Jumat, 16 Mei 2008

Hukum bestsller di Indonesia

BERDASAR TULISAN Ajip Rosidi pada Prisma April 1979 istilah 'bestseller' di Indonesia betul-betul mulai memperlihatkan wujud ketika novel seperti Karmila (Marga T.) dan Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar) terbit. Karmila dalam lima tahun sudah cetak ulang sembilan kali, dengan tiras 5.000 kopi sekali cetak; jadi pada 1979 kira-kira sudah terjual 45.000 kopi---sementara Kugapai Cintamu enam kali cetak ulang. Sebelumnya, sekitar 1968, istilah bestseller baru mulai digunakan untuk menyebut buku yang dinilai amat laris dalam waktu singkat, terutama untuk novel-novel karya Motinggo Boesje; tapi ternyata sekali cetak kira-kira 2.000 - 3.000 kopi.

Lebih dari seperempat abad kemudian (2006), kita menyaksikan ternyata industri penerbitan di Indonesia hanya melonjak sedikit saja. Pada Juli 2005, The Jakarta Post menurunkan rangkaian laporan khusus tentang fenomena chick lit dan teen lit. Saat itu, juara bestseller-nya adalah Fairish (Esti Kinasih), terjual kira-kira 66.000 kopi. Pada koran itu Hetih Rusli---seorang editor di PT GPU---menyatakan sebuah novel bestseller rata-rata laku 1.000 kopi per bulan. Bila kondisinya istimewa, misalnya buku tersebut difilmkan atau dijadikan serial televisi, pejualannya bisa naik jadi 5.000 kopi per bulan. Bila dikira-kira, sambil dipengaruhi berbagai faktor, pada Maret 2006 ini mungkin Fairish sudah terjual 100.000 kopi.

Ada fakta lebih dahsyat lagi. Menurut harian Republika (26/2/2006), buku ESQ dan ESQ Power (Ary Ginanjar) terjual 300.000 kopi. Atas kesungguhan dan dedikasi mengubah moralitas bangsa demi membangun masa depan yang lebih baik, Ary terpilih sebagai favorit Tokoh Perubahan 2005 versi harian Republika. Kita bisa mengira-ngira, pembeli terbesar buku itu adalah peserta training ESQ yang dia kembangkan; saat ini sudah tercatat 140.000 orang mengikuti training itu, 18.000 di antaranya guru.

Tentu saja ada peningkatan dari data 1979 dan 2005/6 itu, tapi silakan bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Menurut sensus penduduk 2000, penduduk Indonesia kira-kira berjumlah lebih dari 206 juta jiwa. Dilihat dari sana, terasa bahwa daya beli buku masyarakat Indonesia ternyata biasa-biasa saja.

DENGAN BERBAGAI kecanggihan, konsumerisme, serta pengaruh budaya pop yang melanda masyarakatnya, Indonesia ternyata masih gagal menciptakan buku bestseller yang terjual satu juta kopi. Kondisi ini membuat sebagian orang dengan tegas bilang, penyebabnya ialah karena budaya baca bangsa Indonesia masih amat rendah, ditambah kita masih merupakan masyarakat berbudaya lisan. Saya berseberangan dengan pendapat itu. Saya lebih yakin bahwa budaya baca bangsa Indonesia sudah tinggi, tapi berdaya beli buku amat rendah. Buku dan berbagai bacaan lain pasti masuk dalam urutan terakhir daftar belanja sebagian masyarakat kita, kalau perlu diabaikan atau berusaha dapat gratisan saja. Sebagian golongan masyarakat Indonesia yang telah mapan berbudaya baca menunjukkan bahwa budaya baca kita cukup bagus. Perhatikan koran. Katakanlah koran Indonesia sekarang jumlah halamannya rata-rata 24; tampaknya boleh percaya diri dinyatakan bila seseorang mampu baca 12 halaman per hari saja, itu sudah termasuk banyak. Belum ditambah baca e-mail, baca berita di web,
cari informasi ketika browsing, baca SMS, dan akhirnya baca buku. Tingkat melek huruf masyarakat
Indonesia pada 1995 sudah mencapai 84 %, untuk sebuah negara berkembang, ini cukup menggembirakan. Yang harusnya jadi prioritas dipecahkan dan dipikirkan ialah cara meningkatkan daya beli buku, produktivitas cetakan, termasuk meningkatkan pendapatan.

Berdasar berita dan pengakuan sejumlah pelaku bisnis penerbitan, sekarang ini (2006) penerbit Indonesia rata-rata mencetak 3.000 kopi per judul---jumlah ini melahirkan istilah yang dipopulerkan oleh Richard Oh sebagai 'melawan kutukan 3.000 eksemplar.' Bila yakin atau ada jaminan pembelian, penerbit berani cetak antara 5.000 - 10.000. Bagi penerbit kecil, standar 3.000 kopi ternyata sangat sulit dipenuhi. Mereka hanya berani atau mampu mencetak antara 1.000 hingga 1.500 kopi per judul. Penerbit kecil butuh dua generasi agar bukunya bisa lepas dari 'kutukan 3.000 eksemplar', dengan jaminan judul tersebut laku, tidak menumpuk di gudang atau toko buku.
Tapi karena persaingan sangat ketat, sekadar mejeng di toko buku pun sekarang amat sulit bagi sebuah buku. Begitu dalam seminggu tak laku, mereka dipaksa lagi masuk kardus, biar dijemput majikan, kalau tidak diretur---dinamai 'gatot', singkatan gagal total. Jangan heran ada banyak judul yang gagal laku setelah dua tahun terbit, meski hanya dicetak 1.500 kopi. Mereka tidak saja karatan di rak-rak, tapi lumpuh dan nanti harus tahan berjubel di gudang, siap dikencingi tikus atau kecoak, sebelum entah kapan akhirnya dikilo oleh pemiliknya.

Sebuah judul bisa dikatakan sehat bila terjual rata-rata 200 kopi per bulan; dengan begitu dalam satu tahun penjualan kira-kira terjual 2.400 kopi. Kondisi ini tentu menyedihkan sekali. Padahal sebagian buku, misalnya terbitan sendiri, hanya dicetak 500 kopi. Jadi bila ada buku dicetak berkali-kali, kita harus tahu berapa kopi setiap naik cetak; bila antara 1.000 - 1.500 kopi, kondisinya ternyata masih persis lebih dari seperempat abad lalu. Ini mengerikan. Lebih mengerikan lagi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang ini.

Kita juga masih kesulitan mengetahui data akurat tentang kondisi bestseller Indonesia, hanya media tertentu yang mampu menghimpun data dari berbagai toko buku dan konsisten menyajikan per bulan, antara lain Kompas dan Matabaca, minus rincian jumlah. Bila memperhatikan berbagai versi bestseller di luar negeri, ketahuan kita belum punya standar. Bestseller versi The New York Times, yang oleh kalangan penerbit diakui paling terkemuka, mencantumkan daftar berdasar rata-rata penjualan pada survey sejumlah toko buku dan distributor buku pilihan, bukan total jumlah penjualan. Pada 1982---yakni 24 tahun lalu---toko buku yang disurvey ada 2.000, ditambah 40.000 outlet masing-masing distributor. Normalnya daftar The New York Times mensyaratkan sebuah buku hardcover harus terjual paling sedikit 70.000 kopi dalam waktu relatif singkat; jumlah edisi paperback lebih mencengangkan lagi.

Kondisi ini belum terbayang akan terjadi di Indonesia, sama sekali. Entah harus berapa generasi atau menolak dengan jampi-jampi apa agar industri buku kita bisa lepas dari ‘kutukan’ ini. Kondisi ini jelas mengisyarakatkan agar seluruh stakeholder industri perbukuan bersama-sama berupaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja, baik dari segi kualitas terbitan, produktivitas, promosi, pemasaran dan penjualan, termasuk mempersuasi masyarakat lebih giat belanja buku.[] Jumat, 24
Maret 2006 4:57:00

END NOTE: Ada sejumlah hal lain yang sebenarnya menarik digali untuk mengetahui lebih akurat kondisi bestseller di Indonesia. Misalnya fenomena FLP; sebagai organisasi, tampak FLP berhasil menciptakan trend dan pangsa pasar sendiri, contohnya buku Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy), yang terpilih sebagai novel terbaik FLP dan Islamic Book Center 2006. Lebih dari itu, buku itu terjual lebih dari 70.000 eksemplar. Bagaimana cara menciptakan sebuah bestseller? Apa penyebab paling utama buku jadi bestseller? Apa karena kebetulan atau betul-betul didukung promosi dan pemasaran yang tepat? Di sini masukan berbagai kalangan berharga.

ditulis oleh
>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348
HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com

Tidak ada komentar: