Jumat, 24 Oktober 2008

Peluang di Balik, Program Pendidikan Anak usia Dini (PAUD)


Latar Belakang
Tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemuanya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.
Sedangkan Depdiknas dalam buku Pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2007 menggambarkan bahwa Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya pada tahun 2004 adalah 39,09% maka pada tahun 2006 sudah mencapai 45,63% dengan target capaian pada tahun 2007 sebesar 48,07%, sudah barang tentu ini merupakan sebuah hal yang menggembirakan bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Kemudian disebutkan bahwa agenda-agenda yang akan dicapai pada tahun 2009 seperti pencapaian APK PAUD usia 2 – 6 tahun sebesar 53,90%. Akan tetapi perlu dikritisi untuk pencapaian 53,90% atau sekitar 10,05 juta orang kualitas dari layanan yang diberikan, bukan kepada kuantitas. Ini menjadi amat penting karena begitu dasarnya PAUD itu bagi seorang manusia dalam kehidupannya yang akan datang.
Pemerintah pada tahun 2001 telah mendirikan Direktorat khusus bagi PAUD yaitu Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (sekarang disebut Ditjen PNFI), Direktorat yang bertugas untuk melayani PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Ini disebabkan karena sebelumnya untuk layanan yang diberikan kepada anak usia dini baru pada usia 4 – 6 tahun melalui pendidikan formal yaitu TK, sedangkan melalui jalur pendidikan nonformal dan informal msih belum ada. Pendidikan formal pada tahun 2000 hanya mampu menyerap 12,65% dari total usia tersebut dengan Guru TK hanya sebanyak 95.000 orang untuk memberikan pelayanan 1,6 juta anak usia dini. Sedangkan untuk sisa 0 – 4 tahun masih belum terlayani, oleh karena itu maka Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan Direktorat PADU (saat ini disebut Dit. PAUD) yang bertugas untuk melayani anak usia dini yang berumur 0 – 4 tahun.
Perlu diingat, setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapat membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa ini .

Bentuk Pendidikan anak
Bentuk dari pendidikan PAUD ini adalah, seperti Play Group untuk anak usia 0 – 6 tahun. Ada yang formal didirikan oleh pemerintah, dan ada juga didasarkan pada swadaya masyarakat. Diharapkan pada setiap kampung di seluruh Indonesia ada PAUD nya.

Realisasi Program
Menurut data direktur PAUD Diknas, pada tahun 2007 Layanan PAUD secara formal dan nonformal, telah menjangkau 13 juta lebih dari 28 juta anak usia dini di seluruh wilayah Indonesia. Untuk anak usia 0-4 tahun berjumlah 20,5 juta. Anggaran PAUD juga terus ditingkatkan dari Rp 221 miliar pada tahun lalu, tahun 2008 naik dua kali lipat. Tahun 2015 layanan PAUD diusahakan bisa mencapai 75 persen semua anak usia dini .

Potensi anggaran
Anggaran untuk pelaksanaan PAUD berasal dari APBN, APBD dan swadaya masyarakat, berikut ini contoh anggaran PAUD dibeberapa daerah:

Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau pada tahun 2007, terdapat 100-an desa yang telah ada PAUDnya, anggaran per masing-masing desa sebesar Rp. 160 juta pertahun .

Tahun 2007, dana PAUD Propinsi Riau sebesar Rp. 2.373 juta (2,3 M), tahun 2008 menjadi Rp. 2.486 juta (2,4 M), meningkat 4,56%

Tahun 2008, di Kabupaten Lamongan mendapat alokasi dana cukup besar dari APBD, yakni mencapai Rp 4,187 miliar. Alokasi dana tersebut untuk pendidikan anak usia dini (PAUD)/play group dan taman kanak-kanak (TK)/raudlatul Athfal (RA) .

Alokasi anggaran untuk PAUD dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, terus meningkat dari tahun ketahun, tahun 2003 total sebesar Rp. 475 juta, tahun 2007, melonjak sekitar 15 miliar. Ini diluar anggaran pemerintah propinsi yang besarnya 1,14 miliar.

Melihat manfaat yang begitu besar program pendidikan anak usia dini (PAUD), pemerintah akan memperluas cakupan program PAUD hingga meliputi 3.000 desa miskin di seluruh Indonesia. Program dengan alokasi dana 127,74 juta dolar AS dana berasal dari pinjaman lunak bank dunia, hibah kerajaan belanda, dan APBN, diperuntukkan bagi 783 ribu anak usia 0-6 tahun .

Pada 2006, PAUD memperoleh anggaran Rp 135 miliar ditambah Rp 9 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Menurut Direktur PAUD, Gutama, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan meningkatkan akses PAUD secara maksimal. Pada 2007, sudah dipastikan PAUD akan memperoleh anggaran Rp 199 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, akan dipergunakan untuk sosialisasi serta peningkatan dana rintisan dan kelembagaan

Anggaran yang digelontorkan untuk PAUD nonformal juga terus meningkat. Pada tahun 2007 misalnya total anggaran untuk PAUD mencapai Rp221 miliar, dan meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp430 miliar.

Alokasi anggaran Untuk pembelian Buku
Tentunya dana sekitar 430 miliar tersebut, sebagiannya akan di belanjakan untuk alat bantu pendidikan seperti alat peraga dan buku-buku, walaupun belum diketahui dengan pasti berapa besarnya dana yang dialokasikan untuk pembelian buku, namun ini merupakan potensi yang besar sekali untuk dimasuki para penerbit buku.

Peluang
Program pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas SDM tersebut, disertai dengan anggaran yang sangat besar sekali, dalam proses pendidikannya, sehingga paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan program ini seharusnya dioptimalkan pemamfaatan peluangnya oleh penerbit, yaitu:
1. Total anggaran untuk PAUD tahun 2008, sebesar Rp.430M
2. Pemerintah SBY mempunyai komitment yang kuat bahwa tahun 2009 nanti dana anggaran untuk pendidikan nasional harus 20%, ini berarti besaran anggaran yang akan diaalokasikan untuk PAUD, akan terus meningkat
3. saat yang sama pasar buku non anak sedang tertekan, akibat dampak dari kenaikan BBM dan Krisis financial, namun kebutuhan anak-anak tetap akan meningkat dan menjadi prioritas pengeluaran keluarga.

Pemain Pengadaan Buku untuk PAUD
1. Penerbit Dar Mizan
2. Penerbit As Syamil
3. Penerbit Zikrul Hakim
4. Penerbit Bumi Aksara Kids
5. Penrbit Erlangga
6. Indiva, Surakarta
7. dll

Trik Penerbit yang sekarang ikut menawarkan produk
Saya mendapatkan informasi, bahwa ada penerbit yang hanya membikin Dummy, dummy tersebut, ditawarkan kepada bagian pengadaan pemda, setelah mendapat kejelasan buku tersebut masuk dalam proyek pengadaan, baru di cetak secara massal.

Apa yang harus dilakukan Penerbit
1. Buat kesepakatan apakah penerbit mau juga berburu potensi dana tersebut
2. bentuk tim pembentukan imprint anak
3. cari 1 orang SDM yang berpengalaman untuk membuat produk-produk buku-buku PAUD
4. SDM tersebut langsung bertanggung jawab ke Direktur
5. Pemasaran memamfaatkan jalur yang sudah ada, ditambah tim proyek

Jalur Distribusi
Saluran distribusi yang bisa digunakan adalah jalur distribusi konvensional, seperti toko-toko retail, toko-toko buku lainnya, namun perlu juga di cari informasi tentang tim yang biasa memasukkan proyek ke pemerintah.

Penutup
Demikianlah, peluang yang mungkin bisa diambil oleh perusahaan penerbit, ikut berkontribusi dalam mensukseskan PAUD ini. Semoga bermamfaat.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran buku Islam

Senin, 20 Oktober 2008

Ketika Penerbit menanti Ajal


Dunia Buku:
Akibat krisis moneter sebagian besar penerbit buku merasa kewalahan,
bahkan ada yang berhenti berproduksi. Tanda-tanda akhir zaman bagi
dunia perbukuan di Indonesia?

Krisis ekonomi yang tengah melanda bangsa Indonesia dalam beberapa
bulan terakhir ini benar-benar sudah merasuk ke segala sektor
kehidupan. Tidak terkecuali juga dunia perbukuan. Banyak penerbit buku
nasional sekarang ini kelimpungan dibuatnya. Omzet penjualan buku
mereka turun secara drastis. Bahkan tidak sedikit penerbit buku yang
terpaksa gulung tikar dan berhenti berproduksi.

Omzet Turun.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rozali Usman
mengungkapkan, industri perbukuan di Indonesia kini menghadapi tiga
dampak utama akibat krisis moneter. Pertama, hanya 200 dari 400
anggota Ikapi yang masih aktif. Dari jumlah itu, kini 50% sudah tak
berproduksi lagi. Akibatnya, tentu saja rasionalisasi karyawan tidak
terhindarkan lagi. Kini sebagian besar editor lapangan sudah
"dirumahkan", di samping karyawan lainnya. Dan dampak susulannya,
penerbit yang memutuskan mencetak ulang buku terbitannya, terpaksa
menaikkan harga sekitar 30%. "Ini jelas tidak kondusif. Dan secara
keseluruhan dampak krisis ekonomi ini sudah menurunkan omzet industri
perbukuan nasional sekitar 50%-75%," kata Rozali.

Kondisi tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh penerbit-penerbit
buku kecil saja, tapi juga dirasakan penerbit yang sudah besar dan
terkenal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, misalnya, merasakan
betul adanya penurunan omzet penjualan buku-buku produknya. "Secara
kuantitas penurunannya mencapai sekitar 10%," kata M. Boedi
Yogipranata, manajer Toko Buku Gramedia Matraman kepada Panji. Namun
dalam situasi krisis ini, untuk selama tiga bulan (Februari, Maret,
sampai April ini), Gramedia masih tetap menerbitkan buku-bukunya meski
dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dalam situasi normal.

Hal yang sama juga dirasakan oleh PT Pustaka Sinar Harapan. Menurut
direktur utamanya, Aristides Katoppo, sebelum krisis moneter
berlangsung, penerbit buku yang cukup besar ini bisa memproduksi satu
buku dalam satu minggu. Tapi dalam kondisi sekarang ini, mereka hanya
memproduksi satu buku dalam satu bulan. Itu pun dilakukan karena
komitmen masa lalu agar tetap survive menghadapi gejolak ekonomi.
"Kami harus terus berupaya bertahan dengan melakukan berbagai jurus
untuk menghadapi krisis yang berat ini," katanya.

Penerbit Mizan, Bandung, mengalami problem serupa. Tingkat penjualan
buku yang dihasilkan oleh penerbit ini sekarang sangat merosot
mencapai 75%. Menurut Hernowo, salah seorang direktur di penerbit itu,
kalau dulu dalam sebulan Mizan bisa menerbitkan 4-5 buku, maka
sekarang hanya satu judul buku saja. "Jadi sekarang ini kami mesti
mengerem juga. Misalnya, seharusnya bisa terbit enam buku dalam
Januari-Februari ini, kita mungkin hanya dua buku yang terbit. Dua
buku per bulan, itu sudah bagus betul," katanya kepada Panji.

Kalau penerbit-penerbit seperti Gramedia, Sinar Harapan, Mizan, atau
penerbit buku lain yang sudah besar dan terkenal saja seperti itu,
apalagi yang masih berskala kecil. Kondisinya tentu lebih parah dan
mengenaskan. Menurut Sekjen Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid,
berdasarkan laporan, sejumlah penerbit di daerah sudah tidak melakukan
lagi aktivitasnya. Di Jawa Timur, misalnya, 90% penerbit di sana sudah
berhenti berproduksi, sedangkan di Jawa Tengah 50% penerbitnya sudah
kolaps. Sementara di Jawa Barat kondisinya tidak jauh berbeda.
"Beberapa penerbit untuk sementara terpaksa menghentikan produksinya
hingga keadaan stabil kembali," kata ketua Ikapi Jabar Aan Soenandar.

Nah, yang menjadi biang keladi atau penyebab utama munculnya semua itu
apalagi kalau bukan naiknya harga kertas yang makin menggila: mencapai
300%. Dan itu kemudian berpengaruh juga pada naiknya harga
barang-barang komponen produksi buku lainnya, seperti tinta, pelat,
film, dan sebagainya. Kenaikan harga kertas ini terasa ironis karena
faktanya kita memiliki 74 pabrik kertas dengan kapasitas produksi 7,2
juta ton per tahun. Kita juga punya 17 pabrik pulp (bubur kertas) yang
merupakan bahan baku utama kertas dengan kapasitas produksi sebesar
4,3 juta ton per tahun. Lantas di mana masalahnya sehingga harga
kertas demikian terguncang akibat krisis moneter ini (lihat, Menanti
Panen HTI).

Komponen biaya untuk kertas memang menempati porsi yang sangat besar
pada keseluruhan biaya produksi buku. "Angkanya bisa mencapai
40%-60%," kata Hernowo dari Mizan. Jadi wajar bila perubahan harga
pada kertas yang mencapai 300% itu mempunyai pengaruh signifikan pada
harga buku. "Perubahan harga kertas sekarang ini membuat kami terpaksa
menaikkan harga buku sampai 30%," ungkap Rozali Usman, ketua umum DPP
Ikapi.

Berbagai Kiat.
Memang, untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, banyak
cara yang diambil oleh tiap-tiap penerbit buku. Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, misalnya, selain mengurangi jumlah produksi bukunya, terpaksa
harus menyetop alias tidak memperpanjang lagi kontrak tenaga kerja.
"Mulai bulan ini, kami terpaksa melakukan rasionalisasi terhadap 30%
tenaga kerja yang masih terikat kontrak. Perusahaan hanya mampu
membayar gaji karyawan paling hingga bulan April atau Mei mendatang,"
kata Aristides Katoppo.

Mengurangi jumlah produksi buku dan penghematan kemasannya juga
dilakukan oleh Sinar Harapan, Gramedia, dan Mizan. Menurut Adi Hendro,
salah seorang staf produksi buku di Gramedia, selain mengurangi jumlah
produknya, penerbitnya itu juga agak selektif dalam mengemas buku.
"Kalau dulu dengan format yang lebar kini lebih kecil. Warna cover
buku yang dulu dengan hot bann, kini dengan hot print," katanya.

Pemilihan tema buku secara selektif, juga dilakukan Mizan. Menurut
Hernowo, selain mengurangi jumlah produksi buku, kami juga harus
memilih secara selektif buku-buku yang akan diterbitkan. "Kalau
kira-kira buku itu akan diminati pasar, akan kami terbitkan. Kalau
tidak, meski naskah sudah siap, akan kami tunda penerbitannya,"
katanya. Dan menurutnya, di antara buku yang sudah siap namun terpaksa
ditunda penerbitannya adalah karya Dr. Jalaluddin Rahmat berjudul
Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer.

Jalan paling lumrah yang dipilih oleh berbagai penerbit buku adalah
dengan menaikkan harga. "Ini merupakan cara yang paling masuk akal dan
tak bisa dielakkan, sejalan dengan naiknya harga-harga barang lain
termasuk sembilan bahan pokok (sembako)," kata Abbas al-Jauhari, staf
editor penerbit Rajawali Pers kepada Panji. Memang, jalan itu tidak
dapat dielakkan. Toh, hampir semua penerbit buku sekarang ini sudah
melakukan hal itu.

Bersaing dengan Sembako.
Namun jalan itu bukan tanpa persoalan, terutama jika dikaitkan dengan
minat dan kemampuan daya beli masyarakat akan buku dalam situasi
krisis sekarang ini. "Jangankan untuk beli buku, untuk beli sembako
pun sulitnya bukan main," kata Ibu Aminah Suhaemi kepada Panji. Dengar
juga pendapat Dimas, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Kepada Panji,
dia mengeluh soal mahalnya harga buku-buku kedokteran yang wajib dia
gunakan dalam kuliah. "Sebelum krisis harganya hanya Rp200.000, tapi
sekarang sudah naik empat kali lipat: Rp800.000! Mau dikopi, selain
hasilnya jelek, harganya pun jauh lebih mahal," keluhnya miris.

Memang, tingginya harga buku di Indonesia sudah menjadi keluhan klasik
di kalangan masyarakat pembaca, apalagi dalam masa krisis seperti
sekarang ini. Karenanya, tak heran jika toko-toko buku besar seperti
Gramedia dan Gunung Agung di Jakarta terlihat sepi dan lengang.
Menurut pantauan Panji di Gramedia Mal Pondok Indah, Sabtu pekan lalu,
misalnya, tampak hanya 10 pengunjung yang datang. Itu pun hanya untuk
melihat-lihat dan membaca-baca buku di tempat. Ada yang membeli,
memang, tapi yang dibeli itu bukan buku melainkan kartu ulang tahun!

Sungguh memprihatinkan kondisi dunia perbukuan di Indonesia sekarang
ini. Ibaratnya, sudah jatuh (karena krisis moneter dan naiknya harga
kertas) tertimpa tangga pula (siapa yang mau beli?). Lagi pula,
bukankah masyarakat Indonesia sudah lama terkenal rendah minat
bacanya? Lalu, jika persoalan ini dikaitkan dengan proses pendidikan
dan pencerdasan kehidupan bangsa, bagaimana masa depan generasi muda
Indonesia selanjutnya?

Menurut pengamat pendidikan Prof. Dr. Bun Yamin Ramto, kita memang
tengah menghadapi masa-masa yang teramat sulit. Dalam soal kualitas
perbukuan, secara umum harus diakui bahwa bangsa kita makin merosot.
Jika kondisi perbukuan yang tengah dilanda krisis ini terus berlanjut,
itu akan berpengaruh pada persoalan pendidikan dan proses pencerdasan
bangsa (lihat, Generasi Tanpa Jendela). "Bacaan atau buku adalah alat
kebutuhan pokok masyarakat. Kita harus camkan betul-betul: kalau kita
mau maju, tidak bisa tanpa bahan bacaan. Jepang maju karena bacaan,
Cina maju karena bacaan, Amerika maju karena bacaan," kata Rektor ISTN
itu kepada Panji.

Untuk itu, Bun Yamin Ramto mengajak semua pihak, termasuk pemerintah,
untuk ikut memecahkan persoalan harga kertas ini demi memajukan dunia
perbukuan nasional, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. "Semua
pihak, termasuk pemerintah, berusaha bahwa buku itu harus diadakan
secara lebih banyak dan berkualitas. Dan agar masyarakat bisa membeli
dan memiliki buku, sebetulnya buku itu tidak harus dikemas secara
luks, biasa saja. Saya juga anjurkan supaya pajak-pajak yang
menyangkut buku dihilangkan," katanya.

Usul tersebut juga didukung Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Dr. Ki
Supriyoko. Menurutnya, dalam situasi krisis sekarang ini, pemerintah
diharapkan ikut turun tangan membantu kondisi dilematis perbukuan
kita. "Misalnya dengan mengurangi biaya pajak yang harus dibayar oleh
setiap penerbit. Saya kira pemerintah dapat melakukan itu, seiring
dengan niatan pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan
masyarakat," tegasnya.

Sebetulnya, untuk menyelesaikan masalah perbukuan ini, kalangan
penerbit yang tergabung dalam Ikapi tidak hanya tinggal diam. Pada Mei
1997 lalu, misalnya, sebelum krisis moneter terjadi, mereka sudah
membuat rekomendasi berisi enam butir permohonan usulan kepada
pemerintah agar: (1) mendorong industri yang khusus memproduksi kertas
untuk buku; (2) mengontrol secara berkala dan berkelanjutan soal harga
kertas; (3) memberikan keringanan PPn; (4) memberikan keringanan PPN
terhadap penjualan buku, sehingga harganya dapat lebih terjangkau; (5)
mengimbau PT Pos Indonesia untuk menerapkan tarif khusus terhadap
pengiriman buku; dan (6) menurunkan PPH pengarang buku (sekitar
0%-2,5%). Sayangnya, menurut Rozali Usman, rekomendasi itu hingga kini
belum ditanggapi.

Mudah-mudahan dalam hearing Ikapi dengan Komisi VII DPR, yang tidak
lama lagi akan dilaksanakan, usulan itu bisa lebih cepat menuai hasil.
Dan mudah-mudahan pula, dilema yang dihadapi kalangan perbukuan
nasional ini cepat berakhir.

NASRULLAH ALIEF, DUDI RAHMAN, RIFWAN HENDRI, HASBUNAL M. ARIEF, DAN M. RIDWAN PANGKAPI
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/06/0195.html

Selasa, 14 Oktober 2008

Picu Minat Baca, Buku 'Dikawinkan' dengan Game


New York - Sebagian anak zaman sekarang kemungkinan bakal lebih memilih main game ketimbang membaca buku. Sebagai jalan tengah, program yang 'mengawinkan' buku dengan video game pun dikembangkan.

Penulis Amerika Serikat bernama PJ Haarsma misalnya, menulis novel untuk anak-anak yang dikombinasikan dengan video game. Anak-anak pun bisa asyik bermain game tanpa melupakan manfaat membaca buku.

Pasalnya, seperti dilansir New York Times dan dikutip detikINET, Rabu (14/10/2008), untuk memenangkan permainan game yang menampilkan setting cerita dari dalam buku, anak-anak harus mencari informasi tertentu dengan membaca novel tersebut.

Di lain pihak, penerbit buku kenamaan Random House juga sedang mengerjakan proyek serupa. Mereka mengandalkan buku karya Christopher Paolini berjudul 'Brisingr' yang dikombinasikan dengan game online. Sejauh ini, sudah ribuan orang berminat memainkan game tersebut di situs mereka.

Demikian juga dengan penerbit ternama lainnya, Scholastic, yang terkenal karena mempublikasikan fiksi populer Harry Potter di Amerika Serikat. Mereka menerbitkan seri kisah fiksi bernama 'The Maze of Bones' yang juga dilengkapi dengan game berbasis web.
http://www.detikinet.com/read/2008/10/15/102054/1020250/398/picu-minat-baca-buku-dikawinkan-dengan-game

Senin, 06 Oktober 2008

Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM)


Bulan Januari yang lalu saya diberi kesempatan oleh kantor saya untuk belanja naskah dan berkunjung ke pameran buku Internasional di Kairo, pameran ini merupakan salah satu pameran buku terbesar di dunia setelah pameran buku Internasional di Frankfurt, Jerman, yang biasanya di adakan bulan oktober setiap tahunnya. saya bertemu dengan teman lama yang sekarang ternyata juga membuat penerbitan buku Islam. Saat bincang-bincang tentang penerbitan, salah satunya kami terlibat diskusi seputar pemasaran buku. Sejak tahun 2002 Sehari-hari saya mengeluti dunia pemasaran buku Islam, akhirnya saya menawarkan diri untuk membantu memsupervisi jika penerbitan beliau punya masalah dalam tim pemasarannya.

Bincang-bincang tersebut, awalnya menguap seiring dengan sesampainya di tanah air saya juga disibukkan dengan pekerjaan dipenerbitan dan teman saya tersebut, juga sibuk, karena saat mendirikan penerbitan beliau juga sedang mengambil program doctoral di Libya. Nah hari ini 6 oktober 2008, saya dikontak lagi oleh teman tersebut menagih janji yang dulu sempat kita bincangkan di Kairo. Apa yang harus dilakukan untuk memperkuat tim marketing penerbitan buku Islam.

Terinspirasi dari hal tersebut, saya menuliskan pengamatan saya tentang suatu penerbit buku Islam, cukup besar di Jakarta, dengan omset penjualan 10 – 20 M per tahun, untuk menjaga etika terhadap penerbit tersebut ,selanjutnya penerbit ini kita sebut sebagai penerbit A.

Ada satu teori sederhana yang banyak digunakan dalam membuat suatu produk, yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM), dengan berbekal teori sederhana ini, saya mencoba memaparkan hasil pegamatan saya terhadap penerbit A dengan sistematika SWOT, dengan harapan untuk diambil pelajaran bagi penerbit A tersebut, bagi teman saya dan bagi banyak orang yang berminat mendirikan penerbitan atau orang-orang yang sekarang sedang bekerja di dunia penerbitan buku Islam.

Strenght (Kekuatan)
1. Terdapat lebih kurang 20-an buku best seller yang temanya dibutuhkan sepanjang waktu (long live cycle)
2. Jumlah produk yang aktif di cetak + 250 judul
3. Jaringan distribusi langsung yang di tangani dari pusat ada sekitar 350 toko (yang terdiri dari toko-toko buku Islam konvensional, TB Gramedia/Tri Media, TB Gunung Agung, TB Karisma, TB Utama/Book City, TB Tiga serangkai, TB Kurnia Agung, TB Semesta, dll).
4. Terdapat 5 – 8 judul buku baru perbulan
5. Karakter yang kuat sebagai penerbit yang terdepan memerangi faham liberal dan aliran sesat.
6. Back up financial yang memadai
7. Suasana kerja, mengedepankan kultur kekeluargaan

Weakness (Kelemahan)
1. Lambat merespon keinginan pasar, contoh sudah 4 tahun diusulkan agar penerbit A ini membuat Al Qur’an, dan baru disetujui oleh direktur , tahun 2008 ini, itupun tidak ada kejelasan kapan akan diterbitkan, begitu juga lini, anak-anak, sudah diusulkan lama sekali, namun lambat direspon oleh direktur, begitu juga lini fiksi, sudah diusulkan lama, yang paling mengecewakan adalah tidak jelas, apa hambatan dalam membuat lini tersebut
2. Tidak mampu mempertahankan karyawan potensial
3. Design cover dan packaging yang kuno
4. Kualitas cetak dan lay out yang tidak berkembang, tetap seperti dulu (kuno)
5. Belum ada kesungguhan dari mulai direktur sampai ke manager untuk
membuat sistim yang kuat, seperti Standar waktu ideal dari semenjak naskah diterima penerbit sampai buku tersebut siap dipasarkan, Standar operating Proyek (SOP), petunjuk pelaksana yang tertulis, dll
6. terpisahnya departemen produksi dan departemen redaksi, yang berakibat
pada tidak jelasnya kapan buku bisa diterbitkan, karena masing-masing mempunyai otoritas sendiri, dan direktur tidak mampu memaksa kedua departemen ini untuk bisa bekerjasama.
7. promosi yang belum terarah


Opportunity (Peluang)
1. Terbuka lebar kesempatan untuk mengembangkan penjualan, karena jaringan distribusi sudah siap
2. pasar potensial buku Islam semakin besar karena jumlah dan kesadaran religi masyarakat semakin baik
3. Masyarakat masih sangat membutuhkan buku-buku dengan tema ibadah, buku-buku bacaan anak-anak, dan al qur’an dengan berbagai jenisnya

Treath (Ancaman)
1. Bermunculannya penerbit baru yang bisa cepat merespon kebutuhan pasar dan mampu cepat membuat produk yang siap dipasarkan.
2. sampai saat ini penerbit A ini masih berbadan hukum CV (perusahaan pribadi), dalam pelaksanaanya direktur Sangat dominant, sampai-sampai pesanan tidak akan bisa terkirim ke relasi jika uang di keuangan tidak ditambah oleh direktur dengan cara mengambilnya terlebih dahulu di ATM, artinya jika terjadi “apa-apa” dengan direktur, maka tidak jelas nasib penerbit A ini, apakah bisa berlanjut atau langsung bubar

Nah, dari SWOT diatas terhadap penerbit A, maka diharapkan bagi siapa saja mampu memilah-milah , mana faktor yang siknifikan mempengaruhi penerbitan buku Islam, selanjutnya jika faktor tersebut anda anggap penting, maka tirulah dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan perusahaan anda, selamat mencoba.

Jaharuddin
Praktisi pemasaran Buku Islam