbitan buku di Timur Tengah, menghabiskan waktu lebih dari satu dekade untuk meyakinkan penguasa Dinasti Usmani dan para ulama bahwa usaha ini bukanlah sesuatu yang membahayakan bagi kebudayaan dan peradaban Islam. Ibrahim menegaskan bahwa Dinasti Usmani dan kaum muslim pada umumnya akan memperoleh banyak manfaat dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan buku-buku mengenai keislaman ini.
Dalam pembelaannya terhadap usaha pencetakan dan peredaran buku-buku Islam, Ibrahim Muteferrika menyatakan bahwa kaum muslim lebih unggul dibanding kaum Nasrani dan Yahudi dalam memelihara kitab suci, tetapi tidak dalam hal pemeliharaan buku-buku. Banyak buku karangan ilmuan muslim yang musnah akibat invasi bangsa Mongol dan terusirnya kaum muslim dari Spanyol. Ia juga menekankan manfaatnya bagi kaum muslim: harga buku lebih murah dan buku lebih cepat tersebar, sehingga lebih banyak dibaca dan dipelajari oleh kaum muslim.
Secara umum, pencetakan dan penerbitan buku-buku Islam di wilayah Islam yang penting, seperti Turki dan Iran, dengan bahasa kaum muslim yang utama (Arab, Persia dan Turki), baru mulai berkembang pada pertengahan kedua abad ke-19. Ketika pada mulanya diizinkan, pencetakan dan penerbitan buku di dunia Islam sepenuhnya dikontrol oleh penguasa Islam dan ulama. Sultan Usmani menentukan buku-buku apa saja yang boleh dicetak dan diedarkan. Namun, buku-buku seperti tafsir Al-Qur’an dan kitab hadis masih belum boleh dicetak dan diedarkan.
NB: Dulu buku diperbanyak dengan cara disalin. Warraq, juru salin buku asli. Karena dulu belum ada mesin cetak, maka buku hanya diperbanyak lewat penyalinan berulang-ulang. Hal ini menyebabkan harga buku mahal dan hanya orang atau lembaga tertentu yang mampu mengkoleksi buku dalam sebuah perpustakaan.
Sejarah penerbitan Islam
http.pustakakita.wordpress.com
Yang dimaksud dengan penerbitan Islam adalah pencetakan dan peredaran buku-buku oleh kaum muslim yang bertemakan Islam. Pencetakan dan peredaran buku-buku ini sendiri merupakan salah satu jenis usaha yang terlambat perkembangannya di dunia Islam. Salah satu alasannya adalah keberatan para penguasa dan ulama terhadap hal ini. Ibrahim Muteferrika, seorang pelopor usaha percetakan dan penerbitan buku di Timur Tengah, menghabiskan waktu lebih dari satu dekade untuk meyakinkan penguasa Dinasti Usmani dan para ulama bahwa usaha ini bukanlah sesuatu yang membahayakan bagi kebudayaan dan peradaban Islam. Ibrahim menegaskan bahwa Dinasti Usmani dan kaum muslim pada umumnya akan memperoleh banyak manfaat dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan buku-buku mengenai keislaman ini.
Dalam pembelaannya terhadap usaha pencetakan dan peredaran buku-buku Islam, Ibrahim Muteferrika menyatakan bahwa kaum muslim lebih unggul dibanding kaum Nasrani dan Yahudi dalam memelihara kitab suci, tetapi tidak dalam hal pemeliharaan buku-buku. Banyak buku karangan ilmuan muslim yang musnah akibat invasi bangsa Mongol dan terusirnya kaum muslim dari Spanyol. Ia juga menekankan manfaatnya bagi kaum muslim: harga buku lebih murah dan buku lebih cepat tersebar, sehingga lebih banyak dibaca dan dipelajari oleh kaum muslim.
Secara umum, pencetakan dan penerbitan buku-buku Islam di wilayah Islam yang penting, seperti Turki dan Iran, dengan bahasa kaum muslim yang utama (Arab, Persia dan Turki), baru mulai berkembang pada pertengahan kedua abad ke-19. Ketika pada mulanya diizinkan, pencetakan dan penerbitan buku di dunia Islam sepenuhnya dikontrol oleh penguasa Islam dan ulama. Sultan Usmani menentukan buku-buku apa saja yang boleh dicetak dan diedarkan. Namun, buku-buku seperti tafsir Al-Qur’an dan kitab hadis masih belum boleh dicetak dan diedarkan.
NB: Dulu buku diperbanyak dengan cara disalin. Warraq, juru salin buku asli. Karena dulu belum ada mesin cetak, maka buku hanya diperbanyak lewat penyalinan berulang-ulang. Hal ini menyebabkan harga buku mahal dan hanya orang atau lembaga tertentu yang mampu mengkoleksi buku dalam sebuah perpustakaan.

dari : http.pustakakita.wordpress.com

Hukum bestsller di Indonesia

BERDASAR TULISAN Ajip Rosidi pada Prisma April 1979 istilah 'bestseller' di Indonesia betul-betul mulai memperlihatkan wujud ketika novel seperti Karmila (Marga T.) dan Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar) terbit. Karmila dalam lima tahun sudah cetak ulang sembilan kali, dengan tiras 5.000 kopi sekali cetak; jadi pada 1979 kira-kira sudah terjual 45.000 kopi---sementara Kugapai Cintamu enam kali cetak ulang. Sebelumnya, sekitar 1968, istilah bestseller baru mulai digunakan untuk menyebut buku yang dinilai amat laris dalam waktu singkat, terutama untuk novel-novel karya Motinggo Boesje; tapi ternyata sekali cetak kira-kira 2.000 - 3.000 kopi.

Lebih dari seperempat abad kemudian (2006), kita menyaksikan ternyata industri penerbitan di Indonesia hanya melonjak sedikit saja. Pada Juli 2005, The Jakarta Post menurunkan rangkaian laporan khusus tentang fenomena chick lit dan teen lit. Saat itu, juara bestseller-nya adalah Fairish (Esti Kinasih), terjual kira-kira 66.000 kopi. Pada koran itu Hetih Rusli---seorang editor di PT GPU---menyatakan sebuah novel bestseller rata-rata laku 1.000 kopi per bulan. Bila kondisinya istimewa, misalnya buku tersebut difilmkan atau dijadikan serial televisi, pejualannya bisa naik jadi 5.000 kopi per bulan. Bila dikira-kira, sambil dipengaruhi berbagai faktor, pada Maret 2006 ini mungkin Fairish sudah terjual 100.000 kopi.

Ada fakta lebih dahsyat lagi. Menurut harian Republika (26/2/2006), buku ESQ dan ESQ Power (Ary Ginanjar) terjual 300.000 kopi. Atas kesungguhan dan dedikasi mengubah moralitas bangsa demi membangun masa depan yang lebih baik, Ary terpilih sebagai favorit Tokoh Perubahan 2005 versi harian Republika. Kita bisa mengira-ngira, pembeli terbesar buku itu adalah peserta training ESQ yang dia kembangkan; saat ini sudah tercatat 140.000 orang mengikuti training itu, 18.000 di antaranya guru.

Tentu saja ada peningkatan dari data 1979 dan 2005/6 itu, tapi silakan bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Menurut sensus penduduk 2000, penduduk Indonesia kira-kira berjumlah lebih dari 206 juta jiwa. Dilihat dari sana, terasa bahwa daya beli buku masyarakat Indonesia ternyata biasa-biasa saja.

DENGAN BERBAGAI kecanggihan, konsumerisme, serta pengaruh budaya pop yang melanda masyarakatnya, Indonesia ternyata masih gagal menciptakan buku bestseller yang terjual satu juta kopi. Kondisi ini membuat sebagian orang dengan tegas bilang, penyebabnya ialah karena budaya baca bangsa Indonesia masih amat rendah, ditambah kita masih merupakan masyarakat berbudaya lisan. Saya berseberangan dengan pendapat itu. Saya lebih yakin bahwa budaya baca bangsa Indonesia sudah tinggi, tapi berdaya beli buku amat rendah. Buku dan berbagai bacaan lain pasti masuk dalam urutan terakhir daftar belanja sebagian masyarakat kita, kalau perlu diabaikan atau berusaha dapat gratisan saja. Sebagian golongan masyarakat Indonesia yang telah mapan berbudaya baca menunjukkan bahwa budaya baca kita cukup bagus. Perhatikan koran. Katakanlah koran Indonesia sekarang jumlah halamannya rata-rata 24; tampaknya boleh percaya diri dinyatakan bila seseorang mampu baca 12 halaman per hari saja, itu sudah termasuk banyak. Belum ditambah baca e-mail, baca berita di web,
cari informasi ketika browsing, baca SMS, dan akhirnya baca buku. Tingkat melek huruf masyarakat
Indonesia pada 1995 sudah mencapai 84 %, untuk sebuah negara berkembang, ini cukup menggembirakan. Yang harusnya jadi prioritas dipecahkan dan dipikirkan ialah cara meningkatkan daya beli buku, produktivitas cetakan, termasuk meningkatkan pendapatan.

Berdasar berita dan pengakuan sejumlah pelaku bisnis penerbitan, sekarang ini (2006) penerbit Indonesia rata-rata mencetak 3.000 kopi per judul---jumlah ini melahirkan istilah yang dipopulerkan oleh Richard Oh sebagai 'melawan kutukan 3.000 eksemplar.' Bila yakin atau ada jaminan pembelian, penerbit berani cetak antara 5.000 - 10.000. Bagi penerbit kecil, standar 3.000 kopi ternyata sangat sulit dipenuhi. Mereka hanya berani atau mampu mencetak antara 1.000 hingga 1.500 kopi per judul. Penerbit kecil butuh dua generasi agar bukunya bisa lepas dari 'kutukan 3.000 eksemplar', dengan jaminan judul tersebut laku, tidak menumpuk di gudang atau toko buku.
Tapi karena persaingan sangat ketat, sekadar mejeng di toko buku pun sekarang amat sulit bagi sebuah buku. Begitu dalam seminggu tak laku, mereka dipaksa lagi masuk kardus, biar dijemput majikan, kalau tidak diretur---dinamai 'gatot', singkatan gagal total. Jangan heran ada banyak judul yang gagal laku setelah dua tahun terbit, meski hanya dicetak 1.500 kopi. Mereka tidak saja karatan di rak-rak, tapi lumpuh dan nanti harus tahan berjubel di gudang, siap dikencingi tikus atau kecoak, sebelum entah kapan akhirnya dikilo oleh pemiliknya.

Sebuah judul bisa dikatakan sehat bila terjual rata-rata 200 kopi per bulan; dengan begitu dalam satu tahun penjualan kira-kira terjual 2.400 kopi. Kondisi ini tentu menyedihkan sekali. Padahal sebagian buku, misalnya terbitan sendiri, hanya dicetak 500 kopi. Jadi bila ada buku dicetak berkali-kali, kita harus tahu berapa kopi setiap naik cetak; bila antara 1.000 - 1.500 kopi, kondisinya ternyata masih persis lebih dari seperempat abad lalu. Ini mengerikan. Lebih mengerikan lagi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang ini.

Kita juga masih kesulitan mengetahui data akurat tentang kondisi bestseller Indonesia, hanya media tertentu yang mampu menghimpun data dari berbagai toko buku dan konsisten menyajikan per bulan, antara lain Kompas dan Matabaca, minus rincian jumlah. Bila memperhatikan berbagai versi bestseller di luar negeri, ketahuan kita belum punya standar. Bestseller versi The New York Times, yang oleh kalangan penerbit diakui paling terkemuka, mencantumkan daftar berdasar rata-rata penjualan pada survey sejumlah toko buku dan distributor buku pilihan, bukan total jumlah penjualan. Pada 1982---yakni 24 tahun lalu---toko buku yang disurvey ada 2.000, ditambah 40.000 outlet masing-masing distributor. Normalnya daftar The New York Times mensyaratkan sebuah buku hardcover harus terjual paling sedikit 70.000 kopi dalam waktu relatif singkat; jumlah edisi paperback lebih mencengangkan lagi.

Kondisi ini belum terbayang akan terjadi di Indonesia, sama sekali. Entah harus berapa generasi atau menolak dengan jampi-jampi apa agar industri buku kita bisa lepas dari ‘kutukan’ ini. Kondisi ini jelas mengisyarakatkan agar seluruh stakeholder industri perbukuan bersama-sama berupaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja, baik dari segi kualitas terbitan, produktivitas, promosi, pemasaran dan penjualan, termasuk mempersuasi masyarakat lebih giat belanja buku.[] Jumat, 24
Maret 2006 4:57:00

END NOTE: Ada sejumlah hal lain yang sebenarnya menarik digali untuk mengetahui lebih akurat kondisi bestseller di Indonesia. Misalnya fenomena FLP; sebagai organisasi, tampak FLP berhasil menciptakan trend dan pangsa pasar sendiri, contohnya buku Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy), yang terpilih sebagai novel terbaik FLP dan Islamic Book Center 2006. Lebih dari itu, buku itu terjual lebih dari 70.000 eksemplar. Bagaimana cara menciptakan sebuah bestseller? Apa penyebab paling utama buku jadi bestseller? Apa karena kebetulan atau betul-betul didukung promosi dan pemasaran yang tepat? Di sini masukan berbagai kalangan berharga.

ditulis oleh
>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348
HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com