Rabu, 13 Agustus 2008

Trend Buku 2008


Apa yang akan menjadi trend dalam penerbitan buku tahun 2008 di Indonesia ? Jawaban singkatnya adalah fiksi dan referensi. Novel karya manusia Indonesia masih akan merajai. Mereka kini menjadi selebriti baru yang dielu-elukan pembacanya. Laskar Pelangi, misalnya, menjadi pusat perhatian banyak orang.

Kang Abik alias Habiburahman El Sirazy juga banyak diminati orang karena karyanya Ayat-Ayat Cinta. Demikian juga penulis-penulis muda lainnya menjadi idola banyak orang.

Jika Anda mencari inspirasi untuk meledak tahun 2008, tulislah novel. Namun untuk novel ini ada catatannya. Tidak hanya khayalan semata-mata di entah berantah, tapi bisa menyerempet setengah riwayat hidup Anda. Jika Anda pernah ke Perancis, Inggris atau Mesir, maka setting tempat itu yang pernah dikunjungi dan ditempati bisa jadi daya tarik tersendiri.

Selain itu, buku referensi lengkap baik agama maupun umum menjadi incaran berbagai rumah tangga di Indonesia. Referensi ini tidak hanya untuk pamer tetapi juga memang fungsional. Tahun 2008, buku-buku referensi tetang berbagai masalah akan menjadi incaran banyak orang. Formatnya tebal harganya selangit, tetapi konon masih ditunggu orang.
http://www.asepsetiawan.com/?s=sirazy

Kamis, 07 Agustus 2008

Industri Perbukuan Terhambat Kertas


Selasa, 01 Januari 2008
SURABAYA—Meski masih tetap bisa survive pada 2007, industri perbukuan mengeluhkan mahalnya kertas.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jatim Abdul Muiz Nahari menyatakan, harga kertas cenderung naik.
‘’Apalagi jika mendekati akhir tahun dan ganti tahun ajaran baru,’’ ujarnya.
Karena itu, kata Abdul Muiz, para pelaku industri perbukuan berharap ada diskon khusus dalam hal pengadaan kertas.
Selama ini, jelas dia, kertas menjadi komponen biaya yang sangat tinggi dibandingkan komponen lain, seperti tinta, plat,
dan biaya cetak. ‘’Dari total cost produksi, 30 persen di antaranya untuk kertas,’’ jelasnya.
Abdul Muiz berharap, ada perhatian khusus untuk para pelaku industri perbukuan. Sebab, bisnis perbukuan tidak melulu
terkait persoalan laba seperti halnya sektor bisnis lainnya. ‘’Tapi, juga terkait fungsi sosial untuk
mencerdaskan masyarakat,’’ ujarnya.
Meski terkendala kertas, kata dia, sepanjang 2007 industri perbukuan relatif stabil. ‘’Pertumbuhan
kapasitas produksi sebesar 20 persen,’’ katanya. Itu ditunjang oleh sejumlah proyek pengadaan buku
yang dilakukan lewat dana APBD.
Di samping itu, capaian kapasitas produksi itu juga ditunjang sales dari kota pinggiran. Abdul Muiz menjelaskan jika
daerah-daerah pinggiran memiliki kontribusi sales yang lebih besar daripada kota besar. ‘’Penjualan di
Jember, Pacitan, dan Ponorogo, misalnya, sangat tinggi,’’ katanya.
Sales industri perbukuan juga ditunjang oleh pengadaan buku penunjang pelajaran dan buku-buku umum. Sementara
buku jenis lain masih belum berkontribusi banyak. Soal prospek pada tahun mendatang, para pelaku bisnis perbukuan
berharap, hajatan politik pada 2008 (Pilgub Jatim) bisa memberi imbas positif. Begitu juga untuk pemilu dan pilpres
2009.
Sebab, biasanya, pesanan untuk buku-buku berbau kampanye akan datang. ‘’Dari hajatan politik itu,
mungkin bisa ada kenaikan kapasitas produksi sebesar 10 persen,’’ ujarnya. Abdul Muiz juga
menjelaskan, sales buku-buku agama cukup tinggi jika dibandingkan buku-buku umum. (eri/jpnn)

Industri Perbukuan Meningkat

BANDUNG, (karir-up) – Gairah industri perbukuan tahun ini meningkat. Terlihat dari animo penerbit yang ingin mengikuti pameran. Bahkan untuk pameran berikutnya, sudah 30 persen yang ikut Pesta Buku Bandung menyatakan keikutsertaan pada pameran Mei mendatang. Demikian disampaikan Erwan Juhara, Penanggung Jawab Bidang Promosi dan Publikasi Pesta Buku Bandung 2008, Sabtu (2/2).

“Selalu ada yang waiting list ketika pameran mendekati waktu pelaksanaan. Ini menandakan minat yang besar, namun harus menunggu kepastian dari yang sudah mendaftar duluan,” jelas Erwan.

Panitia pameran Pesta Buku Bandung 2008 sendiri merasa optimistis bisa meraup Rp 2 miliar. Angka ini bisa tercapai karena pameran serupa tahun lalu berhasil membukukan transaksi sebesar Rp 1,87 miliar.

“Pesta Buku Bandung 2008 digelar IKAPI Jabar dan berlangsung pada 29 Januari hingga 4 Februari 2008 di Gedung Landmark. Transaksi itu kemungkinan bisa tercapai lantaran jumlah pengunjung terus bertambah. Rata-rata pengunjung mencapai 10 ribu orang per hari,”papar Erwan
.
Ditambahkan Erwan, Pesta Buku Bandung 2008 ini ada 80 penerbit yang ikut dan menyewa 130 stand yang disediakan. Banyaknya buku baru menjadikannya optimistis target transaksi Rp 2 miliar bisa tercapai. Selaian itu para penerbit juga bervariasi, tak hanya dari Jabar tapi juga dari DKI, Jateng, Jatim dan Yogyakarta.

“Transaksi tampaknya makin tinggi. Pasalnya semua peserta menawarkan variasi buku dengan berbagai tema menarik. Serta diskon yang besar hingga 70 persen. Beberapa peserta juga menyiapkan hadiah yang diundi untuk setiap pembelian buku,”jelas Erwan

Disinggung mengenai buku yang disukai saat ini, Erwan menyebutkan buku jenis spiritual yang lebih diminati. Buku tersebut diantaranya yang memiliki tema keteladanan dan motivasi baik dalam kemasan keagamaan maupun masalah sosial.

“IKAPI Jabar biasanya mengadakan tiga kali pameran dalam setahun yang berlangsung di Bandung. Serta satu kali pameran diadakan di luar Bandung. Tiga pameran di Bandung yakni Pesta Buku Bandung (Januari-Februari), Islamic Book Fair, tahun ini akan dilaksanakan pada 29 April-5 Mei 2008 dan Pameran Buku Bandung yang tahun ini akan digelar pada 30 Juli-6 Agustus 2008,”pungkas Erwan (RAS/tj)
http://www.karir-up.com/2008/02/industri-perbukuan-meningkat/

4 Pilar Industri Penerbitan


Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei
Empat Pilar Industri Perbukuan
Dibangunnya sebuah taman baca di Jl. Pramuka Gang Kencana 5A Samarinda yang sejak dioperasikan 12 Januari lalu, taman baca ini sudah ramai dikunjungi pelajar SD yang ada di lingkungan sekitar. Sementara koleksi buku sudah mencapai 1,200 buku yang didominasi buku-buku komik dan buku pelajaran SD (Kaltimpos, Januari 2008). Endah, pengelola taman baca menyatakan bahwa taman baca tidak hanya untuk kalangan SD tapi juga untuk kalangan mahasiswa. Minat baca lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman atau lesson learn yang telah diperoleh dari lingkungannya, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah masyarakat. Dari ketiga lngkungan pendidikan tersebut, lingkungan yang dipandang lebih potensial untuk menumbuhkankembangkan minat baca anak dalah lingkungan pendidikan, terutama yang dikelola melalui jalur sekolah.

Namun persoalannya adalah bagaimana lingkungan pendidikan sekolah dapat menumbuhkembangkan minat baca anak? Tentunya sekolah yang di dalamnya tercipta situasi pembelajaran yang menyenangkan, menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, mengaktifkan siswa, memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir kritis dan logis serta untuk mengembangkan kreativitasnya, dan yang memungkinkan mereka belajar secara efektif yang pada gilirannya menumbuhkan minat membaca.

Perlunya peningkatan minat baca ini dilatari oleh kemampuan membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30. rendahnya kemampuan membaca ini dilatari oleh suatu kondisi pasif tentang kurangnya gairah dan kemampuan para peserta didik untuk mencari, menggali, menemukan, mengolah, memanfaatkan dan mengembangkan informasi. Salah satu sebab etimologisnya yaitu lemahnya minat baca mereka. Inilah yang perlu dicermati perkembangannnya serta diupayakan alternatif solusinya.

Data di atas relevan dengan Laporan World Bank dalam Education in Indonesian from crisis recovery (199 memaparkan bahwa minat dan kemampuan baca anak-anak Indonesia amat rendah. Minat baca untuk siswa kelas enam SD dinilai 51,7. nilai ini merupakan nilai paling rendah di antara minat baca bila dibandingkan dengan bangsa lain setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Hongkong (75,5). Hal ini menurut Ki Supriyoko (2004), minat baca anak-anak Indonesia dinilai paling buruk bila dibanding dengan negara-negara lain.

Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Athaillah Baderi (2005) dalam pidato pengukuhan pustakawan utama . Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study mengungkap (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.

Padahal pasca ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 1 tanggal 19 Januari 2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004/2005 yang di dalamnya menetapkan standar kelulusan untuk tiga bidang studi (bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematika) adalah tidak boleh kurang dari 4,25. Ketentuan kelulusan ini lebih tinggi dari standar kelulusan Ujian Akhir Nasional sebelumnya, yaitu 4,01. Ketentuan standar kelulusan ini mempunyai kecenderungan meningkat untuk tahun-tahun yang akan datang secara bertahap (Sutrisno, 2005). Apa jadinya nanti bangsa Indonesia, jika budaya baca masyarakat tidak membudaya.

Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP), maka hipotesis yang mengemuka adalah kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15–25 tahun.

Masih banyak lagi hasil survei lembaga-lembaga riset yang semakin menambah panjang bukti keterpurukan pendidikan di negara kita. The Poor Political and Ekonomic Risk (PERC) yang berkedudukan di Hongkong menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan ke 12 dari 12 negara yang diteliti. Survei PERC ini didasarkan pada 17 variabel yang terdiri dari; impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; porsi penduduk yang berpendidikan dasar; porsi penduduk yang berpendidikan menengah; porsi penduduk yang berpendidikan tinggi dan pasca sarjana; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; ketersediaan tenaga kerja produktif yang berkualitas tinggi; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; ketersediaan tenaga kerja; jumlah biaya untuk mendidik staf manajemen; ketersediaan staf manajemen; tingkat ketrampilan tenaga kerja; semangat kerja dari para tenaga kerja; kemampuan berbahasa Inggris; kemampuan bahasa asing selain bahasa Inggris; kemampuan menggunakan teknologi tinggi; tingkat keaktifan tenaga kerja; dan frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja yang pensiun.

Saat ini dunia pendidikan kita masih dihadapkan dengan suatu kondisi pasif tentang kurangnya gairah dan kemampuan para subjek didik untuk mencari, menggali, menemukan, mengolah, memanfaatkan dan mengembangkan informasi. Salah satu sebab etimologisnya yaitu lemahnya minat baca mereka. Inilah yang perlu dicermati perkembangannnya serta diupayakan alternatif solusinya.
Disposisi (kecenderungan) individu yang berdasar pada kesenangan dan hasrat yang selalu timbul untuk memiliki atau melakukan sesuatu. Minat seseorang menimbukan motivasi untuk mendapatkan atau melakukan apa yang diminatinya. Besar atau kecilnya minat yang ada dalam dirinya terhadap sesuatu berpengaruh pada kuat atau lemahnya motivasi yang dimilikinya. Dengan demikian, minat baca seorang peserta didik akan mempengaruhi motivasinya untuk membaca.
Kegemaran membaca perlu dibudayakan dengan memperluas peluang atau akses terhadap buku-buku bermutu yang memberdayakan. Akses diberikan dengan berbagai cara pada buku pembelajaran, buku bacaan, dan lingkungan teks bukan bahan cetak seperti tulisan tangan berisi denah, peta karya ilmiah, cerita, motto, pesan, atau pepatah yang ditullis oleh siswa, guru atau orang tua yang dapat dipajang di kelas atau sekitar sekolah.
Secara teknis buku yang memberdayakan adalah buku yang memuat kemahiran belajar. Kemahiran belajar merupakan ketrampilan hidup yang dikembangkan supaya siswa menguasai cara-cara belajar yang berkesan. Salah satu upaya pengembangan minat dan kegemaran membaca adalah dengan adanya distribusi buku. buku merupakan salah satu syarat mutlak yang diperlukan untuk pengembangan program ini, khususnya bagi anak-anak kecil yang tentunya belum begitu banyak mengenal teknologi informasi. Artinya, bahwa fungsi buku memberikan tempat tersendiri bagi perkembangan anak. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada semakin maraknya industri perbukuan di Indonesia secara khusus dan dunia perbukuan secara umum.
Industri perbukuan yang dikemukakakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Wardiman Djojonegoro, bahwa ada empat pilar utama yang ada dalam industri perbukuan. Pertama, pengarang merupakan pilar utama yang harus ada dalam penggalakkan industri perbukuan. Penggalakkan upaya pengembangan dan perkembangan perbukuan nasional diharapkan adanya adanya pengarang/penulis berbakat dan hasil karya yang berupa buku-buku yang berkualitas, jurnal, dan semisalnya. Sehingga memberi peluang kepada penulis-penulis ataupun pengarang-pengarang untuk mengembangkan potensinya.

Kedua, selain adanya pengarang juga dibutuhkan adanya penerbit yang bersinergi dengan pengarang. Pengarang menghasilkan karya, sedangkan penerbit berfungs menerbitkan hasil karya pengarang. Namun tidak dapat dinafikan, sulitnya pengarag menembus ketatnya persaingan dalam menerbitkan karya, mengindikasikan bahwa hanya karya-karya bermutu dan berkualitas sajalah yang layak terbit. Sehingga, dibutuhkan suatu wahana untuk memuluskan hasil karya anak bangsa ini misalnya ditelorkannya kebijakan pemerintah menerbitkan karya tersebut walaupun hanya sekedar sebagai prototif buku-buku “drop-dropan” dari pemerintah dengan catatan karya tersebut sesuai dengan budaya, corak, dan kebutuhan sekolah penerima.

Ketiga, distributor ini merupakan kepanjangan tangan dari penerbit dan pengarang untuk mendistribusikan hasil terbitan penerbit yang bersangkutan. Dan keempat, adalah konsumen yang menjadi objek dalam pengembangan dan perkembangan industri perbukuan. Konsumen membeli buku-buku yang mereka perlukan. Jika anak sudah dibiasakan membaca di usia dini, maka sudah barang tentu ide besar Wardiman Djojonegoro akan menjadi sebuah kenyataan.

Salam,
Sismanto
http://mkpd.wordpress.com

Geliat Perbukuan India Merengkuh Dunia

Sabtu, 19 Agustus 2006
BI Purwantari

Banyak orang tahu, India, terutama Bollywood, adalah salah satu industri film raksasa dunia. Saat ini, secara perlahan tapi pasti, mata penduduk dunia mulai berpaling juga pada industri kebudayaan lainnya di India: buku. Di bawah bayang-bayang kebesaran Bollywood, industri buku India kini memasuki jalur perdagangan tingkat dunia.

Tahun ini, Frankfurt Book Fair ke-58, ajang pameran buku terbesar di dunia, yang rencananya akan digelar pada 4-8 Oktober 2006, akan menampilkan India sebagai tamu kehormatannya (Guest of Honour Country). Penampilan India sebagai tamu kehormatan di Frankfurt nanti penting untuk dicatat karena ia menjadi satu-satunya negeri yang diberikan kesempatan sebanyak dua kali dalam rentang waktu 20 tahun. Kesempatan pertama dulu diberikan pada tahun 1986. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan pengakuan dunia internasional terhadap industri perbukuan India yang berkembang pesat selama satu dekade terakhir.

Berdasarkan catatan Nuzhat Hassan, Direktur National Book Trust of India, sebuah lembaga bentukan negara yang bertugas mempromosikan buku dan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat India, industri perbukuan India bernilai lebih dari 30 miliar rupee India (setara dengan 685 juta dollar AS) yang dihidupi oleh sekitar 15.000 penerbit. Para penerbit ini memproduksi buku-buku berbahasa Inggris dan buku-buku yang memakai 24 bahasa lokal, termasuk di antaranya bahasa Hindi, Malayalam, Tamil, Bengali, Telegu, Gujarati, Punjabi, dan Assamese. Dengan jumlah penerbit sebesar itu, India dapat memproduksi sekitar 70.000 judul per tahun dan 40 persen (sekitar 28.000 judul) di antaranya adalah buku-buku berbahasa Inggris. Proporsi angka sebesar ini membuat India menjadi negeri penerbit buku berbahasa Inggris terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris!

Perkembangan yang pesat juga dapat dilihat dari kenaikan pertumbuhan ekspor buku India. Pada tahun 1991 nilai ekspor buku-buku dari India mencapai angka 330 juta rupee, tahun 2003 melesat naik hingga 3,6 miliar rupee, dan tahun 2005 naik lagi menjadi 4,29 miliar rupee dengan sasaran 80 negara. Hal ini terjadi tidak lain karena buku-buku terbitan India mendapat pengakuan internasional, baik karena kualitas isi, mutu produknya, serta harga yang relatif terjangkau. Banyak buku terbitan India memenuhi persyaratan sebagai buku pendidikan di negeri-negeri Afrika-Asia, maupun negeri-negeri South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) yang terdiri atas Banglades, Butan, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, dan India. Demikian pula buku-buku tentang filsafat, agama, yoga, kebudayaan, sejarah, sastra kontemporer, dan ilmu pengetahuan alam mendapatkan pasar yang bagus di kalangan negeri-negeri Eropa barat, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jepang, maupun Uni Emirat Arab.

Berbahasa Inggris

India memulai sejarah penerbitan buku-buku berbahasa Inggris sejak zaman kolonial. Penguasaan terhadap bahasa Inggris, berkembangnya gerakan nasionalis, dan meningkatnya tingkat melek huruf di masa kolonial, telah menambah permintaan terhadap buku-buku berbahasa Inggris di negeri jajahan Inggris ini. Roda penerbitan buku berbahasa Inggris mulai berputar ketika tiga penerbit Inggris masuk India, yaitu Longman Green dan Macmillan pada abad ke-19 dan Oxford University Press pada tahun 1912. Dalam perjalanan waktu, beberapa penerbit, seperti Macmillan, Kegan Paul, dan John Murray mendirikan perpustakaan kolonial dan membuat daftar buku-buku berbahasa Inggris yang harus dikirim ke negeri yang kaya akan kebudayaan lokal ini. Penerbitan pribumi pun mulai berkembang seiring dengan pertumbuhan kesempatan dalam pendidikan dan peningkatan investasi dalam bidang penyelenggaraan pendidikan dan sekolah-sekolah. Kemerdekaan politik turut mempercepat proses tersebut. Kini, penerbitan milik pribumi maupun asing tumbuh berdampingan, berkompetisi, ataupun berkolaborasi di pasar dalam negeri India maupun internasional.

Gambaran dunia penerbitan India saat ini diisi oleh para pemain besar dari luar India, seperti Penguin India, Harper Collins India, Macmillan India, Picador, Random House India, ataupun pemain lama seperti Oxford University Press, Orient Longman, maupun penerbit besar pribumi seperti Rupa & Co, Vikas Publishing, Roli Books, serta UBS Publisher. Umumnya, para penerbit ini memproduksi lebih dari 100 buku per tahun. Penguin India, misalnya, rata-rata menerbitkan 200 judul per tahun, sementara Rupa & Co yang telah berdiri sejak tahun 1936 mengeluarkan 250-260 judul baru setiap tahunnya.

Di samping penerbit besar, industri buku India diwarnai oleh menjamurnya penerbit-penerbit independen skala kecil dan menengah. Penerbit tipe terakhir ini masing-masing memiliki profil organisasi dengan spesialisasi buku yang sangat beragam.

Kali for Women misalnya, meskipun kini telah menjelma menjadi dua penerbit dengan manajemen berbeda yaitu Zubaan Book dan Women Unlimited, merupakan penerbit buku-buku feminis yang cukup berhasil di pasar. Didirikan oleh dua tokoh feminis terkemuka, Urvashi Butalia dan Ritu Menon, penerbit ini bermula dari usaha kecil di sebuah garasi di New Delhi pada tahun 1984. Zubaan Book yang memiliki kantor mungil di Hauz Khas Enclave, New Delhi, itu kini rata-rata memproduksi 15-20 judul baru per tahun.

Penerbit lainnya seperti Seagull merupakan penerbit yang menggeluti buku-buku tentang teater, musik, film, seni rupa, maupun buku-buku akademis dan referensi seperti filsafat ataupun bidang kajian.

Sementara itu, penerbit Katha memfokuskan diri pada kerja-kerja penyelamatan karya-karya klasik berbahasa lokal yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara baik dan menerbitkannya dalam edisi yang berkualitas. Penerbit lainnya, seperti Tulika, bermain di pasar buku anak-anak, sementara Permanent Black, English Edition, Ravi Dayal, India Ink, Minerva, ataupun Srishti membidik pasar pembaca umum atau yang lebih dikenal dengan sebutan trade books.

Semua penerbit ini, selain mendistribusikan buku-bukunya di dalam negeri India, juga melempar produknya ke pasar dunia. Untuk distribusi di dalam negeri para penerbit memanfaatkan toko-toko buku kecil yang tersebar di seluruh India maupun toko buku besar dengan masing-masing memiliki sekitar 7 sampai 30 outlet di seluruh India seperti toko buku Oxford, Crossword, maupun Landmark.

Bisnis "outsourcing"

Banyaknya penerbit asing yang beroperasi merupakan konsekuensi diberlakukannya peraturan Pemerintah India yang membuka 75 persen sektor penerbitan buku (non-news sector) untuk dimasuki oleh investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dan 100 persen untuk sektor perdagangan buku. Fenomena terbaru adalah masuknya penerbit besar dari Inggris, Cambridge University Press (CUP), yang melebarkan sayap bisnisnya ke India. CUP mengakuisisi 51 persen saham Foundation Books, sebuah penerbit sekaligus distributor, di antaranya mendistribusikan buku-buku terbitan Seagull yang berbasis di New Delhi dengan nilai investasi sekitar 6 juta dollar AS. Menurut rencana, Cambridge University Press India akan menjadi basis penerbitan buku-buku pendidikan yang bermutu maupun jurnal, tidak hanya untuk pasar dalam negeri India tetapi juga untuk negeri-negeri Asia di sekitarnya. Selama ini memang CUP memfokuskan kerjanya pada penerbitan buku-buku teks bagi level pascasarjana maupun buku-buku hasil penelitian di berbagai bidang, sementara Foundation Books dikenal menerbitkan jurnal bergengsi, Journal of India Foreign Affairs.

Dengan 20 juta penduduk berbahasa Inggris aktif, India merupakan pasar buku yang menjanjikan. Potensi yang menjanjikan ini juga mendorong perkembangan bidang lain dari industri penerbitan India. Bidang itu adalah bisnis off -shore publishing. Bisnis ini memungkinkan perusahaan-perusahaan penerbitan besar di luar India memanfaatkan tenaga-tenaga profesional India untuk mengelola bisnis mereka di India melalui kemajuan teknologi informasi. Nilai bisnis ini di India diperkirakan mencapai 200 juta dollar AS tahun 2006 ini. Sebuah perusahaan riset dan intelijen bisnis di India, ValueNotes Database Pvt Ltd, memprediksi bahwa nilai bisnis ini di India akan menyentuh angka 1,1 miliar dollar AS tahun 2010. Alasan utama perusahaan-perusahaan besar tersebut menyewa perusahaan outsourcing India adalah ongkos produksi di India jauh lebih rendah dibanding negeri asal perusahaan tersebut. Mereka dapat memangkas ongkos produksi sekitar 50-70 persen. Outsourcing di segmen penerbitan telah dimulai lebih dari dua dekade lalu ketika perusahaan Macmillan membentuk unit offshoring di India tahun 1977.

Menurut The Financial Express edisi 26 Desember 2005, penerbitan newsletter merupakan kategori terbesar (53 persen) yang memanfaatkan bisnis outsourcing publishing ini. Sementara majalah dan jurnal mengambil porsi 24 persen, tabloid 6 persen, dan E-publicationa yang mengambil porsi 17 persen adalah kategori yang paling cepat berkembang dari seluruh tipe bisnis ini.

Peran pemerintah

Lantas, apa peran Pemerintah India dalam mengembangkan industri ini? Paling tidak India mempunyai National Book Trust (NBT), sebuah lembaga negara yang dibentuk tahun 1957 atas usulan Perdana Menteri I India Jawaharlal Nehru, dan saat ini berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan. Nehru melihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri harus sejalan dengan kemajuan di bidang sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata perkembangan bidang terakhir itu adalah tingginya minat baca masyarakat agar mampu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni, dan budaya di masyarakat India sendiri. Nehru sendiri adalah seorang pencinta buku dan penulis yang hebat.

Saat ini, kegiatan lembaga ini difokuskan pada memproduksi dan mendorong produksi buku-buku yang baik dan membuat agar buku-buku baik tersebut tersedia dengan harga terjangkau masyarakat setempat. Buku-buku yang diterbitkan tersebut adalah karya-karya klasik berbahasa India maupun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, karya klasik berbahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa lokal; juga buku-buku pengetahuan modern untuk penyebaran secara meluas. Berdasarkan catatan NBT, jumlah buku yang diterbitkan lembaga yang berbasis di New Delhi ini bertambah dari tahun ke tahun: tahun 1969-1970 hanya sekitar 106 judul, meningkat hingga 188 judul pada tahun 1979-1980, lalu bertambah delapan kali lipat pada tahun 1989-1990 hingga mencapai 851 judul. Sejak itu, rata-rata terbitan NBT setiap tahunnya mencapai 1.000-1.200 judul yang meliputi karya asli, terjemahan, maupun cetak ulang atas buku-buku dalam 18 bahasa.

Selain itu, NBT juga mempromosikan buku dan minat baca masyarakat dengan menyelenggarakan berbagai pameran buku di seluruh India maupun di tingkat regional dan internasional. Sejauh ini, NBT telah mengorganisasikan 27 pameran buku nasional dan pameran keliling di berbagai negara bagian yang menjangkau hingga level semi-urban. Sejak tahun 1970, dalam kaitan mempromosikan buku-buku India ke dunia internasional, NBT telah berpartisipasi dalam 300 pameran internasional.

Industri kebudayaan yang besar ini tentunya juga tidak mungkin berkembang tanpa dukungan kebiasaan membaca masyarakat India. Dalam sebuah riset tentang berapa banyak waktu dihabiskan untuk membaca dibandingkan menonton televisi, yang dilakukan oleh National Opinion Poll World (NOP World), sebuah perusahaan riset pasar berbasis di Inggris, diketahui bahwa India menempati urutan teratas dalam hal menggunakan waktu untuk membaca. Dari riset terhadap 30.000 orang berusia 13 tahun ke atas yang bermukim di wilayah perkotaan di 30 negara pada tahun 2005, didapat hasil bahwa setiap orang India rata-rata menghabiskan waktu 10,7 jam per minggu untuk membaca. Angka ini lebih tinggi 4,2 jam dibandingkan dengan rata-rata angka global. Sementara itu, orang Inggris hanya memakai 5,3 jam seminggu untuk membaca. Sebaliknya, penduduk negeri bekas penjajah India ini menghabiskan 18 jam seminggu untuk menonton program televisi. Sementara orang India menempati urutan ke empat terbawah. Tampaknya, dunia Barat harus menyadari bahwa India telah menjelma menjadi pusat intelektual melalui kegiatan kebudayaan yang penting ini. (BI Purwantari Litbang Kompas)