Senin, 20 Oktober 2008

Ketika Penerbit menanti Ajal


Dunia Buku:
Akibat krisis moneter sebagian besar penerbit buku merasa kewalahan,
bahkan ada yang berhenti berproduksi. Tanda-tanda akhir zaman bagi
dunia perbukuan di Indonesia?

Krisis ekonomi yang tengah melanda bangsa Indonesia dalam beberapa
bulan terakhir ini benar-benar sudah merasuk ke segala sektor
kehidupan. Tidak terkecuali juga dunia perbukuan. Banyak penerbit buku
nasional sekarang ini kelimpungan dibuatnya. Omzet penjualan buku
mereka turun secara drastis. Bahkan tidak sedikit penerbit buku yang
terpaksa gulung tikar dan berhenti berproduksi.

Omzet Turun.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rozali Usman
mengungkapkan, industri perbukuan di Indonesia kini menghadapi tiga
dampak utama akibat krisis moneter. Pertama, hanya 200 dari 400
anggota Ikapi yang masih aktif. Dari jumlah itu, kini 50% sudah tak
berproduksi lagi. Akibatnya, tentu saja rasionalisasi karyawan tidak
terhindarkan lagi. Kini sebagian besar editor lapangan sudah
"dirumahkan", di samping karyawan lainnya. Dan dampak susulannya,
penerbit yang memutuskan mencetak ulang buku terbitannya, terpaksa
menaikkan harga sekitar 30%. "Ini jelas tidak kondusif. Dan secara
keseluruhan dampak krisis ekonomi ini sudah menurunkan omzet industri
perbukuan nasional sekitar 50%-75%," kata Rozali.

Kondisi tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh penerbit-penerbit
buku kecil saja, tapi juga dirasakan penerbit yang sudah besar dan
terkenal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, misalnya, merasakan
betul adanya penurunan omzet penjualan buku-buku produknya. "Secara
kuantitas penurunannya mencapai sekitar 10%," kata M. Boedi
Yogipranata, manajer Toko Buku Gramedia Matraman kepada Panji. Namun
dalam situasi krisis ini, untuk selama tiga bulan (Februari, Maret,
sampai April ini), Gramedia masih tetap menerbitkan buku-bukunya meski
dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dalam situasi normal.

Hal yang sama juga dirasakan oleh PT Pustaka Sinar Harapan. Menurut
direktur utamanya, Aristides Katoppo, sebelum krisis moneter
berlangsung, penerbit buku yang cukup besar ini bisa memproduksi satu
buku dalam satu minggu. Tapi dalam kondisi sekarang ini, mereka hanya
memproduksi satu buku dalam satu bulan. Itu pun dilakukan karena
komitmen masa lalu agar tetap survive menghadapi gejolak ekonomi.
"Kami harus terus berupaya bertahan dengan melakukan berbagai jurus
untuk menghadapi krisis yang berat ini," katanya.

Penerbit Mizan, Bandung, mengalami problem serupa. Tingkat penjualan
buku yang dihasilkan oleh penerbit ini sekarang sangat merosot
mencapai 75%. Menurut Hernowo, salah seorang direktur di penerbit itu,
kalau dulu dalam sebulan Mizan bisa menerbitkan 4-5 buku, maka
sekarang hanya satu judul buku saja. "Jadi sekarang ini kami mesti
mengerem juga. Misalnya, seharusnya bisa terbit enam buku dalam
Januari-Februari ini, kita mungkin hanya dua buku yang terbit. Dua
buku per bulan, itu sudah bagus betul," katanya kepada Panji.

Kalau penerbit-penerbit seperti Gramedia, Sinar Harapan, Mizan, atau
penerbit buku lain yang sudah besar dan terkenal saja seperti itu,
apalagi yang masih berskala kecil. Kondisinya tentu lebih parah dan
mengenaskan. Menurut Sekjen Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid,
berdasarkan laporan, sejumlah penerbit di daerah sudah tidak melakukan
lagi aktivitasnya. Di Jawa Timur, misalnya, 90% penerbit di sana sudah
berhenti berproduksi, sedangkan di Jawa Tengah 50% penerbitnya sudah
kolaps. Sementara di Jawa Barat kondisinya tidak jauh berbeda.
"Beberapa penerbit untuk sementara terpaksa menghentikan produksinya
hingga keadaan stabil kembali," kata ketua Ikapi Jabar Aan Soenandar.

Nah, yang menjadi biang keladi atau penyebab utama munculnya semua itu
apalagi kalau bukan naiknya harga kertas yang makin menggila: mencapai
300%. Dan itu kemudian berpengaruh juga pada naiknya harga
barang-barang komponen produksi buku lainnya, seperti tinta, pelat,
film, dan sebagainya. Kenaikan harga kertas ini terasa ironis karena
faktanya kita memiliki 74 pabrik kertas dengan kapasitas produksi 7,2
juta ton per tahun. Kita juga punya 17 pabrik pulp (bubur kertas) yang
merupakan bahan baku utama kertas dengan kapasitas produksi sebesar
4,3 juta ton per tahun. Lantas di mana masalahnya sehingga harga
kertas demikian terguncang akibat krisis moneter ini (lihat, Menanti
Panen HTI).

Komponen biaya untuk kertas memang menempati porsi yang sangat besar
pada keseluruhan biaya produksi buku. "Angkanya bisa mencapai
40%-60%," kata Hernowo dari Mizan. Jadi wajar bila perubahan harga
pada kertas yang mencapai 300% itu mempunyai pengaruh signifikan pada
harga buku. "Perubahan harga kertas sekarang ini membuat kami terpaksa
menaikkan harga buku sampai 30%," ungkap Rozali Usman, ketua umum DPP
Ikapi.

Berbagai Kiat.
Memang, untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, banyak
cara yang diambil oleh tiap-tiap penerbit buku. Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, misalnya, selain mengurangi jumlah produksi bukunya, terpaksa
harus menyetop alias tidak memperpanjang lagi kontrak tenaga kerja.
"Mulai bulan ini, kami terpaksa melakukan rasionalisasi terhadap 30%
tenaga kerja yang masih terikat kontrak. Perusahaan hanya mampu
membayar gaji karyawan paling hingga bulan April atau Mei mendatang,"
kata Aristides Katoppo.

Mengurangi jumlah produksi buku dan penghematan kemasannya juga
dilakukan oleh Sinar Harapan, Gramedia, dan Mizan. Menurut Adi Hendro,
salah seorang staf produksi buku di Gramedia, selain mengurangi jumlah
produknya, penerbitnya itu juga agak selektif dalam mengemas buku.
"Kalau dulu dengan format yang lebar kini lebih kecil. Warna cover
buku yang dulu dengan hot bann, kini dengan hot print," katanya.

Pemilihan tema buku secara selektif, juga dilakukan Mizan. Menurut
Hernowo, selain mengurangi jumlah produksi buku, kami juga harus
memilih secara selektif buku-buku yang akan diterbitkan. "Kalau
kira-kira buku itu akan diminati pasar, akan kami terbitkan. Kalau
tidak, meski naskah sudah siap, akan kami tunda penerbitannya,"
katanya. Dan menurutnya, di antara buku yang sudah siap namun terpaksa
ditunda penerbitannya adalah karya Dr. Jalaluddin Rahmat berjudul
Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer.

Jalan paling lumrah yang dipilih oleh berbagai penerbit buku adalah
dengan menaikkan harga. "Ini merupakan cara yang paling masuk akal dan
tak bisa dielakkan, sejalan dengan naiknya harga-harga barang lain
termasuk sembilan bahan pokok (sembako)," kata Abbas al-Jauhari, staf
editor penerbit Rajawali Pers kepada Panji. Memang, jalan itu tidak
dapat dielakkan. Toh, hampir semua penerbit buku sekarang ini sudah
melakukan hal itu.

Bersaing dengan Sembako.
Namun jalan itu bukan tanpa persoalan, terutama jika dikaitkan dengan
minat dan kemampuan daya beli masyarakat akan buku dalam situasi
krisis sekarang ini. "Jangankan untuk beli buku, untuk beli sembako
pun sulitnya bukan main," kata Ibu Aminah Suhaemi kepada Panji. Dengar
juga pendapat Dimas, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Kepada Panji,
dia mengeluh soal mahalnya harga buku-buku kedokteran yang wajib dia
gunakan dalam kuliah. "Sebelum krisis harganya hanya Rp200.000, tapi
sekarang sudah naik empat kali lipat: Rp800.000! Mau dikopi, selain
hasilnya jelek, harganya pun jauh lebih mahal," keluhnya miris.

Memang, tingginya harga buku di Indonesia sudah menjadi keluhan klasik
di kalangan masyarakat pembaca, apalagi dalam masa krisis seperti
sekarang ini. Karenanya, tak heran jika toko-toko buku besar seperti
Gramedia dan Gunung Agung di Jakarta terlihat sepi dan lengang.
Menurut pantauan Panji di Gramedia Mal Pondok Indah, Sabtu pekan lalu,
misalnya, tampak hanya 10 pengunjung yang datang. Itu pun hanya untuk
melihat-lihat dan membaca-baca buku di tempat. Ada yang membeli,
memang, tapi yang dibeli itu bukan buku melainkan kartu ulang tahun!

Sungguh memprihatinkan kondisi dunia perbukuan di Indonesia sekarang
ini. Ibaratnya, sudah jatuh (karena krisis moneter dan naiknya harga
kertas) tertimpa tangga pula (siapa yang mau beli?). Lagi pula,
bukankah masyarakat Indonesia sudah lama terkenal rendah minat
bacanya? Lalu, jika persoalan ini dikaitkan dengan proses pendidikan
dan pencerdasan kehidupan bangsa, bagaimana masa depan generasi muda
Indonesia selanjutnya?

Menurut pengamat pendidikan Prof. Dr. Bun Yamin Ramto, kita memang
tengah menghadapi masa-masa yang teramat sulit. Dalam soal kualitas
perbukuan, secara umum harus diakui bahwa bangsa kita makin merosot.
Jika kondisi perbukuan yang tengah dilanda krisis ini terus berlanjut,
itu akan berpengaruh pada persoalan pendidikan dan proses pencerdasan
bangsa (lihat, Generasi Tanpa Jendela). "Bacaan atau buku adalah alat
kebutuhan pokok masyarakat. Kita harus camkan betul-betul: kalau kita
mau maju, tidak bisa tanpa bahan bacaan. Jepang maju karena bacaan,
Cina maju karena bacaan, Amerika maju karena bacaan," kata Rektor ISTN
itu kepada Panji.

Untuk itu, Bun Yamin Ramto mengajak semua pihak, termasuk pemerintah,
untuk ikut memecahkan persoalan harga kertas ini demi memajukan dunia
perbukuan nasional, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. "Semua
pihak, termasuk pemerintah, berusaha bahwa buku itu harus diadakan
secara lebih banyak dan berkualitas. Dan agar masyarakat bisa membeli
dan memiliki buku, sebetulnya buku itu tidak harus dikemas secara
luks, biasa saja. Saya juga anjurkan supaya pajak-pajak yang
menyangkut buku dihilangkan," katanya.

Usul tersebut juga didukung Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Dr. Ki
Supriyoko. Menurutnya, dalam situasi krisis sekarang ini, pemerintah
diharapkan ikut turun tangan membantu kondisi dilematis perbukuan
kita. "Misalnya dengan mengurangi biaya pajak yang harus dibayar oleh
setiap penerbit. Saya kira pemerintah dapat melakukan itu, seiring
dengan niatan pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan
masyarakat," tegasnya.

Sebetulnya, untuk menyelesaikan masalah perbukuan ini, kalangan
penerbit yang tergabung dalam Ikapi tidak hanya tinggal diam. Pada Mei
1997 lalu, misalnya, sebelum krisis moneter terjadi, mereka sudah
membuat rekomendasi berisi enam butir permohonan usulan kepada
pemerintah agar: (1) mendorong industri yang khusus memproduksi kertas
untuk buku; (2) mengontrol secara berkala dan berkelanjutan soal harga
kertas; (3) memberikan keringanan PPn; (4) memberikan keringanan PPN
terhadap penjualan buku, sehingga harganya dapat lebih terjangkau; (5)
mengimbau PT Pos Indonesia untuk menerapkan tarif khusus terhadap
pengiriman buku; dan (6) menurunkan PPH pengarang buku (sekitar
0%-2,5%). Sayangnya, menurut Rozali Usman, rekomendasi itu hingga kini
belum ditanggapi.

Mudah-mudahan dalam hearing Ikapi dengan Komisi VII DPR, yang tidak
lama lagi akan dilaksanakan, usulan itu bisa lebih cepat menuai hasil.
Dan mudah-mudahan pula, dilema yang dihadapi kalangan perbukuan
nasional ini cepat berakhir.

NASRULLAH ALIEF, DUDI RAHMAN, RIFWAN HENDRI, HASBUNAL M. ARIEF, DAN M. RIDWAN PANGKAPI
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/06/0195.html

Tidak ada komentar: